/1/
Bila tiba haribaan budaya, kota mencipta rak-rak ingatan, tempat kami membaca ritus
penghidupan pada halte bus yang menaik-turunkan kata-kata, dan peron stasiun yang
menaja tuju liku kebersamaan, apabila helat keragaman berserak berduyun di trotoar.
Dan kebersamaan ialah keragaman budaya ditumpuk secara sengaja, tempat kata-kata
bekerja pada titian tertinggi mengebaki jumhur kepala sesiapa.
/2/
Haribaan persimpangan ialah rak selanjutnya yang meramu sejumlah ragam budaya,
bila kau terhenti pada jagat lampu merah;
Biar pipi menuduh banjir dari hulu mata sementara musim kering selalu
merindukannya, kota melawat budaya yang tertinggal sebagaimana pemulung
pula pengemis yang menyusun tubuhnya pada lelap lampu kota, sebab mereka
sebagaimana kata-kata istimewa yang tak sempat dipergunakan dalam
tertumpuk kamus-tersepah dalam jangat rambu persimpangan. Sesungguhnya,
mereka bekerja pada sejumlah persimpangan kepala dan terlelap pada rengkuh
kemul tubuh budaya.
/3/
Namun, tiada yang lekang dari haribaan keragaman budaya, tempat kau menyulam
harap di bantaran kalbu.
Bila lelangit uzur, ia memarut tubuhnya dengan gedung-gedung gurindam yang
mencipta kebersamaan tempat para pembaca menggunung menaja puisi yang dilarung
hingga, apabila tertumpuk keberagaman budaya pada suatu kata, kadung jelma
material-material puisi yang tak lagi mewujud utuh sedu-sedan itu, kata
tak lantas kadung mati, sebab ia tak lagi mengemis pula memulung pada
tertumpuk lapuk Maha Jangkung, sebab pasca tertumpuk keberagaman budaya itu
runtuh,
kata-kata berserak, kelak ia akan hidup di senyap kertas kosong.
Sebagaimana kala budaya di hati para jumhur terbakar dan air mata terpasok pada
jangat trotoar, perbedaan buaya yang mengemis, akan terlelap, dibelai
haribaan keberagaman, sebab mereka tertidur di atas sejumlah material
puisi pada surat-surat kabar.
Siak Sri Indrapura, 10 Oktober 2024
.png)
0 Komentar