NASKAH PUISI YANG DILOMBAKAN DALAM LOMBA BACA PUISI PRATIKUM SASTRA KE-29 SE-INDONESIA
NASKAH PUISI YANG DILOMBAKAN DALAM LOMBA BACA PUISI PRATIKUM SASTRA KE-29 SE-INDONESIA
SELAMAT PAGI INDONESIA
karya: Sapardi Djoko Damono
Selamat pagi, Indonesia, seekor burung mungil
mengangguk
dan menyanyi kecil buatmu.
aku pun sudah selesai, tinggal mengenakan sepatu,
dan kemudian pergi untuk mewujudkan setiaku padamu dalam
kerja yang sederhana;
bibirku tak biasa mengucapkan kata-kata yang sukar dan
tanganku terlalu kurus untuk mengacu terkepal.
selalu kujumpai kau di wajah anak-anak sekolah,
di mata para perempuan yang sabar,
di telapak tangan yang membatu para pekerja jalanan;
kami telah bersahabat dengan kenyataan
untuk diam-diam mencintaimu.
pada suatu hari tentu kukerjakan sesuatu
agar tak sia-sia kau melahirkanku.
seekor ayam jantan menegak, dan menjeritkan salam
padamu, kubayangkan sehelai bendera berkibar di sayapnya.
aku pun pergi bekerja, menaklukan kejemuan,
merubuhkan kesangsian,
dan menyusun batu-demi batu ketabahan, benteng
kemerdekaanmu pada setiap matahari terbit, o anak jaman
yang megah,
biarkan aku memandang ke Timur untuk mengenangmu
wajah-wajah yang penuh anak-anak sekolah berkilat,
para perempuan menyalakan api,
dan di telapak tangan para lelaki yang tabah
telah hancur kristal-kristal dusta, khianat dan pura-pura.
Selamat pagi, Indonesia, seekor burung kecil
memberi salam kepada si anak kecil;
terasa benar : aku tak lain milikmu
HAI TI
Karya: Ibrahim Sattah
ti yang tiang topang ke punca cahaya puncanya
jejak ke gaung ke gaung ke mana jejaknya
ikutkan aku kata angin ikutkan aku kata awan
ikutkan aku kata bulan
ikutkan aku
ikutkan
aku
ti yang tiang topang ke punca cahaya puncanya
jejak ke gaung ke gaung ke mana jejaknya
kuikutkan angin kuikutkan awan kuikutkan bulan
kuikutkan ke mana akan kuikutkan
selaju cahaya selaju cahayalah aku ke punca
jejak ke punca ke punca ke mana puncanya
tanyakan aku kata angin tanyakan aku kata awan
tanyakan aku kata bulan
tanyakan aku
tanyakan
aku
tanyakan kemana akan kutanyakan
ti hai ti yang tiang topang
gelap pukaumu membelah batu tempat tidurku
ke mana angin ke mana awan ke mana bulan
ke mana akan ke mana dunia ke mana akan ke mana
keranda
ti hai ti yang tiang topang gapaiku gapai ke kau
ti hai ti yang tiang topang
gaib gapaiku ke
punca
mu
BAKAR TONGKANG
Karya: Marhalim Zaini
tak di malam
kau tinggalkan siam
dalam tahun demam
tapi di hujan
kau curi api daratan
dari pelabuhan bagan
itu dewa kie ong ya
menghitung gigil cahaya
di biji kayu sempoa
ia menunggu ombakmu
menghala ke matahari
ke hulu sebuah mimpi:
tentang lelaki yang berlari
mengejar riwayat angin selat
ke sengat musim yang tak
tercatat
namakukah itu
yang berkibar di layar
saat tongkang terbakar?
tapi kau menghalau asap hio
dengan kipas lipatan peta cina
ke kobaran api hutan melayu
ke wajahku sampah jerebu
meruap hinggap ke tatap
mata langit yang gelap
maka izinkan aku
jadi tan ki
memikiul bola duri
mengelilingi tubuhmu
angkuh membatu
di atap bang liau
agar kau tahu
aku kian mencandu
bau amis ikanmu
bagai merindu
aroma payau
lautmu
bahwa di akar api-api
pagi pernah bernyanyi
tentang lancang kuning
yang tersadai di pantai
tentang nelayan tua
yang membakar jala
tentang janda raja-raja
yang menjahit kebaya
di mana anak sungai
membuang muka
menghanyutkan kota
entah di jawa
entah di malaysia
mungkin pula melaka
diam-diam berdusta
tentang batas warna
bendera marga
diam-diam menelikung
hikayat semenanjung
berkaki buntung
terseret angin tanjung
ke kuala rawa
tempat kita memuja
segala yang menjaga
segala yang tak tampak
sebagai yang berkehendak
segala yang tak padam
sebagai tuhan
maka sembahyang ini, tun
tak sujud pada jumat
pun tak takut pada sebat
sebab telah tumbang
tiang tongkang
ke seberang
ke sebuah kampung
ke ujung halaman kitab
ke jantung segala gelap
di kelentengmu
atau di surauku
kita
mengaji rindu
pada dinding pelantar
atau selembar tikar
ada jejak bandar
bekas terbakar
kita mematung saja
bagai perahu tua
yang menunggu senja
siapa tahu ada cinta
atau syair lama
tentang ular naga
yang berpagut
dalam surga
nanti saat petang
baba cina datang
pakai baju marga ang
bawa sesajen satu dulang
apa kau akan pulang?
aku takut pulang
pada lengang
yang panjang
lampion-lampion itu, tun
rumah-rumah malam
yang menunggu padam
orang-orang rokan
menanam cahayanya
di ujung pelabuhan
singgahlah sebagai pelaut
bukan sebagai kayu hanyut
niscaya kau akan disambut
bagai laksemana raja dilaut
merantaulah seperti berperang
tak pulang sebagai pecundang
niscaya kau akan terpandang
bagai sultan namamu dikenang
tapi aku pendurhaka
kau pun tak setia
siapa di antara kita
yang dikutuk dewa
jadi dermaga
kota tua
itu sempoa kie ong ya
menggigil ditimbun cahaya
tak di siam atau di bagan
hujan mencuri api hutan
ke mana menghala matahari
di kaki lelaki musim berlari
namakukah itu
yang berkibar di
layar
saat tongkang
terbakar?
kampung asap, 2008
PERJALANAN KUBUR
karya: Sutardji Calzoum Bachri
Luka ngucap dalam badan
kau telah membawakukeatas bukit
keatas karang keatas gunung
ke bintang-bintang
lalat-lalat menggali perigi dalam dagingku
untuk kubur mu alina
untuk kubur mu alina
aku menggali-gali dalam diri
raja dalam darah mengaliri sungai-sungai
mengibarkan bendera hitam
menyeka mataharimembujuk bulan
teguk tangismu alina
sungai pergi ke laut membawa kubur-kubur
laut pergi ke awanmembawa kubur-kubur
awan pergi ke hujan membawa kubur-kubur
hujan pergi ke akar ke pohon ke bunga-bunga
membawa kuburmu alina
CARI MUATAN
Senen sehabis hujan
Karya: Ajib Rosidi
tanah ditumbuhi lalang dan putus asa
pucat hujan menyisakan malam
dan kelabu langit penghidupan
dari stasion pertemuan pasangan perempuan
sinar pudar beca cari muatan
menemui kami yang hidup malam hari
sebelum jam sebelas berdendang
sebelum itu hidup sudah harus dipenuhi
siapa menembus gang menemui kami
memberi kami napas dan itu tak kami siakan
kami berikan apa yang bisa kami berikan
dan malam pucat menyisakan hujan
di warung kami tetawa bersenda cubitan
sambil mengharap lonjakan tiba-tiba:
'mari!"
sudah mereka rampas sawah dan rumah kami
dan lelaki kami berangkat tak kembali
sebelum sungguh-sungguh kami punah
muka perong gigi ompong tubuh reot
sebelum habis hujan malam dan beserah
lampu beca pudar dan makin pudar
lambang pernyataan hadir kami
warna kuning dan merah kesumba membungai bumi
di warung kopi ditumpahkan bir ke tenggorokan
dan kami dinyalai harapan kecil
sebelum berdentang sebelas malam
dalam menunggu tak disiakan
agar lambang kehadiran kamit
bunga biru dan hijau muda memenuhi bumi
membesarkan lampu beca masih menunggu muatan
cahaya langit kelabu dan malam pucat
tanah ditumbuhi lalang dan putus asa
dari stasion pertemuan pasangan perempuan
SIAK
Karya: Dasry Al-Mubary
sungainya sungai
mengalir pada muaramu sungaisungai
alir hilir alir ke laut yang dalam
lancanglancang berlayar malam
di alir air serdadu ambia umara berenang
berapung kitabkitab menenggelamkan kitabkitab
mandi dengan kitabkitab minum air kitabkitab
tidur bantal kitabkitab
sungainya sungai
sepanjang sungai di dalam sungai siang sungai
malam sungai senja sungai melewati singai aku
sungai kitabkitab tidakdiam tidak tenang tak
senang muara bicara kitabkitab sakai
tongkangtongkang tertambat di sela beting bakau
dihimpit selat dan tanjung sebaris sebaris
sungainya sungai
perahuperahu terlampai sungai dalam diriku
di mana perahu kutambatkan aku tidak tahu lagi
mengapa seribu tapak nelayan disapu angin pagi
tersandai di bibir matahari
aku tak bicara sungai aku bicara sungaisungai
sungainya sungai
sungaisungai
sungai dalam diriku meronta
meronta
kian ke mari menari
kian menarinari
sungainya sungai
di riak sungai dalam diriku berontak seribu tapak
nelayan menjaring sisik sisa tuba seribu pukat
harimau mengaum meranjau riak sungai dari sungai
dari siak ke riak ke siak dari kitabkitab dari
sungainya sungai riak riaknya bapak seribu tapak
aku diam dalam sungai dalam diriku aku bicara
sungai dalam diriku aku tak tahu sungai bicara
apa dalam diriku siapa tahu selain ranjau menyapa
mau seribu serdadu membawa bau mesin
sungainya sungai
seribu alir mengalir
disituaku
membasuh luka anyir
1988
IBU KOTA SENJA
Karya: Toto Sudarto Bachtiar
Penghidupan sehari-hari, kehidupan sehari-hari
Antara kuli-kuli berdaki dan perempuan telanjang mandi
Di sungai kesayangan, o, kota kekasih
Klakson oto dan lonceng trem saing-menyaingi
Udara menekan berat di atas jalan panjang berkelokan
Gedung-gedung dan kepala mengabur dalam senja
Mengurai dan layung-layung membara di langit barat daya
O, kota kekasih
Tekankan aku pada pusat hatimu
Di tengah-tengah kesibukanmu dan penderitaanmu
Aku seperti mimpi, buian putih di lautan awan belia
Sumber-sumber yang murni terpendam
Senantiasa diselaputi bumi keabuan
Dan tangan serta kata menahan napas lepas bebas
Menunggu waktu mengangkut maut
Aku tiada tahu apa-apa, di luar yang sederhana
Nyanyian-nyanyian kesenduan yang bercanda kesedihan
Menunggu waktu keteduhan terlanggar di pintu dinihari
Serta di keabadian mimpi-mimpi manusia
Klakson dan lonceng bunyi bergiliran
Dalam penghidupan sehari-hari, kehidupan sehari-hari
Antara kuli-kuli yang kembali
Dan perempuan mendaki tepi sungai kesayangan
Serta anak-anak berenangan tertawa tak berdosa
Di bawah bayangan samar istana kejang
Layung-layung senja melambung hilang
Dalam hitam malam menjulur tergesa
Sumber-sumber murni mėnetap terpendam
Senantiasa diselaputi bumi keabuan
Serta senjata dan tangan menahan napas lepas bebas
O, kota kekasih setelah senja
Kota kediamànku, kota kerinduanku
Komentar
Posting Komentar