TEKS PUISI UNTUK LOMBA MEMBACA PUISI BULAN BAHASA 27-28 OKTOBER 2017

TARIAN SUNYI
KARYA: MASKIRBI

Ada yang menari di kesunyian malam
Ketika kutanyakan tarian apa itu
            “tarian sunyi”
                     katanya
            “mari ikut menari”
                     ajaknya

lalu kami menari dengan irama degup jantung
kami berputar-putar melingkari angin, semakin
cepat putaran kami, semakin kecil lingkaran angin
lenguh nafas, ketip jari, hentak kaki, hempas lengan
degup jantung menjadi nyanyian.
Ketika kutanyakan nyanyian apa itu
            “nyanyian dzikir”
                       katanya
            “ayo terus menari, ayo, nyanyikan dzikir”
                       ajaknya

ia peluk tubuhku dan mempercepat tarian kami
sampai tak ada suara, kecuali angin, kecuali sunyi
kami menjadi angin terapung di lautan udara, lalu
menjadi sunyi, aku tak bertanya lagi, kecuali terus
menari sampai telanjang di dalam sunyi.





RESONANSI INDONESIA
KARYA: AHMADUN YOSI HERFANDA

bahagia saat kau kirim rindu
termanis dari lembut hatimu
jarak yang memisahkan kita
laut yang mengasuh hidup nahkoda
pulau-pulau yang menumbuhkan kita
permata zamrud di katulistiwa
: kau dan aku
berjuta tubuh satu jiwa

kau semaikan benih-benih kasih
tertanam dari manis cintamu
tumbuh subur di ladang tropika
pohon pun berbuah apel dan semangka
kita petik bersama bagi rasa bersaudara
: kau dan aku
berjuta kata satu jiwa

kau dan aku
siapakah kau dan aku?
jawa, cina, aceh, batak, arab, dayak
sunda, madura, ambon, atau papua?
ah, tanya itu tak penting lagi bagi kita
: kau dan aku
Berjuta wajah satu jiwa

ya, apalah artinya tembok pemisah kita
apalah artinya rahim ibu yang berbeda?
jiwaku dan jiwamu, jiwa kita
tulus menyatu dalam asuhan
burung garuda
  




NYANYIAN KEBEBASAN ATAWA BOLEH APA SAJA
KARYA: K.H.A. MUSTOFA BISRI

Merdeka !
Ohoi, ucapkanlah lagi pelan-pelan
Merdeka
Kau ‘kan tahu nikmatnya
Nyanyian kebebasan
Ohoi,
Lelaki boleh genit bermanja-manja
Wanita boleh sengit bermain bola
Anak muda boleh berkhutbah dimana-mana
Orang tua boleh berpacaran dimana saja

Ohoi,
Politikus boleh berlagak kiai
Kiai boleh main film semau hati
Ilmuwan boleh menggugat ayat
Gelandangan boleh mewakili rakyat

Ohoi,
Dokter medis boleh membakar kemenyan
Dukun klenik boleh mengatur kesejahteraan
Saudara sendiri boleh dimaki
Tuyul peri boleh dibaiki

Ohoi,
Pengusaha boleh melacur
Pelacur boleh berusaha
Pembangunan boleh berjudi
Penjudi boleh membangun

Ohoi,
Yang kaya boleh mengabaikan saudaranya
Yang miskin boleh menggadaikan segalanya
Yang diatas boleh dijilat hingga mabuk
Yang dibawah boleh diinjak hingga remuk

Ohoi,
Seniman boleh bersufi-sufi
Sufi boleh berseni-seni
Penyair boleh berdzikir samawi
Mubaligh boleh berputar duniawi

Ohoi,
Si anu boleh anu
Siapa boleh apa
Merdeka ?





MENJELANG KEBERANGKATAN
KARYA: MAMAN S MAHAYANA

Menjelang keberangkatan
jendela tak perlu lagi terbuka
biarlah pintu ini menutup dengan kunci masa lalu
bukankah semuanya usai
meski aku tak yakin, kemana tujuan keberangkatan ini.

Menjelang keberangkatan
membelah awan menapaki cakrawala
mungkin melelahkan
dan kau berkata: “Jangan terbangkan harapanku di sana.
Aku hanya ingin jumpa.
Seperti dulu, ketika hujan menunggu kita tenggelam.”
Ada persiapan yang tak seberapa
melipat rindu dan duka yang berjalan perlahan menuju bagasi

Menjelang keberangkatan
panjang dan menyenangkan, agaknya
kau melambaikan tangan dan air matamu jatuh
di antara kancing baju tadi malam
berangkatlah kekasih
bandara terlalu ramai untuk tempat terakhir
terbanglah bersama cahaya putih
pulanglah seperti semula kau datang
bukankah kita akan jumpa bersama masa lalu yang selesai
Selalu, kursi-kursi itu kosong
mungkin aku harus menunggu
waktu yang tentu, jam yang tak berdetak
tetapi sampai kapan?

Menjelang keberangkatan
sesungguhnya aku belum siap pulang!





SAJAK BULAN MEI 1998 DI INDONESIA
KARYA: WS. RENDRA

Aku tulis sajak ini di bulan gelap raja-raja.
Bangkai-bangkai tergeletak lengket di aspal jalan.
Amarah merajalela tanpa alamat.
Ketakutan muncul dari sampah kehidupan.
Pikiran kusut membentuk simpul-simpul sejarah.
O, jaman edan !
O, malam kelam pikiran insan !
Koyak-moyak sudah keteduhan tenda kepercayaan.
Kitab undang-undang tergeletak di selokan.
Kepastian hidup terhuyung-huyung dalam comberan.
O, tatawarna fatamorgana kekuasaan !
O, sihir berkilauan dari mahkota raja-raja !
Dari sejak jaman Ibrahin dan Musa
Allah selalu mengingatkan.
bahwa hukum harus lebih tinggi
dari keinginan para politisi, raja-raja, dan tentara.
O, kebingungan yang muncul dari kabut ketakutan  !
O, rasa putus asa yang terbentur sangkur !
Berhentilah mencari ratu adil !
Ratu adil itu tidak ada. Ratu adil itu tipu daya !
Apa yang harus kita tegakkan bersama
adalah Hukum Adil.
Hukum Adil adalah bintang pedoman di dalam prahara.
Bau anyir darah yang kini memenuhi udara
menjadi saksi yang akan berkata ;
Apabila pemerintah sudah menjarah Daulat Rakyat,
apabila cukong-cukong sudah menjarah ekonomi bangsa,
apabila aparat keamanan suda menjarah keamanan,
maka rakyat yang tertekan akan mencontoh penguasa,
lalu menjadi penjarah di pasar dan jalan raya.
Wahai, penguasa dunia yang fana !
Wahai, jiwa yang tertenung sihir tahta !
Apakah masih buta dan tuli di dalam hati ?
Apakah masih akan menipu diri sendiri ?
Apabila saran akal sehat kamu remehkan
berarti pintu untuk pikiran-pikiran gelap
yang akan muncul dari sudut-sudut gelap
telah kami bukakan !
Cadar kabut duka cita menutup wajah Ibu Pertiwi
Airmata mengalir dari sajakku ini.





ZIARAH GEMPA
KARYA: SULAIMAN JUNED

aku
ziarahi negeri air mata. Kampung-kampung
terkepung isak-gerimis berkelahi di halaman mengoyak
derita-ribuan nyawa diceraiberaikan gempa. Aku
hanya mampu mendirikan kemah di hati
membunuh gelisah yang bersimaharaja antar
keperkuburan waktu.

aku
ziarahi negeri air mata. Kampung-kampung
terkepung luka-rinai tempias ke wajah semesta
mengeram di jiwa. Aku
hanya mampu mencatat keping duka
dalam senyap jerit untuk di kenang
jadi pelajaran menuju Tuhan.

aku
ziarahi negeri air mata. Kecemasan dan ketakutan
mengurung jiwa-Seperti rentak tangis bersahutan
sesak. Masih lekat diingatan tentang Aceh
dilipat air raya-Yogyakarta luluhlantak-Pesisir selatan Jawa
rubuh-Minangkabau diratakan gempa di ruang senja. Aroma
kematian menyekap pikiran dalam timbunan tanah dan beton. Apalagi
yang tersisa selain doa-doa ditasbihkan menembus langit memetik
bulan. Tuhan menegur kita dengan cinta-Nya

aku
ziarahi negeri air mata. sambil bertahlil
ingin sekali menyaksikan senyum dibibirmu jelita biar getir pergi dari sukma.





KEPADA PENYAIR LAUT
KARYA: MUSTAFA ISMAIL

dalam gigil pagi itu, di sebuah mesjid, kami membayangkan:
beribu-ribu puisi telah menetes di kota itu, dari isnu hingga rosin,
dari dari mustier hingga aliza, hingga entah siapa

kau datang dengan kesunyian masing-masing,
membikin laut sendiri, kolam renang sendiri, juga menanam pohon sendiri
dan menjadi aroma laut di udara

dan di sebuah kedai kopi pagi itu, semua kesunyian menjadi beku
seperti lelehan pohon-pohon dari puncak bukit
yang menari untuk secangkir kopi, secangkir kopi, secangkir kopi
oh iya, laut. laut itu, pantai itu, tugu itu, suak ujung kalak itu, pasir
itu, seperti aliran darahmu yang terus mendidih dan menyiram
kota-kota dengan mantra-mantra, dengan syair-syair, dengan
suara-suara

aku kira kau harus menjadi teuku umar yang menghunus pedang
ke udara, menaklukkan dusun, kampung hingga kota-kota
lalu meledakkannya menjadi karnaval kata-kata sebab dengan
begitulah bukit-bukit selalu hijau dan laut tetap berombak
mencatat gelisahmu, galauku, juga kesedihan mereka:
petani dan nelayan yang tak henti berlari dan merawat ingatan



  

AKU BATU
KARYA: SALMAN YOGA. S

Aku batu yang telah hancur menjadi butiran pasir
Aku batu benda keras yang menjadi debu
Aku batu yang telah dikembalikan oleh air yang cair
Kepada asal muasal kejadian
Aku batu yang tidak bernyawa
Aku batu yang juga menjadi saksi mata atas gemuruh
gelombang yang menimpa
Aku batu yang tidak berkeluarga
Aku batu yang tersunguk dan terguling-guling menahan terpa
Aku batu sebagai hamba dan ciptaanNya
Aku batu yang tidak seperti manusia
Aku batu yang tak berkata-kata
Aku batu yang mati dan hidup sama saja
Aku batu yang di takdirkan tidak berpikir dan merasa
Aku batu yang berdoa :
Ya Allah sempurnakan khianat kami
Agar tak lagi hamba yang memungkiri kejadiannya sendiri
Ya Syamik perdengarkan isak dan doa kami kepada
hambamu
Agar sujud tak lagi mengingkari hati
Agar murkamu menjadi peringatan dan ancaman bagi
generasi
Ya Allah sempurnakan kenistaan kami di hadapanMu
Agar hutang peri tak jadi waris bumi





DOA SEORANG HAKIM PENSIUNAN DI JAMAN PENJAJAHAN
KARYA: LEON AGUSTA

Tuhan
Masih sudikah engkau mendengarkan aku?
Setelah aku hukum mereka yang aku yakin tidak bersalah
Setelah aku bebaskan mereka yang aku yakin tidak bersalah
Setelah aku bebaskan diriku yang mengabaikan rasa keadilan
Hambamu ini sungguh tak berdaya, oh Tuhan
Batapapun aku mendengar hati nuraniku terus menjerit
PadaMu aku tak bersembunyi
Engkaulah yang Maha Tahu derita dan kebimbanganku

Setelah doa bagiku sendiri selesai
Akhirnya, inilah doaku sebagai hakim
Tuhanku
Engkau panggilah segera ke Makamah PengadilanMu, mereka
Yang selalu memperkosa hakhakku sebagai seorang hakim
Yang selalu melumpuhkan rasa keadilan dalam kalbuku
Engkau panggillah segera ke Makamah PengadilanMu, mereka
Aku tak sanggup memanggilnya ke Makamah pengadilanMu,
Mereka
Yang aku tak pernah berani mengadilinya

Amin.



  

KEPADA PARA PENCETUS SUMPAH PEMUDA
KARYA: A.R. NASUTION

Kami yang bersumpah demi darah dalam tubuh ini
terpacak di setiap dada
dua puluh delapan – sepuluh – dua puluh delapan
seperti terpacaknya kaki atas tanah tercinta
kau sirami mawar tempat kami berdiri

darah kami, adalah darahmu yang mengalir ‘o pemahat
dasar
pangkal segala akan
pelanjut juang anak-anak revolusi
revolusi yang tercetus atas sadar mula sadarmu

kami tak peduli malam pekat atau siang nyala
tanah rengkah terbayang hitam
karena jerit pahlawan dari celah rengkahan tanah pekuburan
atasnya belati
menetek dan membakari dada-dada ini

gubuk-gubuk buruk lautan api
dan reruntuhan gedong-gedong batu-batu
anak-anak tak berbapak
berdekap di dada bundanya janda
‘o tak terbilang ibu-bapak yang kehilangan jejakanya
jejaka berdada bidang dibentuk sawah dan
segarnya udara desa
halus-halus tangan perawan menabur melati atas pusara
dadanya rela, putih hati perawan desa atas desanya
kita tak berjuang demi sumpah
dua puluh delapan – sepuluh – dua puluh delapan
tak satupun pengorbanan akan jadi sia-sia
dan dari timur menyusur pantai-pantai
saat ulang kedua puluh delapan mula jadi ikrarmu
kami bawa panji-panji kemenangan menjadi panca ikrar
satu nusa – satu bangsa – satu bahasa
satu bendera dan satu lagu Indonesia Raya!

Dan Ariel Sharon enak saja bicara
                 “ itu ‘kan kerja milisia kanan.”
Begin mengangguk, didepannya semangkok cuci tangan
Sedang Arafat mengurut dada, di hatinya terukir
sebuah tanya :
“ Inikah harga dari sebuah gencatan senjata?”
sementara negara-negara tetangga terus bersitegang
sambil meneriakkan pidato-pidato yang gagah!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MOSI DEBAT SMA BULAN BAHASA 2019

MOSI YANG DILOMBAKAN DALAM DEBAT PRATIKUM SASTRA KE 27

Mahasiswa 2018: Kesan dan Pesan PKKMB dan Sehari Bersama Maba