Di antara Abu dan Tinta - Zahra Alya Hermansyah



Di antara Abu dan Tinta

Tangan keriput itu bergetar menggengam pena. Namun, setiap goresan

yang tercipta begitu anggun, sarat makna. Di rumah kecil yang lebih mirip gudang

tua, berdinding kayu lapuk, dan beratap seng berkarat, tersimpan ratusan karya

tulis yang begitu berharga dan keberadaannya diburu oleh sekutu. Pada zaman itu,

pena lebih ditakuti dibandingkan senjata.


Rambutnya yang telah memutih memantulkan cahaya lembut dari celah-

celah dinding, menciptakan siluet tenang di pagi yang dingin. Namanya tak


tercatat dalam buku sejarah, tetapi jejaknya tertanam dalam hati penduduk desa

kecil ini. Ia adalah Kusuma Wijaya, lelaki tua yang hidupnya diabdikan untuk

kata-kata yang tiap goresnya menyimpan semangat dan harapan sebuah bangsa.

Ia duduk tenang di kursi goyang usang, ditemani aroma kopi yang

menggantung hangat di udara. Rumah itu sunyi, hanya suara kursi kayu yang

berderit lembut dan kicauan burung pagi yang menyambut hari. Di sudut ruangan,

lemari-lemari tua dipenuhi buku dan kertas-kertas usang, hasil kerja keras yang

selama ini ia lindungi.

Kesunyian itu tiba-tiba dipatahkan oleh suara ketukan pelan di pintu yang

diikuti suara riang seorang anak kecil. “Permisi! Mbah Kusuma!” serunya ceria

dari luar. Kusuma tersenyum tipis. Ia tertawa pelan sebelum perlahan bangkit dari

kursi goyang, mengambil pecinya yang tergeletak di atas meja dan

mengenakannya dengan rapi. “Ya, sebentar...” sahutnya sembari melangkah

menuju pintu. Ketika daun pintu terbuka, tampak beberapa anak berdiri di depan

rumah. Mereka tersenyum lebar. Terlihat sapaan dari seorang remaja laki-laki

yang tampaknya paling tua di antara mereka, ialah Rayan. “Pagi, Mbah,” ucap

Rayan sopan. “Pagi nak. Ayo masuk! Di luar dingin,” jawab Kusuma sembari

mempersilakan mereka masuk, wajahnya teduh seperti suasana pagi itu.

Anak-anak itu berbaris memasuki rumah Kusuma, diikuti oleh suara riang

dan canda tawa yang menghangatkan suasana. Kusuma menyarungkan kembali


pecinya, menuntun mereka menuju ruang tamu yang penuh dengan tumpukan

buku dan kertas. Meskipun rumah itu sederhana, tetapi setiap sudutnya dipenuhi

dengan kisah dan pengetahuan yang tak ternilai. “Duduklah, kalian pasti lelah

berjalan ke sini,” kata Kusuma sambil menunjuk kursi-kursi kayu yang hampir

rapuh. “Apa yang membawa kalian ke sini pagi-pagi buta?” tanyanya.

Seorang anak perempuan, yang rambutnya terikat rapi dan mata berbinar

langsung mengangkat tangan. “Mbah Kusuma, kami ingin belajar lagi sama

Mbah. Mulai dari cara menulis sampai bagaimana caranya agar karya kita nggak

mudah hilang seperti yang sering terjadi pada orang lain...” katanya berseru.

Namun, raut wajahnya seketika terlihat mendung. ”Kemarin... buku Rani

dirampas oleh orang-orang berbaju loreng saat kami sedang menulis di dekat

sungai. Kak Rayan mencoba melawan, tapi mereka malah menodongkan senjata

ke Kakak.” sambungnya bercerita.

Tiba-tiba seorang anak laki-laki membenarkan kejadian itu. ”Iya nih!

Beraninya sama yang kecil!” dengusnya kesal. Kemudian ia bangkit dari tempat

duduknya dan menatap anak perempuan itu, Rani. ”Rani, kalau ada yang

gangguin kamu lagi, biar aku saja yang hajar!” ucapnya dengan senyuman

semangat.

Rayan yang melihat itu sedikit gemas sebab raut wajah Rani yang terlihat

sedih mulai memudar digantikan oleh wajah tersipu. ”Roni lawan kakak aja masih

nangis,” ucap Rayan dengan menggoda. Roni menjulurkan lidah, mengejek

kakaknya. Di sisi lain, seorang anak kecil bernama Anggun terlihat tertarik

dengan karya-karya di sekelilingnya.

Sejak murid-muridnya bercerita, Kusuma seketika terdiam, ia menyadari

sesuatu. “Mereka telah sampai di desa ini,” gumamnya.

Anggun yang melihat wajah Kusuma pucat pasi mulai merasa gelisah. Ia

mendekat, perlahan menggenggam tangan lelaki tua itu. “Mbah, kenapa? Ada

apa?” tanyanya dengan nada lembut, tetapi ada rasa keresahan yang mulai terlihat

di matanya. Kusuma menarik napas dalam-dalam, matanya menatap sejenak ke


arah jendela yang terbuka, melihat cuaca yang semakin mendung. Hati tua itu

berdebar, menandakan sesuatu yang buruk akan datang.

Tanpa peringatan, suara langkah kaki yang serentak dan beberapa jeritan

mulai terdengar di kejauhan. Perlahan-lahan, suara itu semakin mendekat.

Beberapa anak yang awalnya tertawa dan bercanda, kini diam dan saling

berpandangan, merasa ada yang tidak beres.

”Keluar! Keluar kalian semua! Keluar kau Kusuma tua!”

“Kalian dengar itu... ,” suara Kusuma pecah, berat. “Cepat, kalian harus

bersembunyi!”

Dengan panik, Kusuma bergerak cepat, membuka pintu belakang rumah.

Anak-anak mengikuti dengan gugup, kecuali Anggun yang tetap diam di tempat,

menatap Kusuma dengan tatapan cemas. Ia tahu, di luar sana, sesuatu yang buruk

sedang terjadi. Saat berlari keluar, Rani mengetahui ada yang kurang, ia melihat

ke belakang, melihat Anggun yang masih berdiri di dekat lemari, ia dengan cepat

menariknya untuk pergi bersama, ”Apa yang kau lakukan, Anggun? Kenapa

masih diam?” ucapnya dengan tergesa-gesa.

Anggun yang sedikit terkejut karena tiba-tiba ditarik pun terdiam sebentar.

Ia tampak telah mengambil sesuatu dari lemari Kusuma, membuatnya agak

kesusahan untuk berlari sama cepat dengan yang lain, ”Ah! Tunggu, Rani! Aku-”

belum siap berkata, Rani langsung menarik Anggun pergi.

“Mbah, ayo ikut kami!” teriak Rayan, sudah menggenggam adik-adiknya.

Kusuma menatapnya sebentar, lalu menggelengkan kepala. “Kalian harus pergi

sekarang. Jangan tunggu aku. Mereka akan datang ke sini...dan rumah ini...

rumah ini takkan aman lagi. Aku yang akan menahan mereka. Pergilah.” katanya

panik.

Wajah Rayan yang biasanya terlihat tangguh kini mulai terlihat rapuh,

Rayan dengan suara bergetar memohon, “Mbah, jangan tinggalkan kami...”

katanya lirih. Kusuma terdiam sebentar, wajahnya melembut sedikit, menunjukan

kasih sayang. “Kalian masih muda. Dunia ini butuh kalian. Jangan biarkan bakat


ini hilang. Pergilah sekarang dan jadikan karya kalian hidup seperti yang pernah

aku coba lakukan.” katanya berpesan.


Rayan menatap Kusuma sejenak, dengan berat hati, ia mulai menarik adik-

adiknya pergi dari rumah Kusuma. Di saat mereka sedang berlari, Anggun melihat


ke belakang, pria tua yang hidupnya diabdikan untuk kata-kata itu mengangguk

memberi semangat terakhir sebelum kembali masuk ke rumahnya itu. Anggun

yang melihat itu pun menumbuhkan suatu keberanian dalam dirinya. Ia tanpa ragu

memisahkan diri dari teman-temannya yang lain, berlari menuju suatu pelabuhan.

Terdengar suara gebrakan dari pintu depan rumah Kusuma, suara teriakan

itu terdengar seperti iblis dibandingkan dengan manusia, ”Hei! Kusuma! Keluar

kau! Aku tau kau bersembunyi di rumah ini, orang tua!” Ia menerobos masuk

dengan pasukannya yang lain, mengobrak-abrik barang-barang yang ada di depan

mereka.

Dengan langkah tenang, Kusuma berjalan kembali ke ruang tamu, ”Tidak

sopan sekali, apa mau kau? Aku tak punya uang atau perhiasan.” ucap nya dengan

tegas, orang tua itu berdiri di hadapan mereka tanpa rasa takut sekali pun.

Mendengar itu, mereka langsung menghadap ke arah suara itu berasal, si

kapten tersenyum tipis, tetapi tak ada kehangatan sama sekali di senyuman itu,

”Ah, akhirnya... Kau masih hidup juga, ya?” ucapnya mengejek. ”Kau tahu,

Kusuma? Aku tak mau harta... Aku mau lebih dari itu.” katanya menegaskan.

Kusuma mengerutkan keningnya saat mendengar itu, ”Apa yang kau inginkan

kalau begitu?” tanya lelaki tua itu balik.

Mendengar itu, si kapten tertawa keras, seolah-olah sedang menonton

acara komedi. Ia menepuk pahanya sedikit sebelum akhirnya berhenti. ”Apa lagi

kalau bukan karya ilegalmu itu? Ada-ada saja... Cepat berikan atau kubakar.”

lanjutnya menegaskan.

Kusuma kemudian mendecak, ia menatap si kapten itu dengan menantang,

”Kami menulis sajak sejak 1886... dan karya itu akan selalu tumbuh kembali, di

tangan yang berbeda, di mana pun, dan kapan pun. Mereka bagaikan rumput, kau

anggap sepele dan kau injak, tapi bumi tak lagi indah dipandang tanpa mereka.


Karya itu turun-temurun bagaikan darah daging kami sendiri dan mereka akan

selalu abadi karena itu janji pemuda kami. Jadi... bakar saja kalau kau mau, kau

hama!” ucap Kusuma marah.

Mendengar itu, senyuman kejamnya tersapu hilang, digantikan dengan

wajah yang jengkel, ia ingin membalas kata-kata orang tua itu, tetapi tak sepatah

kata pun keluar dari mulutnya. Melihat si kapten yang terdiam, Kusuma

tersenyum kecil. Si kapten tidak sanggup menahan amarahnya dan merasa telah di

pojokkan hanya dengan kata-kata. Ia berteriak ke prajuritnya, ”Lempar semua

buku itu keluar dan bakar! Bakar sampai habis!”

Tanpa basa-basi, mereka langsung menyeret lemari penuh karya itu keluar

dari rumah Kusuma dan melemparnya keluar. Dengan obor, mereka bakar kertas

penuh sejarah itu, senyuman jahat kembali di muka kapten itu, ”Selamat

menikmati api unggun gratismu, Kusuma tua...” katanya menyeringai. Mereka

langsung pergi, meninggalkan Kusuma dan bukunya yang habis dilahap api.

Rasanya sakit, tapi Kusuma hanya bisa menghelus dadanya, menonton api yang

menari-nari seolah mengejeknya.

Beberapa tahun telah berlalu semenjak kejadian itu. Kusuma yang

badannya semakin lemah dimakan waktu, di jemput oleh anaknya untuk dirawat

di rumah. Kusuma sedang duduk di kursi goyangnya, melakukan rutinitasnya

setiap pagi sampai datang seorang pria di hadapannya, berlutut dan segera

meletakkan sebuah buku di pangkuan Kusuma, judulnya terlihat familiar. Dengan

suara lembut penuh perhatian, pria itu berkata, “Pa... Karya papa ada di seluruh

dunia... papa terkenal... Seorang gadis memberikan ini kepadaku. Ia bernama

Anggun, murid papa yang lama.” suaranya sedikit bergetar, seolah sedang

menahan tangisan. Kusuma yang mendengar itu pun terdiam, seolah-olah terkejut

sebelum tertawa, senyuman bangga terpancar di wajahnya, ”Sudah kuduga.

Ucapkan terima kasihku kepada Anggun. Oh ya, Rayan, Roni, dan Rani juga...”

ucapnya tersenyum lebar. Dengan itu, matanya tertutup dengan tenang, ia tertawa

sedikit lagi sebelum akhirnya menghembuskan napas terakhir dengan senyuman.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MOSI DEBAT SMA BULAN BAHASA 2019

MOSI YANG DILOMBAKAN DALAM DEBAT PRATIKUM SASTRA KE 27

(Hari Terakhir, Pengenalan Kehidupan Kampus Bagi Mahasiswa Baru )