ANDA WAJIB TAHU !!! TEKS MENDONGENG UNTUK LOMBA MENDONGENG PRAKTIKUM SASTRA KE-26

*      Dongeng Putri Kaca Mayang

              (Pekanbaru)
Alkisah, pada zaman dahulu kala, di tepi Sungai Siak berdirilah sebuah kerajaan bernama Gasib. Kerajaan ini sangat terkenal, karena mempunyai seorang panglima gagah perkasa dan disegani, Panglima Gimpam namanya. Selama ia menjadi penglima Kerajaan Gasib, tiada satu pun kerajaan laindapat menaklukkannya.
Selain itu, Kerajaan Gasib jua mempunyai seorang putri kecantikannya sudah masyhur sampai ke berbagai negeri, Putri Kaca Manamanya.Meskipun demikian, tak seorang raja pun berani meminangnya. Mereka merasa segan meminang sang Putri, karena Raja Gasib terkenal mempunyai Panglima Gimpam gagah berani itu.
Pada suatu hari, Raja Aceh memberanikan dirinya meminang PutriKaca Mayang. Ia pun mengutus dua orang panglimanya tuk menyampaikan maksudpinangannya kepada Raja Gasib. Sesampainya di hadapan Raja Gasib, kedua panglima itu kemudian menyampaikan maksud kedatangan mereka.
“Ampun, Baginda! Kami adalah utusan Raja Aceh. Maksud kedatangan kami adalah tuk menyampaikan pinangan raja kami,” lapor seorang utusan.
“Benar, Baginda! Raja kami bermaksud meminang Putri Baginda bernamaPutri Kaca Mayang,” tambah utusan satunya.
“Maaf, Utusan! Putriku belum bersedia tuk menikah. Sampaikan permohonan maaf kamikepada raja kalian,” jawab Raja Gasib dengan penuh wibawa. Mendengar jawaban itu, kedua utusan tersebut bergegas kembali ke Aceh dengan perasaan kesal dan kecewa.
Di hadapan Raja Aceh, kedua utusan itu melaporkan tentang penolakan Raja Gasib. Raja Aceh sangat kecewa dan merasa terhina mendengar laporan itu. Ia sangat marah dan berniat tuk menyerang Kerajaan Gasib.
Sementara itu, Raja Gasib telah mempersiapkan pasukan perang kerajaan tuk menghadapi serangan mungkin terjadi, karena ia sangat mengenal sifat Raja Aceh angkuh itu. Panglima Gimpam memimpin penjagaan di Kuala Gasib, yaitu daerah di sekitar Sungai Siak.
Rupanya segala persiapan Kerajaan Gasib diketahui oleh Kerajaan Aceh. Melalui seorang mata-matanya, Raja Aceh mengetahui Panglima Gimpam gagah perkasa itu berada di Kuala Gasib. Oleh sebab itu, Raja Aceh dan pasukannya mencari jalan lain tuk masuk ke negeriGasib. Maka dibujuknya seorang penduduk Gasib menjadi penunjuk jalan.
“Hai, orang muda! Apakah kamu penduduk negeri ini?, tanya pengawal Raja Aceh kepada seorang penduduk Gasib. “Benar, Tuan!” jawab pemuda itu singkat. “Jika begitu, tunjukkan kepada kami jalan darat menuju negeri Gasib!” desak pengawal itu. Karena mengetahui pasukan dilengkapi dengan senjata itu akan menyerang negeri Gasib, pemuda itu menolak tuk menunjukkan mereka jalan menuju ke Gasib.Ia tak ingin menghianati negerinya. “Maaf, Tuan! Sebenarnya saya tak tahu seluk-beluk negeri ini,” jawab pemuda itu. Merasa dibohongi, pengawal Raja Aceh tiba-tiba menghajar pemuda itu hingga babak belur. Karena tak tahan dengan siksaan diterimanya, pemuda itu terpaksa memberi petunjuk jalan darat menuju ke arah Gasib.
Berkat petunjuk pemuda itu, maka sampailah prajurit Aceh di negeri Gasib tanpa sepengetahuan Panglima Gimpam dan anak buahnya. Saat prajurit Aceh memasuki negeri Gasib, mereka mulai menyerang penduduk. Raja Gasib sedang bercengkerama dengan keluarga istana tak mengetahui musuhnya telah memporak-porandakan kampung dan penduduknya. Ketika prajurit Aceh menyerbu halaman istana, barulah Raja Gasib sadar, namun perintah tuk melawan sudah terlambat. Semua pengawal tak sempat mengadakan perlawanan telah tewas di ujung rencong (senjata khas Aceh) prajurit Aceh. Dalam sekejap, istana berhasil dikuasai oleh prajurit Aceh. Raja Gasib tak dapat berbuat apa-apa. Ia hanya bisa menyaksikan para pengawalnya tewas satu-persatu dibantai oleh prajurit Aceh. Putri Kaca Macantik jelita itu pun berhasil mereka bawa lari.
Panglima Gimpam mendapat laporan bahwa istana telah dikuasai prajurit Aceh, ia bersama pasukannya segera kembali ke istana. Ia melihat mayat-mayat bergelimpangan bersimbah darah. Panglima Gimpam sangat marah dan bersumpah tuk membalas kekalahan Kerajaan Gasib dan berjanji akan membawa kembali PutriKaca Make istana.
Pada saat itu pula Panglima Gimpam berangkat ke Aceh tuk menunaikan sumpahnya. Dengan kesaktiannya, tak berapa lama sampailahPanglima Gimpam di Aceh. Prajurit Aceh telah mempersiapkan diri menyambut kedatangannya. Mereka telah menyiapkan dua ekor gajah besar tuk menghadang Panglima Gimpam di gerbang istana. Ketika Panglima Gimpam tiba di gerbang istana, ia melompat ke punggung gajah besar itu. Dengan kesaktian dan keberaniannya, dibawanya kedua gajah yang dijinakkan itu ke istana tuk diserahkan kepada Raja Aceh.
Raja Aceh sangat terkejut dan takjub melihat keberanian dan kesaktian Panglima Gimpam menjinakkan gajah yang dipersiapkan tuk membunuhnya. Akhirnya Raja Aceh mengakui kesaktian Panglima Gimpam dan diserahkannya Putri Kaca Matuk dibawa kembali ke istana Gasib. Setelah itu, Panglima Gimpam segera membawa Putri Kaca Masedang sakit itu ke Gasib. Dalam perjalanan pulang, penyakit sang Putri semakin parah. Angin begitu kencang membuat sang Putri susah tuk bernapas. Sesampainya di Sungai Kuantan, Putri Kaca Mayang meminta kepada Panglima Gimpam tuk berhentisejenak. “Panglima! Aku sudah tak kuat lagi menahan sakit ini. Tolong sampaikan salam dan permohonan maafku kepada keluargaku di istina Gasib,” ucap sang Putri dengan suara serak. Belum sempat Panglima Gimpam berkata apa-apa, sang Putri pun menghembuskan nafas terakhirnya. Panglima Gimpam merasa bersalah sekali, karena ia tak berhasil membawa sang Putri ke istana dalam keadaan hidup. Dengan diliputi rasa duka mendalam, Panglima Gimpam melanjutkan perjalanannya dengan membawa jenazah Putri Kaca Make hadapan Raja Gasib.
Sesampainya di istana Gasib, kedatangan Panglima Gimpam membawa jenazah sang Putri itu disambutoleh keluarga istana dengan perasaan sedih. Seluruh istana dan penduduk negeri Gasib ikut berkabung. Tanpa menunggu lama-lama, jenazah Putri Kaca Masegera dimakamkan di Gasib. Sejak kehilangan putrinya, Raja Gasib sangat sedih dan kesepian. Semakin hari kesedihan Raja Gasib semakin dalam. tuk menghilangkan bayangan putri amat dicintainya itu, Raja Gasib memutuskan tuk meninggalkan istana dan menyepi ke Gunung Ledang, Malaka.
tuk sementara waktu, pemerintahan kerajaan Gasib dipegang oleh Panglima Gimpam. Namun, tak berapa lama, Panglima Gimpampun berniat tuk meninggalkan kerajaan itu. Sifatnya setia, membuat Panglima Gimpam takingin menikmati kesenangan di atas kesedihan dan penderitaan orang lain. Ia pun tak mau mengambil milik orang lain walaupun kesempatan itu ada di depannya.
Akhirnya, atas kehendaknya sendiri, Panglima Gimpam berangkat meninggalkan Gasib dan membuka sebuah perkampungan baru, dinamakan Pekanbaru. Hingga kini, nama itu dipakai tuk menyebut nama ibukota Provinsi Riau yaitu Kota Pekanbaru. Sementara, makam Panglima Gimpam masih dapat kita saksikan di Hulu Sail, sekitar 20 km dari kota Pekanbaru.




*      Dongeng Lipat Kain/Si Lancang Kuning
     (Kampar)
Konon, pada zaman dahulu kala, hiduplah seorang wanita miskin dengan anak laki-lakinya yang bernama si Lancang. Mereka berdua tinggal di sebuah gubuk reot di sebuah negeri bernama Kampar. Ayahsi Lancang sudah lama meninggal dunia. EmakLancang bekerja menggarap ladang orang lain, sedangkan si Lancang menggembalakan ternak tetangganya.
Pada suatu hari, si Lancang betul-betul mengalami puncak kejenuhan. Ia sudah bosan hidup miskin. Ia ingin bekerja dan mengumpulkan uang agar kelak menjadi orang kaya. Akhirnya ia pun meminta izin emaknya untuk pergi merantau ke negeri orang. “Emak, Lancangsudah tidak tahan lagi hidup miskin. Lancang ingin pergi merantau, Mak!” mohon si Lancang kepada emaknya. Walaupun berat hati, akhirnya emaknya mengizinkan si Lancang pergi. “Baiklah, Lancang. Kauboleh merantau, tetapijangan lupakan emakmu. Jika nanti kau sudah menjadi kaya, segeralah pulang,” jawab Emak Lancang mengizinkan.
Mendengar jawaban dari emaknya, si Lancang meloncat-loncat kegirangan. Ia sudah membayangkan dirinya akan menjadi orang kaya raya di kampungnya. Ia tidak akan lagi bekerja sebagai pengembala ternak yang membosankan itu. Emak Lancang hanya terpaku melihat si Lancang meloncat-loncat. Ia ia tampaknyasedih sekali akan ditinggal oleh anak satu-satunya. Melihat ibunya sedih, si Lancang pun berhenti meloncat-lonta, lalu mendekati emaknya dan memeluknya. “Janganlah bersedih, Mak. Lancang tidak akan melupakan emak di sini. Jika nanti sudah kaya, Lancang pasti pulang Mak,” kata si Lancang menghibur emaknya. Emaknya pun menjadi terharu mendengar ucapan dan janji si Lancang, dan hatinya pun jadi tenang. Lalu si Emak berkata, “Baiklah Nak! Besok pagi-pagi sekali kamu boleh berangkat. Nantimalam Mak akan membuatkan lumping dodak untuk kamu makan di dalam perjalanan nanti.”
Keesokan harinya, si Lancang pergi meninggalkan kampung halamannya. Emaknya membekalinya beberapa bungkus lumping dodak makanan kesukaan si Lancang.
Bertahun-tahun sudah si Lancang di rantauan. Akhirnya ia pun menjadi seorang pedagang kaya. Ia memiliki berpuluh-puluh kapal dagang dan ratusan anak buah. Istri-istrinya puncantik-cantik dan semua berasal dari keluarga kaya pula. Sementara itu, nun jauh di kampung halamannya, emak si Lancang hidup miskin seorang diri.
Suatu hari si Lancang berkata kepada istri-istrinya berlayar bahwa dia akan mengajak mereka berlayar ke Andalas. Istri-istrinya pun sangat senang. “Kakanda, bolehkah kami membawa perbekalan yang banyak?” tanya salah seorang istri Lancang. “Iya…Kakanda, kami hendak berpesta pora di atas kapal,” tambahistri Lancang yang lainnya. Si Lancang pun mengambulkan permintaan istri-istrinya tersebut. “Wahai istri-istriku! Bawalah perbekalan sesuka kalian,” jawab si Lancang. Mendengarjawaban dari si Lancang, mereka pun membawa segala macam perbekalan, mulai dari makanan hingga alat musik untuk berpesta di ataskapal. Mereka juga membawa kain sutra dan aneka perhiasan emas dan perak untuk digelar di atas kapal agar kesan kemewahan dan kekayaan si Lancang semakin tampak.
Sejak berangkat dari pelabuhan, seluruh penumpang kapal si Lancang berpesta pora. Mereka bermain musik, bernyanyi, dan menari di sepanjang pelayaran. Hingga akhirnya kapal si Lancang yang megah merapat di Sungai Kampar, kampung halaman si Lancang. “Hai …! Kita sudah sampai …!” teriak seorang anak buah kapal.
Penduduk di sekitar Sungai Kampar berdatangan melihat kapal megah si Lancang. Rupanya sebagian dari mereka masih mengenal wajah si Lancang. “Wah, si Lancang rupanya! Dia sudah jadi orang kaya,” kata guru mengaji si Lancang. “Megah sekali kapalnya. Syukurlah kalau dia masih ingat kampung halamannya ini,” kata teman si Lancang sewaktu kecil.Dia lalu memberitahukan kedatangan si Lancangkepada emak si Lancang yang sedang terbaring sakit di gubuknya.
Betapa senangnya hatiemak si Lancang saat mendengar kabar anaknya datang. “Oh, akhirnya pulang juga si Lancang,” seru emaknya dengan gembira. Dengan perasaan terharu, dia bergegas bangkit dari tidurnya, tak peduli meski sedang sakit. Dengan pakaian yang sudah compang-camping, dia berjalan tertatih-tatih untuk menyambut anak satu-satunya di pelabuhan.
Sesampainya di pelabuhan, emak si Lancang hampir tidak percaya melihat kemegahan kapal si Lancang anaknya. Dia tidak sabar lagi ingin berjumpa dengan anaksatu-satunya itu. Dengan memberanikan diri, dia mencoba naik ke geladak kapal mewahnya si Lancang. Saat hendak melangkah naik ke geladak kapal, tiba-tiba anak buah si Lancang menghalanginya. “Hai perempuan jelek! Jangan naik ke kapal ini. Pergi dari sini!” usir seorang anak buah kapal si Lancang.“Tapi …, aku adalah emak si Lancang,” jelas perempuan tua itu.
Mendengar kegaduhandi atas geladak, tiba-tiba si Lancang yang diiringi oleh istri-istrinya tiba-tiba muncul dan berkata, “Bohong! Dia bukan emakku. Usir dia dari kapalku,” teriak si Lancang yang berdiri di samping istri-istrinya. Rupanya ia malu jika istri-istrinya mengetahui bahwa wanita tua dan miskin itu adalah emaknya.
“Oh, Lancang …, Anakku! Emak sangat merindukanmu, Nak …,”rintih emak si Lancang.Mendengar rintihan wanita tua renta itu, dengan congkaknya si Lancang menepis, lalu berkata, “manalah mungkin aku mempunyai emak tua dan miskin seperti kamu.” Kemudian si Lancang berteriak, “Kelasi! Usir perempuan gila itu darikapalku!” Anak buah siLancang mengusir emak si Lancang dengan kasar. Dia didorong hingga terjerembab. Kasihan sekali Emak Lancang. Sudah tua, sakit-sakitan pula. Sungguh malang nasibnya. Hatinya hancur lebur diusir oleh anak kandungnya sendiri. Dengan hati sedih, wanita tua itu pulang ke gubuknya. Di sepanjang jalan dia menangis. Dia tidak menyangka anaknya akan tega berbuat seperti itu kepadanya.
Sesampainya di rumah,wanita malang itu mengambil lesung dan nyiru pusaka. Dia memutar-mutar lesungitu dan mengipasinya dengan nyiru sambil berdoa, “Ya, Tuhanku. Si Lancang telah kulahirkan dan kubesarkan dengan airsusuku. Namun setelahkaya, dia tidak mau mengakui diriku sebagai emaknya. Ya Tuhan, tunjukkan padanya kekuasaan-Mu!”
Dalam sekejap, tiba-tiba angin topan berhembus dengan dahsyat. Petir menggelegar menyambar kapal si Lancang. Gelombang Sungai Kampar menghantam kapal si Lancang hingga hancurberkeping-keping. Semua orang di atas kapal itu berteriak kebingungan, sementara penduduk berlarian menjauhi sungai.
“Emaaak …, si Lancang anakmu pulang. Maafkan aku, Maaak!” terdengar sayup-sayup teriakan si Lancang di tengah topan dan badai. Namun, malapetaka tak dapat dielakkan lagi. Si Lancang dan seluruh istri dan anak buahnya tenggelam bersama kapal megah itu.
Barang-barang yang ada di kapal si Lancang berhamburan dihempas badai. Kain sutra yang dibawa si Lancang dalam kapalnya melayang-layang. Kain itu lalu berlipat dan bertumpuk menjadi Negeri Lipat Kain yang terletak di Kampar Kiri.Sebuah gong terlempar dan jatuh di dekat gubuk emak si Lancang di Air Tiris, menjadi Sungai Ogong di Kampar Kanan. Sebuah tembikar pecah dan melayang menjadi Pasubilah yang letaknya berdekatan dengan Danau si Lancang. Di danau itulah tiang bendera kapal si Lancang tegak tersisa.Bila sekali waktu tiang bendera kapal si Lancang itu tiba-tiba muncul ke permukaan danau, maka pertanda akan terjadi banjir di Sungai Kampar. Banjir itulah air mata si Lancang yang menyesali perbuatannya karena durhaka kepada emaknya.
Sejak peritiwa itu, masyarakat Kampar meyakini bahwa meluapnya sungai Kampar bukan saja disebabkan oleh tingginya curah hujan di daerah ini, tetapi juga disebabkan oleh munculnya tiang kapal si Lancang di Danau Lancang. Kabupaten Kampar yang masuk dalam wilayah Propinsi Riau ini, sangat rawan dengan banjir. Hampir setiap tahun Sungai Kampar meluap, sehingga menyebabkan banjir besar yang bisa merendam pemukiman penduduk di sekitarnya.

*      Dongeng Dayang Kumunah/Daipah
     (Kuantan Singingi)
AIkisah di sebuah dusun di daerah Riau, hiduplah seorang laki-laki tua bernama Awang Gading. Ia hidup sebatang kara karena istrinya sudah meninggal tanpa meninggalkan seorang anak.
Sehari-hari, pekerjaan Awang Gading adalah menangkap ikan di sungai. Jika beruntung, ia akan mendapatkan banyak ikan yang bisa ditukar dengan beras di pasar. Meskipun hidup sederhana, Awang Gading tak pernah mengeluh. Ia bahagia dan selalu bersyukur dengan keadaannya itu.
Pagi itu, seperti biasanya Awang Gading pergi ke sungai. Sambil berdendang, ia menanti ikan memakan umpannya. Tapi, sepertinya hari itu bukanlah hari keberuntungannya. Sudah berkali-kali umpannya dimakan ikan, tapi ikan itu lepas saat Awang Gading menarik pancingnya.
"Hmm... mungkin nasibku hari ini kurang balk. Lebih baik aku pulang saja, aku akan kembali besok. Siapa tahu aku Iebih mujur," katanya sambil mengemasi peralatan pancingnya.
"Oweekkk... owekkk...," tiba-tiba terdengar suara bayi menangis. Langkah kaki Awang Gading terhenti. "'Suara tangis bayi siapa itu?"
Ia mencari-cari sumber suara itu. Oh, ternyata suara bayi merah yang tergeletak di semak-semak. Awang Gading menoleh ke kanan dan ke kiri. Tak ada seorang pun di sana, lalu bayi siapa itu? Awang Gading bingung, tapi akhirnya memutuskan untuk membawa dan merawat bayi itu. Ia menamainya Dayang Kumunah.
Seluruh penduduk dusun menyambut kehadiran Dayang Kumunah dengan sukacita. Kepala dusun pun mengunjungi rumah Awang Gading, "Bayi ini adalah titipan dari raja penghuni sungai. Rawatlah dengan balk," kata kepala dusun. Awang Gading sangat bahagia. Apalagi Dayang Kumunah tumbuh menjadi gadis yang cantik clan berbudi luhur. Tingkah lakunya sopan, ia pun ramah pada semua orang. Hanya satu kekurangannya, Dayang Kumunah tak pernah tertawa.
Kecantikan Dayang Kumunah terdengar sampai ke telinga Awangku Usop, seorang pemuda kaya dari luar dusun. Penasaran, Awangku Usop pun datang berkunjung. Benar saja, ia Iangsung jatuh cinta pada pandangan pertama. "Dayang, maukah kau menikah denganku? Aku berjanji akan membahagiakanmu," pinta Awangku Usop.
"Sebelum menikahiku, Kanda perlu tahu, aku adalah penghuni sungai. Dunia kita berbeda, tapi jika Kanda mau menerimaku apa adanya, aku bersedia menjadi istri Kanda," jawab Dayang Kumunah. "Satu lagi, jangan pernah memintaku untuk tertawa. Aku tak bisa dan tak boleh melakukannya."
Awangku Usop menyetujui semua permintaan Dayang Kumunah. Pesta pernikahan pun digelar dengan meriah. Semua tamu bersenang-senang. Menurut mereka, Dayang Kumunah dan Awangku Usop adalah pasangan yang serasi.
Bertahun-tahun kemudian, rumah tangga Dayang Kumunah dan Awangku Usop dihiasi oleh tawa riang lima orang anak. Dayang Kumunah benar-benar melaksanakan tugasnya sebagai istri dan ibu yang baik. Awangku Usop tak pernah meragukannya. Namun suatu hari kebahagiaan mereka terusik. Awang Gading meninggal. Dayang Kumunah sangat sedih sepeninggal ayah angkatnya itu. Setiap hari mukanya murung. Biasanya, meskipun tak pernah tertawa, Dayang Kumunah masih tersenyum.
Namun sekarang senyumnya tak pernah tampak lagi. Awangku Usop tak ingin istrinya bersedih terus. Ia berusaha de ganse gala cara agar Dayang Kumunah kembali tersenyum.
Usahanya tak sia-sia. Perlahan-lahan, Dayang Kumunah mulai merelakan kepergian ayah angkatnya dan menjalani kehidupannya seperti biasa.
Tapi, Awangku Usop tak puas. Ia penasaran sekali, mengapa Dayang Kumunah tak pernah tertawa. Ia ingin agar sesekali istrinya tertawa, menunjukkan kebahagiaan hidup bersamanya dan anak-anak.
Anak bungsu mereka mulai bisa berjalan. Cara berjalannya lucu sekali. Dengan kakinya yang montok, ia tertatih-tatih berusaha berjalan lurus. Awangku Usop dan kakak-kakak si Bungsu tertawa menggoda si bungsu. Si bungsu pun tertawa terkekeh-kekeh dan berusaha mendekati ayahnya.
"Lihat istriku, anak kita mulai berjalan. Mengapa kau tak ikut bergembira bersama kami? Tertawalah, apakah kau tak bahagia melihat kelucuan si bungsu?" tanya Awangku Usop pada Dayang Kumunah.
Dayang Kumunah terdiam. Sebenarnya ia ingin tertawa, tapi tak boleh. Suaminya terus memaksa, akhirnya Dayang Kumunah tertawa juga. Ia tertawa terbahak-bahak, karena memang tingkah polah si bungsu sangat menggemaskan.
Saat Dayang Kumunah tertawa, Awangku Usop dan anak-anaknya tertegun. Mereka melihat insang ikan dalam mulut Dayang Kumunah. Hal itu menandakan bahwa ia keturunan ikan.
Dayang Kumunah tersentak, ia menyadari kesalahannya serta berlari meninggalkan suami dan anak-anaknya.
"Dayang... tunggu... kau mau ke mana?" Awangku Usop berlari mengejarnya. Kelima anaknya mengikuti dari belakang. Si bungsu digendong oleh kakaknya.
Dayang Kumunah terus berlari menuju sungai. Sesampainya di sungai, ia segera menceburkan diri. Aneh, tak lama kemudian tubuhnya berubah menjadi ikan. Ikan itu berenang meninggalkan Awangku Usop dan anak-anaknya.
Awangku Usop sadar telah berbuat salah dan menangis menyesali perbuatannya, "Mengapa aku memaksanya tertawa? Maafkan aku istriku, kembalilah, kami semua membutuhkanmu," ratapnya.
Kelima anaknya juga menangis. Tapi semuanya sudah terlambat. Meskipun telah menjadi ikan, Dayang Kumunah tetap cantik. Ikan jelmaan Dayang Kumunah itu berkulit mengkilat tanpa sisik, wajahnya cantik, dan ekornya bagaikan sepasang kaki wanita yang bersilang.
Masyarakat menyebutnya ikan patin. Karena itulah banyak masyarakat Riau yang tidak mau menyantap ikan patin. Mereka beranggapan ikan patin adalah jelmaan Dayang Kumunah yang masih merupakan kerabat mereka.

*      Dongeng Putri 7
      (Dumai)
Putri Tujuh adalah dongeng atau cerita rakyat mengenai asal mula Kota Dumai di provinsi Riau.
Pada zaman dahulu kala, di daerah Dumai berdiri sebuah kerajaan bernama Seri Bunga Tanjung. Kerajaan ini diperintah oleh seorang Ratu yang bernama Cik Sima. Ratu ini memiliki tujuh orang putri yang elok nan rupawan, yang dikenal dengan Putri Tujuh. Dari ketujuh putri tersebut,putri bungsulah yang paling cantik, nama nya Mayang Sari. Putri Mayang Sari memiliki keindahan tubuh yang sangat mempesona, kulitnya lembut bagai sutra, wajahnya elok berseri bagaikan bulan purnama, bibirnya merah bagai delima, alisnya bagai semut beriring, rambutnya yang panjang dan ikal terurai bagai mayang. Karena itu, sang Putri juga dikenal
dengan sebutan Mayang Mengurai . Pada suatu hari, ketujuh putri itu sedang mandi di lubuk Sarang Umai. Karena asyik berendam dan bersendau gurau, ketujuh putri itu tidak menyadari ada beberapa pasang matayang sedang mengamati mereka, yang ternyata adalah Pangeran Empang Kuala dan para pengawalnya yang kebetulan lewat di daerah itu. Mereka mengamati ketujuh putri tersebut dari balik semak-semak. Secara diam-diam, sang Pangeran terpesona melihat kecantikan salah satu putri yang tak lain adalah Putri Mayang Sari.
Tanpa disadari, Pangeran Empang Kuala bergumam lirih,
“Gadis cantik di lubuk Umai....cantik di Umai. Ya, ya.....d‘umai...d‘umai....”Kata-kata itu terus terucap dalam hati Pangeran Empang Kuala. Rupanya, sang Pangeran jatuh cinta kepada sang Putri. Karena itu, sang Pangeran berniat untuk meminangnya.
Beberapa hari kemudian, sang Pangeran mengirim utusan untuk meminang putri itu yang diketahuinya bernama Mayang Mengurai. Utusan tersebut mengantarkan tepak sirih sebagai pinangan adat kebesaran raja kepada Keluarga Kerajaan Seri Bunga Tanjung. Pinangan itu pun disambut oleh Ratu Cik Sima dengan kemuliaan adat yang berlaku di Kerajaan Seri Bunga Tanjung. Sebagai balasan pinangan Pangeran Empang Kuala, Ratu Cik Sima pun menjunjung tinggi adat kerajaan yaitu mengisi pinang dan gambir pada combol paling besar di antara tujuh buah combol yang ada di dalam tepak itu. Enam buah combol lainnya sengaja tak diisinya, sehingga tetap kosong. Adat ini melambangkan bahwa putri tertualah yang berhak menerima pinangan terlebih dahulu. Mengetahui pinangan Pangerannya ditolak, utusan tersebut kembali menghadap kepada sang Pangeran.
“Ampun Baginda Raja! Hamba tak ada maksud mengecewakan Tuan.
Keluarga Kerajaan Seri Bunga Tanjung belum bersedia menerima pinangan Tuan untuk memperistrikan Putri Mayang Mengurai.”
Mendengar laporan itu,sang Raja pun naik pitam karena rasa malu yang amat sangat. Sang Pangerantak lagi peduli dengan adat yang berlaku di negeri Seri Bunga Tanjung. Amarah yang menguasai hatinya tak bisa dikendalikan lagi. Sang Pangeran pun segera memerintahkan para panglima dan prajuritnya untuk menyerang Kerajaan Seri Bunga Tanjung.
Pertempuran antara kedua kerajaan di pinggiran Selat Malaka itu tak dapat dielakkan lagi. Di tengah berkecamuknya perang tersebut, Ratu Cik Sima segera melarikan ketujuh putrinya ke dalam hutan dan menyembunyikan mereka di dalam sebuah lubang yang beratapkan tanah dan terlindung oleh pepohonan. Tak lupa pula sang Ratu membekali ketujuh putrinya makanan yang cukup untuk tiga bulan. Setelah itu, sang Ratu kembali ke kerajaan untuk mengadakan perlawanan terhadap pasukan Pangeran Empang Kuala.
Sudah 3 bulan berlalu, namun pertempuran antara kedua kerajaan itu tak kunjung usai. Setelah memasuki bulan keempat, pasukan Ratu Cik Sima semakin terdesak dan tak berdaya. Akhirnya, Negeri Seri Bunga Tanjung dihancurkan, rakyatnya banyak yang tewas. Melihat negerinya hancur dan tak berdaya, Ratu Cik Sima segera meminta bantuan jin yang sedang bertapa di bukit Hulu Sungai Umai. Pada suatu senja, pasukan Pangeran Empang Kuala sedang beristirahat di hilir Umai. Mereka berlindung di bawah pohon-pohon bakau. Namun, menjelang malam terjadi peristiwa yang sangat mengerikan. Secara tiba-tiba mereka tertimpa beribu-ribu buah bakau yang jatuh dan menusuk ke badan para pasukan Pangeran Empang Kuala. Tak sampai separuh malam, pasukan Pangeran Empang Kaula dapat dilumpuhkan. Pada saat pasukan Kerajaan Empang Kuala tak berdaya, datanglah utusan Ratu Cik Sima menghadap Pangeran Empang Kuala. Melihat kedatangan utusan tersebut, sang Pangeran yang masih terduduk lemas menahan sakit langsung bertanya,
“Hai orang Seri Bunga Tanjung, apa maksud kedatanganmu ini?”.
Sang Utusan menjawab,
“Hamba datang untuk menyampaikan pesan Ratu Cik Sima agar Pangeran berkenan menghentikan peperangan ini. Perbuatan kita ini telah merusakkan bumi sakti rantau bertuah dan menodai pesisir Seri Bunga Tanjung. Siapa yang datang dengan niat buruk, malapetaka akan menimpa, sebaliknya siapa yang datang dengan niat baik ke negeri Seri Bunga Tanjung, akan sejahteralah hidupnya”.
kata utusan Ratu Cik Sima menjelaskan.
Mendengar penjelasan utusan Ratu Cik Sima itu, sadarlah Pangeran Empang Kuala, bahwa dirinyalah yang memulai peperangan tersebut. Pangeran langsung memerintahkan pasukannya agar segera pulang ke Negeri Empang Kuala. Keesokan harinya, Ratu Cik Sima bergegas mendatangi tempat persembunyian ketujuh putrinya di dalam hutan. Alangkah terkejutnya Ratu Cik Sima, karena ketujuh putrinya sudah dalam keadaan tak bernyawa. Mereka mati karena haus dan lapar.Ternyata Ratu Cik Sima lupa, kalau bekal yang disediakan hanya cukup untuk tiga bulan, Sedangkan perang antara Ratu Cik Sima dengan Pangeran Empang Kuala berlangsung sampai empat bulan. Akhirnya, karena tak kuat menahan kesedihan atas kematian ketujuh putrinya, maka Ratu Cik Sima pun jatuh sakit dan tak lama kemudian meninggal dunia. Sampai kini, pengorbanan Putri Tujuh itu tetap dikenang dalam sebuah lirik yang diberi judul Tujuh putri yang berbunyi:
Umbut mari mayang diumbut.
Mari diumbut di rumpun buluh.
Jemput mari dayang dijemput.
Mari dijemput turun bertujuh.
Ketujuhnya berkain serong.
Ketujuhnya bersubang gading.
Ketujuhnya bersanggul sendeng.
Ketujuhnya memakai pending.
Sejak peristiwa itu, masyarakat Dumai meyakini bahwa nama kota Dumai diambil dari kata “d‘umai” yang selalu diucapkan Pangeran Empang Kuala ketika melihat kecantikan Putri Mayang Sari atau Mayang Mengurai.



*      Dongeng Penghulu 3 Lorong
      (Indragiri Hulu)
Pada zaman dahulu, ketika ibukota Kerajaan Indragiri berada di Pekan Tua, tersebutlah tiga orang bersaudara bernama Tiala, Sabila Jati, dan Jo Mahkota. Ketiganya pandai, gagah perkasadan menguasai ilmu bela diri. Mereka mahirmenggunakan senjata,lincah mengelak serangan lawan, gesit menyerang, dan cerdikpula berkelit. Mereka hidup rukun dan salingmembantu dalam segala hal di suatu tempat bernama Batu Jangko.
Pada suatu hari, mereka pergi untuk mencari tempat yang lebih baik, yang tanahnya subur, airnya jernih, ikannya jinak, dan udaranya segar. Dari satu tempat ke tempat lain, Tiga Bersaudara ini akhirnya tiba di Koto Siambul dan memutuskan untuk menetap di tempat tersebut.
Sementara itu, di istana, Raja Indragiri sangat resah, karena Datuk Dobalang yang berkuasa di Negeri Sibuai Tinggi bertindaksemena-mena. Dia suka berjudi, menyabung ayam, bermabuk-mabukan, dan memperlakukan rakyatnya dengan kejam. Raja Indragiri sudah muak dengan tingkah laku Datuk Dobalang. Sang Raja kemudian memerintahkan Duli Yang Dipertuan Besar Indragiri untuk memanggil Tiga Bersaudara yang dikabarkan berada di Koto Siambul. Sang Raja sudah mengetahui tentang kehebatan Tiga Bersaudara tersebut.
Duli Yang Dipertuan Besar Indragiri segera melaksanakan perintah Raja. Dia memudiki sungai, hingga akhirnya tiba diKoto Siambul dan bertemu dengan Tiga Bersaudara yatiu Tiala,Sabila, Jati, dan Jo Mahkota. “Wahai anak muda, Baginda Raja meminta kalian menghadap ke istana di Pekan Tua,” sapa sang Duli kepada Tiga Bersaudara. Karena permintaan Raja, mereka tidak bisa menolak. Mereka pun berangkat ke istana menghadap sang Raja.
Sesampai di hadapan Raja, mereka pun memberi hormat, “Ampun, Baginda! Apa gerangan Baginda Rajamemanggil kami,” tanya ketiga bersaudara serentak. Sang Raja menjawab, “Begini saudara-saudara, kami bermaksud meminta bantuan kalian untuk menaklukkan Datuk Dobalang yang telah bertindak semena-mena di Negeri Sibuai Tinggi.” Mendengar jawaban sang Raja, mereka pun menyanggupi permintaan sang Raja.
Sebagai bekal, masing-masing mengajukan perlengkapan yang diperlukan. Tiala meminta seekor ayam sabung betina dan duabuah keris bersarung emas buatan Majapahit. Sabila Jati meminta pedang Jawi yang hulunya bertatahkan intan dengan tulisan “Muhammad”. Jo Mahkota meminta lembing dengan sarungemas dan suasa.
Setelah Raja memenuhisemua perlengkapan yang diminta, berangkatlah ketiga bersaudara tersebut ke Sibuai Tinggi dengan sebuah perahuyang dikayuh oleh 12 orang. Setiba di Sibuai Tinggi, mereka langsung ditemui oleh Datuk Dobalang dan ditantang untuk bersabung ayam. Ketiga bersaudara punbertanya kepada Datuk Dobalang, “Maaf, Datuk! Apa pantang larangnya? Datuk Dobalang menjawab, “Ada empatpantang larang yang harus dipatuhi dalam pertandingan, yaitu:
Pertama , dilarang bersorak dan bertepuktangan. Kedua, dilarang memekik dan menghentak tanah. Ketiga, dilarang menyingsingkan lengan baju. Keempat, dilarang memutar keris ke depan.
“Siapa yang melanggarperaturan tersebut dianggap kalah,” tegasDatuk Dobalang dengan pongahnya.
Kemudian ketiga bersaudara bertanya lagi, “Berapa taruhannya Datuk?” Datuk Dobalang menjawab, “Tanah Inuman di kiri Sungai Indragiri, yang lebar dan panjangnya sejauh mata memandang dari gelanggang Sibuai Tinggi.” Mendengar begitu luasnya tanah yang dipertaruhkan Datuk Dobalang, ketigabersaudara diam sejenak. Mereka berpikir bagaimana cara mengimbangi besarnya taruhan yang ditetapkan oleh Datuk Dobalang. Karena kecerdikan mereka, dengan percaya diri mereka pun berujar serentak, “Kami memberikan taruhan tanah Koto Siambul di kiri Sungai Indragiri, lebar dan panjangnya sehabis mata memandang dari gelanggang Sibuai Tinggi,” Sesungguhnyamereka tidak mempertaruhkan apa-apa, sebab Koto Siambul tidak dapat dilihat dari Sibuai Tinggi. Namun, Datuk Dobalang menerima taruhan itu tanpa menyadari kebodohannya.
Setelah kedua belah pihak menetapkan taruhan, saatnya menentukan hari pelaksanaan pertandingan sabung ayam. “Hai anak muda,kapan kita laksanakanpertandingan itu,” tanya Datuk Dobalang. “Terserah tuanku,” jawab ketiga bersaudara serentak. “Kalau begitu, kita laksanakan tiga hari lagi, sebab kami harus mengumpulkan para penduduk di gelanggang,” ujar Datuk Dobalang.
Saat yang dinanti-nanti pun tiba. Pada hari ketiga, pertandingan Sabung ayam itu pun segera dilaksanakan. Semua penduduk berkumpul di gelanggang Sibuai Tinggi untuk menyaksikan pertarungan itu. Sesaat sebelum pertandingan dimulai, suasana gelanggang menjadi hening. Datuk Dubalang melepas ayam jagonya, sedangkan tiga bersaudara melepas ayam betinanya. Beradulah kedua ayamtersebut dengan seru. Baru beberapa saat pertandingan berlangsung, tiba-tiba ayam betina Tiga Bersaudara terkena kelepau (serangan) hingga sayapnya patah. Datuk Dobalang sangat gembira hinggabersorak, bahkan memekik dan menghentak tanah. Tanpa ia sadari, semuaaturan yang dibuatnya, dilanggarnya sendiri.
Berkali-kali Tiga Bersaudara mengingatkan Datuk Dobalang bahwa dia telah melanggar peraturan, dan siapa pun yang melanggar peraturan harus dianggap kalah. Namun, Datuk Dobalang tidak peduli. Kesabaran itu ada batasnya. Tiga bersaudara tidak tahan lagi melihat tingkah si Datuk angkuh itu, sehingga kesabaran mereka punhabis. Sambil bersiap mengantisipasi serangan Dato Dobalang, mereka melantunkan sebuah gurindam:
“Penat mau bergalah coba-coba mengalas Penat hendak mengalah dicoba membalas”
Ternyata benar. Baru saja gurindam itu lepas dari mulut Tiga Bersaudara, tiba-tiba Datu Dobalang menyerang mereka dengan kerisnya. Tiga Bersaudara sudah siap, sehingga dengan mudah mereka mengelak dan balas menyerang Datuk Dobalang. Serang-menyerang berlangsung dengan seru. Pekikan dan bentakan bersahut-sahutan. Berkali-kali Datuk Dobalang mengayunkan kerisnyake arah Tiga Bersaudara, berkali-kali pula Datuk Dobalang memekik geram karena serangannya dapat dielakkan oleh Tiga Bersaudara.
Suasana di gelanggan semakin gaduh. Penduduk yang ada digelanggan itu hanya terperangah menyaksikan sengitnya perkelahian antara Datuk Dobalangdengan Tiga Bersaudara. Mereka menyaksikan sendiri Tiga Bersaudara berkali-kali berkelit mengelakkan tikaman Datuk Dobalang. Melihat serangannya selalu dipatahkan oleh Tiga Bersaudara, dengan menggeram macam singa lapar, Datuk Dobalang menyerang Tiga Bersaudara. Karena ia dalam keadaan emosi, ia tidak dapat mengendalikan serangannya dengan baik, sehingga tampak serangannya membabi buta. Tentu saja kelengahan itu tidak disia-siakan oleh Tiga Bersaudara. Dengan secepat kilat, Ketiga Bersaudara tersebut mengeluarkan senjata masing-masing yang mereka minta dari Raja Indragiri. Akhirnya, pusaka-pusaka sakti tersebut membuat Datu Dobalang tewas jatuh tersungkur ke tanah.
Penduduk yang hadir di gelanggang itu segera mengerumuni mayat yang tergeletakitu. Mereka ingin memastikan apakah Datuk Dobalang benar-benar sudah mati. Dari kerumanan itu, sesekali terdengar decak kagum atau geleng kepala takjub akan keberhasilan TigaBersaudara mengalahkan orang yang paling ditakuti di Negeri Sibuai Tinggi. Penduduk Sibuai Tinggibergembira ria, sebab mereka sudah bisa mencari nafkah sehari-hari tanpa dihantui rasa takut.
Selanjutnya, Tiga Bersaudara memasukkan jasad Datuk Dobalang ke dalam peti dan segera membawanya ke hadapan Raja Indragiri. Sang Raja sangat gembira melihat keberhasilan Tiga Bersaudara mengalahkan Datuk Dobalang. Atas jasa-jasanya itu, sangRaja meminta kepada Tiga Bersaudara menyebutkan hadiah yang mereka inginkan.“Wahai pahlawanku, hadiah apa yang kalianinginkan?” seru sang Raja menawarkan. Tigabersaudara tidak mengharapkan uang, emas, ataupun harta benda yang lain. “Kamihanya meminta sesuatu yang tidak lekang oleh panas dan tidak lapuk karena hujan seumur hidup,” kata Tiala mewakili saudara-saudaranya.
Sang Raja tidak mengerti apa maksud perkataan Tiala itu. Sang Raja pun mengumpulkan para menteri dan orang-orang tua yang bijak untuk mengadakan rapat tentang permintaan Tiga Bersaudara tersebut. Selama delapan hari mereka berpikir keras untuk mencari tahu apa yang dimaksud oleh Tiga Bersaudara tersebut. Atas petunjuk Tuhan, akhirnya mereka menyimpulkan bahwa yang diinginkan Tiga Bersaudara adalah pangkat. Ketiga Bersaudara tersebut kemudian diangkat menjadi Penghulu Tiga Lorong . Tiala diangkat menjadi Lelo Diraja, Penghulu Baturijal Hilir lawan Sungai Indragiri dengan bendera berwarna putih. Sabila Jati diangkat menjadi Dana Lelo Penghulu Pematang lawan Batanghari, dengan bendera berwarna hitam. Adapun Jo Mahkota diangkat menjadi Penghulu Baturijal Hulu dengan anugerah dua bendera, yaitu bendera merah dari Raja Indragiri dan bendera hitam dari Raja Kuantan.
Atas anugerah pangkat yang mereka terima, Penghulu Tiga Lorong bersumpah,
Tiada boleh akal buruk, Budi merangkak, Menggunting dalam lipatan, Memakan darah di dalam, Makan sumpah 1000 siang 1000 malam. Ke atas dak bapucuk, Ke bawah dak baurat, Dikutuk kitab Al-Qur‘an 30 juz.
Tiga Bersaudara selanjutnya menerima hadiah tanah Tiga Lorong yang tanahnya subur, udaranya sejuk, airnya jernih, rumputnya segar, serta ikannya jinak. Mereka membangun wilayah Tiga Lorong sehingga hasil pertaniannya berlimpah, jalan-jalan dan bangunannya tertata rapi, perniagaannya maju, serta keseniannya berkembang pesat. Rakyat yang terdiri dari berbagai suku hidup rukun, saling menghargai, serta menjalankan syariat agama dengan taat.
Sejak peristiwa di atas, ketiga orang bersaudara tersebut berusaha memajukan rakyat Tiga Lorong (sekarang dikenal Kecamatan Peranap).

*      Dongeng Putri Hijau di Pekaitan
(Rokan Hilir)
Pada zaman dahulu, Malaysia dikenal dengan nama Tanah Semenanjung Melayu. Di sana, ada wilayah nan bernama Gunung Ledang. Di Gunung Ledang itu, tersebutlah seorang putri nan beranjak dewasa, Putri Hijau namanya. Putri Hijau sangat cantik. Tubuhnya ramping, tinggi semampai. Wajahnya gemilang bagai lilin didulang, pipinya cerah bagai bintang timur, rambutnya ikal manan seludang, panjang dan hitam. Suaranyapun lemah-lembut penuh sopan.
Maka gak heran, banyak pangeran dan raja nan ingin mempersuntingnya. Bahkan, Sultan Mansursyah, Raja Malaka menitahkan Laksemana Hang Tuah tuk meminang Putri Hijau. Namun putri nan pandai itu selalu menolakanya dengan halus hingga gak membuat kecewa. Raja Melaka berikutnya, yaitu Sultan Mahmud Marhum Dijulang juga mengalami nasib sama saat meminang Putri Hijau.
Konon, Putri Hijau selalu menolak lamaran-lamaran itu karena ia mendambakan seorang suami nan tiada cacat pada kulit kepalanya, tiada bekas luka maupun bekas kudis. tuk menemukan lelaki idaman hatinya, ia memutuskan turun dari Gunung Ledang. Dengan Menyamar sebagai seorang perempuan tua, ia menjelajahi berbagai negeri seorang diri. Kerajaan besar seperti Melaka, Petukal, Cina dan Keling telah ia jelajahi. Namun, lelaki nan diidamkannya belum juga ditemukan.
Kisah Rakyat Legenda Puteri Hijau Di Pekaitan dari Riau
Suatu hari, sampailah ia di Kerajaan Deli Tua. Di kerajaan ini penyamarannya diketahui oleh Raja Aceh dan Raja Cina . Keduanya kemudian memperebutkanPutri Hijau tuk diperistri hingga terjadi pertempuran dahsyat. Dalam pertempuran itu, banyak prajurit kedua belah pihak nan meninggal. Raja Cina pun terluka parah dan nyawanya gak dapat diselamatkan. “Aku harus lari dari tempat ini selagi prajurit nan menjagaku lengah,” gumam Putri Hiaju diantara hiruk-pikuk pertempuran. Kemudian dengan diam-diam Putri Hijau meninggalkan Deli Tua.
Berhari-hari Putri Hiaju terus berjalan menghindari kejaran prajurti Aceh maupun Cian. Dan, sampailah ia di sebuah kerajaanbesar bernama Pekaitan nan terletak di utara muara Sungai Rokan, menghadap ke Selatan Melaka.
Pekaitan dipimpin oleh seorang raja nan bergelar nan Dipertuan Besar Sungai Daun. Raja ini suka berpesta, berfoya-foya, dan bermain catur, hingga urusan kerajaan sering diabaikan. Untunglah Pekaitan memiliki aparat kerajaan nan cakap dan setia. Urusan pemerintahan sepenuhnya diserahkan kepada Datuk Bendahara, keamanan negeri diserahkan kepada Datuk Panglima Nayan nan gagah perkasa dan sakti, administrasi keluar masuk kapal diserahkan kepada Datuk Syahbandar, sedangkan urusan keamanan lingkungan istana negara diserahkan kepada Datuk Panglima Penjarang.
Datuk Panglima Penjarang adalah seorang pemuda nan gagah perkasa dan tampan. Selain itu, ia juga sakti. Ia hanya tinggal berdua dengan ibundanya, Danan Seri Bulan.
Ayahnya telah lama meninggal dunia. Meskipun tampan, Datuk Panglima Penjarang belum memiliki istri. Ia selalu menolak perempuan pilihan ibundanya karena belum cocok. Sementara itu, setelah sampai di Pekaitan, Putri Hijau kembali menyamar dan berjalan terbungkuk-bungkuk seperti perempuan tua sambil menyandang bungkusan kain. Setiba di depan istana Pekaitan, ia berpapasan dengan seseorang nan membuat terpesona. “Maafkan hamba, Tuan. Izinkan hamba bertanya, siapakah gerangan Tuan?” tanya Putri Hijau.
“Namaku Datuk Panglima Penjarang. Aku panglima hulubalang pengawal istana Baginda nan Dipertuan Besar Pekaitan. Kalau boleh tahu, Makcik dari mana? Saya belum pernah melihat Makcik.” Datuk Panglima Penjarang sangat heran mendengar suara perempuan di depannya nan lembut dan melihat cahaya matanya nan bening, gak seperti suara dan mata perempuan tua.
“HambaZaitun, Tuan. Hamba sebatang kara, ibarat bulu halus nan terbang kian-kemari terbawa angin,” kata Putri Hijau. Karena iba, Datuk Panglima Penjarang kemudian meminta Zaitun tinggal di rumahnya tuk membantu dan menemani ibundanya.
Walaupun tampak seperti perempuan tua, tetapi Zaitun sangat rajin dan cekatan. Ia pandai pula memasak. Nasi nan ditanaknay berbau harum dan rasanya berlemak. Begitu pula lauk nan dimasaknya, salalu nikmat dimakan. Oleh karena itu, Datuk Panglima Penjarang dan ibundanya amat menyanani Zaitun.
“Makcik Zaitun, kepalaku agak pening hari ini. Mungkin karena kurang tidur tadi malam. Maukah Makcik memijit-mijit sejenak?” pinta Datuk Panglima Penjarang suatu hari.
“Tentu, Tuanku. Hamba bersedia,” jawab Zaitun.
pucuk dicinta, ulam tiba, kata Zaitun dalam hati kemudian mulai memijit. Pijitan Zaitun sangat lembut hingga Datuk Panglima Penjarang tertidur. Kesempatan ini digunakan Zaitun tuk memeriksa kepala Datuk Panglima Penjarang. Ternyata kulit kepala Datuk Panglima Penjarang tiada cacat sedikitpun. Malam harinya, Datuk Panglima Penjarang berada di istna. Ada beberapa kapal mencurigakan berlabuh di Pekaitan. Kapal-kapal tersebut sesungguhnya kapal perang dari Aceh, yaitu dari Kerajaan Kuala Panjang. Mereka diutus tuk mencari Putri Hijau.
Malam telah larut, Datuk Panglima Penjarangdan Panglima Nayan serta anak buahnya masih berjaga-jaga. Menjelang dini hari, Datuk Panglima Penjarang menapaki jalan sepi menuju rumahnya. Ia melihat seberkas cahaya hijau memancar berserak di angkasa menerangi langit Negeri Pekaitan. Cahaya indah tersebut memancar dari rumahnya. Rupanya Zaitun gak dapat memejamkan matanya. Ia merasa bahagia telah menemukan lelaki nan diidam-idamkannya. Ia telah jatuh cinta pada Datuk Panglima Penjarang. Dan saat berbahagia itulah tubuhnya mengeluarkan cahaya berwarna hijau.
Di saat nan sama, dua hulubalang Kuala Panjang nan bernama Lakaida dan Lasamak duduk di anjungan kapal.
“Benar dugaan Baginda, Putri Hijau berada di sini! Lihat cahaya itu!” seru Hulubalang Lakaida gembira sambil menunjuk cahaya hijau di langit Pekaitan.
Rupanya orang-orang Kuala Panjang dan orang Pekaitan tahu bahwa cahaya hijau nan amat indah itu memancar dari tubuh Putri Hijau. Mereka menduga Putri Hijau bersembunyi di rumah Datuk Panglima Penjarang. Esok harinya, orang-orang Kuala Panjang nan dipimppin Hulubalang Lakaida dan Hulubalang Lasamak bermaksud mencari Putri Hijau di rumah Datuk Panglima Penjarang. Sebelum sampai di tempat nan dituju, mereka dihadang prajurit pimpinan Datuk Panglima Nayan dan Datuk Bendahara nan juga mempunyai maksud sama. Pertempuran dahsyat dua kerajaan pun gak dapat dielakkan.
Sementara itu, Putri Hijau telah mengakui siapa dirinya kepada Datuk Panglima Penjarang dan Danan Seri Bulan. Datuk Panglima Penjarang nan telah jatuh cinta pada Putri Hijau kemudian berniat menikahinya. Pertempuran sangat dahsyat itu dimanfaatkan oleh Datuk Panglima Penjarang dan Putri Hijau tuk melarikan diri.
“Cepatlah, anak-anakku!” teriak Danan Seri Bulan gak sabar. Lalu, cepat-cepat Danan memasangkan capil berhiaskan manik-manik di kepala Putri Hijau. Seketika, lenyaplah Putri Hiaju dari pandangan mata. Hanya Datuk Panglima Penjarang dan Danan Seri Bulanlah nan dapat melihatnya. Datuk Panglima Penjarang dan Putri Hijau berlutut memohon doa restu di hadapan Danan Seri Bulan. Kemudian mereka menuju tepi sungai gak jauh dari rumahnya.
“Kita berangkat menghulu Sungai Rokan!” perintah Datuk Panglima Penjarang kepada anak buahnya nan berada di perahu Landak Menari miliknya.
Keesokkan paginya mereka berhenti di sebuah teluk nan teduh. Kesempatan itu digunakan Datuk Panglima Penjarang tuk merayu Putri Hijau agar bersedia menjadi istrinya,  namun Putri Hijau gak memberikan jawaban karena harinya ragu-ragu. Datuk Panglima Penjarang kemudian menjuluki tempat itu dengan nama Sangku Duo, nan artinya ragu-ragu.
Hari berikutnya Datuk Panglima Penjarang berlayar dan merapatkan Landak Menari ke tepi sungai. Ia kembali membujuk Putri Hijau, namun Putri Hijau gak memberikan jawaban. Karena ditempat itu Datuk Panglima Penjarang melakukan pembujukan, maka tempat itu diberinya nama Pembujukan.
Landak Menari kembali berlayar dan berhenti di suatu tempat nan indah di tepi Sungai Rokan. Kesempatan itu pun kembali digunakan Datuk Panglima Penjarang tuk merayu Putri Hijau. Putri Hijau menerima pinangan Datuk Panglima Penjarang. Alangkah gembiranya hati Datuk Panglima Penjarang, kemudian tempat itu diberi nama Padang Pendapatan.
Dua hari kemudian, tibalah mereka Siarangarang. Konon ditempat itulah Datuk Panglima Penjarang dan Putri Hijau menikah. Datuk Panglima Penjarang membangun sebuah mahligai nan besar dan uindah tuk Putri Hijau. Dalam mahligai itulah Datuk Panglima Penjarang dan putri hjau tinggal dengan penuh kebahagiaan. Jauh kemudian hari, konon mahliagi Purti Hijauu itu berubah menjadi subuah gua. Oleh penduduk, gua itu disebut gua Putri Hijau.
Gua itu terletak di luar kota Siarangarang. Pada waktu-waktu tertentu, orang-orang nan lewat di depan gua tersebut melihat ada cahaya kemilau nan amat indah memancar dari dalam gua. Konon cahaya kemilau nan amat indah itu berasal dari capil Putri Hijau nan masih tersimpan di dalam gua itu.
Nama Sangko Duo, pembujukkan, Pendapatan, dan Siarangarang masih abadi sampai sekarang. Padang Pendapatan merupakan sebuah Desa nan terletak di sebela hulu Pembujukkan dan di sebelah hilir Desa Danau Raya. Danau Raya sendiri terletak di sebelah hilir Kota Siarangarang. Siarangarang masuk wilayah Kec. Tanah Putih, Kabupaten Rokan Hilir, Riau

*      Dongeng Ketobong Keramat

      (Pelalawan)
Alkisah pada zaman dahulu kala, di negeri Pelalawan berkuasalah seorang raja yang dikenal sebagai Raja Pelalawan. Penduduknya hidup tenteram, sejahtera dan rukun. Namun, di antara penduduk tersebut, terdapat seorang laki-laki setengah baya yang hidup sangat miskin. Meskipun miskin, ia gemar menolong orang lain. Setiap hari ia pergi menajuh di Sungai Selempaya yang mengalir di negeri itu. Dari hasil menangkap ikan itulah ia bisa menghidupi istri dan anak-anaknya.
Selain menangkap ikan, si Miskin itu memiliki kepandaian mengobati orang sakit. Kepandaiannya itu ia gunakan untuk menolong setiap orang yang datang kepadanya. Karena ia suka menolong orang sakit, maka ia pun dipanggil Bomo Sakti (Tabib Sakti). Ia sangat pandai mengambil hati masyarakat. Jika ada orang membutuhkan pertolongannya, ia tidak pernah menolak. Selain itu, ia juga tidak pernah meminta bayaran atas bantuan yang telah diberikannya. Sifatnya yang rendah hati itu, membuat masyarakat di negeri Pelalawan senang kepadanya. Berbeda dengan bomo-bomo lainnya, mereka memiliki sifat angkuh. Untuk setiap obat yang diberikan kepada orang sakit, ia selalu meminta bayaran yang sangat tinggi dan selalu menolak apabila dimintai pertolongannya oleh orang miskin.
Suatu hari, kepandaian Bomo Sakti mengobati orang sakit itu terdengar oleh Raja Pelalawan. Maka diutuslah dua orang pengawal istana untuk menjemput Bomo Sakti untuk dibawa ke istana. Sesampainya di hadapan raja, Bomo Sakti langsung memberi hormat, “Ampun Baginda Raja! Ada apa gerangan Baginda memanggil saya menghadap?” tanya Bomo Sakti penasaran. “Wahai Bomo Sakti! Aku sudah mendengar tentang kepandaian kamu mengobati orang sakit. Bersediakah kamu aku angkat menjadi bomo di istana ini?” tanya Baginda Raja kembali. “Ampun beribu ampun, Baginda! Saya ini hanya orang miskin dan bodoh. Tuhanlah yang menyembuhkan mereka, saya hanya berusaha melakukannya,” jawab Bomo Sakti merendah. Baginda Raja pun mengerti kalau Bomo Sakti menerima tawarannya itu dengan bahasa yang sangat halus. Akhirnya, Bomo Sakti pun diangkat menjadi bomo resmi di Kerajaan Pelalawan. Sejak itu, Bomo Sakti semakin terkenal hingga ke berbagai negeri. Kehidupan keluarganya berangsur-angsur menjadi makmur. Meskipun namanya sudah terkenal di mana-mana, Bomo Sakti tetap bersikap rendah hati. Ia masih mengerjakan pekerjaannya yang dulu yaitu pergi menangkap ikan di sungai Selempaya.
Suatu waktu, Baginda Raja memanggil Bomo Sakti menghadap kepadanya. Setelah Bomo Sakti menghadap, Baginda Raja pun berkata, “Wahai Bomo Sakti, sudah lama aku menginginkan anak. Aku sudah mendatangkan bomo dari berbagai negeri, namun belum ada yang berhasil. Untuk membuktikan kesetiaanmu padaku, aku berharap kamu mau mengobati permaisuriku agar kami bisa mendapatkan keturunan,” pinta Raja Pelalawan dengan penuh harapan. Karena permintaan raja, Bomo Sakti tidak bisa menolak. “Hamba akan berusaha, Baginda! Semoga Tuhan Yang Mahakuasa mengabulkan keinginan Baginda,” jawab Bomo Sakti dengan rendah hati.
Setelah itu, Bomo Sakti pun mengeluarkan seluruh kepandaiannya. Dengan takdir Tuhan Yang Mahakuasa,  usahanya berhasil. Beberapa hari setelah diobati, permaisuri pun mengandung. Hari berganti hari, minggu berganti minggu, genaplah 9 bulan kandungan permaisuri. Maka lahirlah seorang putri yang cantik jelita. Sejak itu, semakin masyhurlah nama bomo yang sakti itu. Raja dan permaisuri serta seluruh penduduk negeri Pelalawan sangat senang dan gembira menyambut kelahiran sang Putri kecil yang cantik itu. Akan tetapi, Bomo Sakti yang telah berhasil mengobati sang permaisuri justru merasa menyesal, karena telah melanggar larangan yang pernah ditetapkan oleh gurunya. Larangan tersebut adalah ia tidak dibenarkan mengobati orang yang sehat dan orang yang sudah mati. Jika ia melanggar larangan itu, hidupnya akan teraniaya.
Jika berladang, padinya takkan berisi. Jika mencari ikan, takkan dapat. Jika berlayar, angin berhenti. Jika beternak, takkan berkembang biak. Oleh karena itu, ia berniat untuk berhenti menjadi bomo. Akan tetapi, jika ia berhenti begitu saja, tentu Baginda Raja akan murka kepadanya. Ia pun kemudian mencari akal bagaimana caranya agar ia bisa berhenti menjadi bomo tanpa membuat Baginda Raja merasa kecewa.
Setelah beberapa lama berpikir, Bomo Sakti pun menemukan cara yang baik. Keesokan harinya, ia mengutarakan isi hatinya kepada Raja Pelalawan. “Ampun, Baginda Raja!
Bukannya hamba tidak hormat terhadap titah Baginda. Tadi malam hamba bermimpi bertemu dengan seorang kakek. Ia menyuruh hamba  berhenti menjadi bomo. Jika hamba tidak menuruti perkataan kakek itu, maka keluarga hamba akan teraniaya,” cerita Bomo Sakti pada Raja. Mendengar cerita Bomo Sakti, Baginda Raja bisa  memakluminya. “Baiklah, Bomo Sakti. Aku rela kamu berhenti menjadi bomo kerajaan ini,” jawab Baginda Raja tersenyum. Sejak saat itu, Bomo Sakti resmi berhenti menjadi bomo. Penduduk negeri pun tidak lagi datang untuk meminta bantuannya. Bomo Sakti kembali menjalani hidupnya sebagai penajuh untuk menghidupi keluarganya.
Seiring dengan berjalannya waktu, sang Putri pun sudah berumur lima belas tahun. Sebagai anak satu-satunya, sang Putri sangat disayangi oleh Baginda Raja dan permaisuri. Ke mana pun ia pergi selalu dikawal oleh puluhan dayang-dayang. Suatu hari, sang Putri jatuh sakit keras. Penyakitnya semakin hari semakin parah. Sudah puluhan bomo didatangkan dari berbagai negeri, namun belum ada seorang pun yang bisa menyembuhkan sang Putri. Baginda raja dan permaisuri semakin cemas melihat kondisi putrinya yang semakin lemas. Dalam suasana cemas itu, tiba-tiba Baginda Raja teringat dengan Bomo Sakti yang pernah dilantiknya sebagai bomo resmi kerajaan lima belas tahun yang lalu. Maka diperintahkannya beberapa pengawal untuk mencari Bomo Sakti itu. Sudah berhari-hari pengawal istana mencari Bomo Sakti, namun tak kunjung mereka temukan. Karena terlalu lama menahan sakit, akhirnya dengan kehendak Tuhan Yang Mahakuasa, meninggallah Putri Kerajaan Pelalawan tersebut. Tersebarlah berita kematian sang Putri hingga ke seluruh pelosok Negeri Pelalawan. Baginda Raja sangat sedih dan menyesal, karena Bomo Sakti yang sangat diharapkan untuk menyembuhkan putrinya tidak pernah datang.
Melihat putri tunggalnya telah meninggal, Baginda Raja segera mengutus beberapa pengawal untuk mencari Bomo Sakti yang selama ini belum berhasil ditemukannya. Malam itu juga dengan susah payah pengawal istana berhasil menemukan Bomo Sakti di sebuah pondok dekat sungai Selempaya. Karena Baginda Raja yang memanggil, maka berangkatlah Bomo Sakti ke istana. Sesampainya di istana, Raja berkata, “Hai Bomo Sakti, hidupkanlah kembali putriku ini. Buktikanlah kesetiaanmu sekali lagi kepadaku.
Jika kamu menolak permintaanku, maka kamu dan keluargamu akan aku pancung di depan orang ramai.”  Mendengar ancaman Baginda Raja, Bomo Sakti pun menjadi ketakutan. Demi keselamatannya dan keluarganya, terpaksalah ia menuruti kehendak rajanya. Saat itu juga Bomo Sakti segera mempersiapkan perlengkapan untuk upacara pengobatan yang belum pernah dilakukannya.
Bomo Sakti mulai menyalakan puluhan lilin dan memasangnya di seluruh sudut istana. Kemudian membakar  kemenyan hingga baunya menyebar ke seluruh ruangan. Semua yang hadir di tempat itu harus diam di tempat masing-masing. Sambil membaca doa, Bomo Sakti menepungtawari sang Putri yang sudah meninggal itu. Setelah itu, ia pun memukul ketobong sambil mengucapkan doa. Tubuhnya mulai mengeluarkan keringat, setiap kali ia memukul ketobongnya tampak ketobong itu seperti berapi-api. Setelah hampir dua jam lamanya ia memukul ketobongnya sambil membaca doa, selubung yang menutupi sang Putri tiba-tiba bergerak. Semua orang yang melihat kejadian itu sangat kagum bercampur rasa takut. Tak lama, terdengar sang Putri bersin. Kemudian sang Putri duduk, seolah-olah baru bangun tidur. Akhirnya, sang Putri pun hidup kembali.
Baginda Raja dan permaisuri sangat senang atas hidupnya kembali putri tunggalnya itu. Sebaliknya, Bomo Sakti merasa sangat menyesal menghidupkan kembali sang Putri. Ia pun segera kembali ke perahunya yang tertambat di tepi sungai. Sambil mengayuh perahunya meninggalkan Kerajaan Pelalawan, Bomo Sakti menangis karena telah melanggar larangan gurunya yang kedua kalinya. Tengah mengayuh perahunya, ia melihat pengawal istana sedang mengejarnya di belakang. Tak lama, ia mendengar suara teriakan dari arah perahu itu. “Hai Bomo Sakti! Tungguuu…tungguuu…! Baginda Raja memanggilmu kembali ke istana!” teriak seorang pengawal. Bomo Sakti terus saja mengayuh perahunya.
Ia tidak menghiraukan suara teriakan itu.
Setelah sampai di muara sungai, perahu Bomo Sakti tiba-tiba berhenti. Tak lama kemudian, perahu pengawal pun menyusul dan mendekati perahu Bomo Sakti. Sebelum turun dari perahunya, Bomo Sakti berpesan kepada pengawal istana yang mengejarnya. “Hai Pengawal, sampaikan kepada rajamu, perintahnya telah saya laksanakan, hingga saya harus melanggar perintah guru saya. Saya bersumpah tidak akan menginjak bumi Pelalawan ini selagai saya masih hidup,” tegas Bomo Sakti kepada pengawal. Setelah itu, ketobong yang digunakan untuk menyembuhkan sang Putri dibuangnya ke dalam sungai. Ketika ketobong itu dibuang, tiba-tiba air sungai menjadi berombak. Pada saat itu pula, Bomo Sakti melompat ke darat sambil berteriak, “Jika kalian sampai di Pelalawan, sampaikan salamku kepada istri dan anak-anakku. Katakan kepadanya, jika mereka ingin bertemu denganku, suruh mereka datang ke Selempaya setiap hari Jumat pagi.” Setelah ia berpesan, tiba-tiba ombak kembali menjadi tenang. Namun, dari dalam air terdengar bunyi ketobong seperti dipukul orang. Bomo Sakti pun menghilang dan tak pernah kembali.
Sejak peristiwa itu, masyarakat setempat mempercayai bahwa Bomo Sakti masih hidup sebagai orang hunian (makhluk halus). Masyarakat yang menajuh di Sungai Selempaya sering melihatnya dalam wujud seperti manusia biasa. Konon, hingga kini apabila terjadi hujan panas, sering terdengar bunyi ketobong di sungai itu.




*      Dongeng Dedap Durhaka
      (Bengkalis)
Konon dahulu kala hiduplah sebuah keluarga miskin di sebuah desa terpencil. Keluarga ini terdiri dari seorang Bapak yang Bernama Ujang sedangkan seorang Ibu bernama si Topang dan anaknya bernama Dedap. Karena kemiskinan itulah akhirnya mereka terpaksa mencari kayu atau rotan di dalam hutan dan kadangkala juga berburu. Dedap adalah seorang anak yang sangat rajin membantu ke dua orang tuanya.
Ketika ia mulai beranjak remaja, Dedap mulai memikirkan kemiskinan dan segala kekurangan keluarganya itu. Suatu hari dalam ketermenungannya, ia berpikir untuk pergi merantau, mencoba nasib di negeri orang. Hal itulah akhirnya ia sampaikan kepada kedua orang tuanya. Hingga pada suatu malam, berkatalah Dedap kepada Ibu dan Bapaknya.
“Wahai Ibu dan Ayah. Kiranya ada hal yang hendak ananda sampaikan kepada ibu dan ayah” kata Dedap membuka kata.
Mendengar anak semata wayangnya itu, Ibunya bertanya “Apa gerangan yang hendak ananda sampaikan wahai anakku? “ kata ibunya
“Telah lama ananda berpikir tentang hidup kita yang serba kekurangan ini. Jadi ananda berhajat hendak pergi merantau. Hendak melihat negeri orang, mencoba mengadu nasib. Seandainya beruntung, murah rejeki, ananda akan segera pulang.” Kata Dedap berhati-hati.
Mendengar pernyataan anaknya itu, Ibu dan Bapak Dedap sangat bersedih hati. “Untuk apa ananda pergi merantau nak? Bukankah di sini semuanya sudah lengkap. Ada ibumu, bapakmu dan dedap” kata ibunya memelas.
Begitu juga dengan ayahnya. “Dedap anakku, sungguh hidup merantau itu banyak duka ketimbang sukanya nak. Lebih baik anakku tetap di sini, bersama kita mencari rezeki di tanah ini.” Kata Ayahnya pula.
Berbagai alasan mereka kemukakan agar anaknya dapat berpikir jernih untuk tidak meninggalkan mereka akan tetapi hajat Dedap sudah begitu bulat. “Ayah dan ibu, sesungguhnya Dedap hanya berniat merubah nasib keluarga kita ini agar tidak terus menerus hidup dalam kemiskinan. Dedap berjanji kalau sudah berhasil, Dedap pasti kembali lagi dan kita bisa hidup bahagia seperti orang lain” ucap Dedap sangat yakin.
Sehingga akhirnya dengan sangat terpaksa kedua orang tua Dedap merelakan anaknya untuk merantau ke negeri orang. Ibunya hanya bisa berpesan sambil menitikkan air mata. “Pandai-pandailah engkau membawa diri di kampung orang nak, di mana bumi dipijak, di situlah langit dijunjung. Dan ketahulilah olehmu nak, modal dalam kehidupan itu ialah kejujuran. Jika berjanji harus ditepati, janganlah sesekali engkau mungkir, Nak!”
Begitu senang hati Dedap mendapat restu dari kedua orang tuanya itu. Ia pun berkata “Tak usahlah Ibunda dan Ayahnda khawatir. Pandai-pandailah Dedap membawa diri di kampung orang nantinya.” Katanya dengan raut wajah berseri-seri.
Tepat pada hari yang telah ditetapkan, ada sebuah tongkang berlabuh di kuala sungai untuk mencari muatan. Seperti biasanya, di samping memuat barang-barang dagangan, tongkang itu juga membawa penumpang yang hendak berlayar ke Singapura dan negeri lainnya seperti Melaka.
Pada saat kapal tongkang itu berangkatlah terjadi perpisahan antara anak dan ibu serta Bapak. Dedap pun pergi merantau dengan berbekal pais keluang kesukaannya.
“Ayo berangkat…! seru salah seorang ABK Kapal. Ibu Dedap pun melambaikan tangan kepada anaknya seraya berkata “Hati-hati naakk…setelah sampai ke rantau yang dituju, jangan lupa memberi kabar kepada kami” seru ibunya disertai tangis.
“Baiklah Ibu, Ayah. Dedap Berjanji setelah berhasil kelak, Dedap akan kembali” kata Dedap sambil melambaikan tangannya di pinggir tongkang itu.
Hari berganti hari dan bulan berganti bulan dan tahun berganti tahun, ternyata kabar yang diharapkan oleh Ibu dan Ayah Dedap tidak seperti yang diharapkan. Kabar dari Dedap tak kunjung diterima oleh kedua orang tua itu. Hal itulah membuat hati mereka menjadi bertambah sedih. Setiap hari mereka dirundung kerisauan tentang keberadaan anaknya.
Sementara itu, Dedap yang telah sampai ke negeri orang, hidupnya mulai membaik. Hal itu merupakan berkat kerja keras bertahun-tahun dan kejujurannya. Dedap akhirnya dipercayakan menjalankan perniagaan milik Saudagar Tinggi. Dan sejak itulah Dedap tidak lagi dipanggil Dedap tetapi Saudagar Muda.
Hingga pada suatu ketika, karena kepercayaan Saudagar Tinggi kepada Dedap begitu kuat, ia pun menawari putrinya untuk dijadikan istri kepada Dedap. “Wahai Dedap, kiranya aku lihat hidupmu sekarang sudah pun berkecukupan, hanya saja ada yang kurang” kata saudagar tinggi.
“Terima kasih wahai Saudagar Tinggi, semua itu berkat tunjuk ajar dan kepercayaan yang diberikan kepada saya” ucap Dedap merendah. Tapi kalau boleh saya tahu, apakah kekurangan yang Saudagar maksudkan? “ tanya dedap ingin tahu.
“Kiranya jikalau engkau tidak keberatan, aku berencana menikahkan putriku dengan engkau wahai Dedap sebab aku kira, engkaulah lelaki yang nantinya bisa menjaga anakku satu-satunya itu” kata Saudagar Tinggi.
Mendengar pernyataan Saudagar Tinggi, Dedap menahan suka karena betapa beruntungnya dia dijodohkan dengan anak Saudagar Tinggi. Disamping itu, ia juga sudah lama memendam rasa suka kepada anak Saudagar Tinggi tersebut.
Akhirnya Dedap pun tidak menolak tawaran dari Saudagar Tinggi itu. Dengan tidak menunggu waktu yang lama, pernikahan pun dilangsungkan selama sepekan. Bermacam acara dibuat oleh Saudagar Tinggi dalam rangka pesta pernikahan anaknya itu.
Setelah seminggu acara pernikahan, Saudagar Tinggi menyuruh ke dua anaknya untuk berbulan madu dengan menggunakan sebuah kapal yang telah disediakan untuk pengantin baru tersebut.
Berlayarlah akhirnya perahu Dedap dan istrinya beserta anak buah kapal yang cukup ramai. Dalam pelayaran tersebut, Dedap sempat berpikir bahwa kinilah saatnya menunjukkan keberhasilan yang telah diperoleh kepada masyarakat di kampungnya. “Aku harus menunjukkan pada masyarakat kampung, bahwa aku juga bisa kaya” batinnya di dalam hati.
Setelah perahu Dedap merapat di muara salah satu sungai di Pulau Padang, Dedap memerintahkan kepada anak buahnya untuk mengambil air tawar serta menyuruh anak buahnya untuk mengabarkan kepada orang kampung bahwa kapal Dedap sudah berlabuh di muara. “Wahai anak buahku, mengingat persedian air kita sudah mulai mengurang, maka aku perintahkan kapal kita berlabuh di pulau itu. Dan carilah air secukupnya untuk keperluan kita ke depannya” perintah Dedap kepada beberapa anak buahnya.
“Baik Saudagar” kata salah saorang anak buahnya. Kemudian beberapa dari mereka pun segera turun dari kapal dan mencari air tak lupa pula untuk mengabarkan kepulangan Dedap kepada orang kampung. Akhirnya tersilah Kabar kepulangan Dedap di semerata kampung itu, “Dedap sudah pulang…Dedap Sudah kaya raya…Dedap sudah pulang…dengan membawa sebuah kapal besar..hoi orang kampung, Dedap sudah pulang…” pekik salah seorang anak buahnya.
Berita itu pun sampailah ke hadapan orang tuanya, dengan bergegas orang tuanya turun ke laut menuju ke kapal Dedap. Namun sebelum turun, Ibu Dedap masih sempat memasakkan masakan kesukaan anaknya yaitu Pais Kekah Panggang Keluang. Dia berkat di dalam hati “pastilah Dedap sudah rindu dengan masakanku ini” katanya membantin.
Sesampai di laut dan melihat kapal yang begitu megah, air mata ke dua orang tua itu pun menitik tanpa disadarinya. Barangkali sebagai bukti kerinduan bercampur kebahagian menyatu menjadi satu. Dalam hati Ibu Dan Ayah Dedap, sepertinya tidak percaya, Dedap pulang membawa kapal yang demikian besar. Dan di dalam hati mereka berharap bertemu kembali dengan anaknya untuk melepas lara, pelerai duka.
Kedua orang tua itu pun pergi mendekati anak buah Dedap yang berdiri di haluan kapal. “Nak….bolehkah kami menjumpai Dedap?” tanya Ibunda Dedap.
“Siapa Kalian berdua ini ha?” Sergah ABK kapal
Dengan sedikit gementar, Ibunya Dedap menjawab “Kami berdua ini adalah orang tua kandung Dedap” katanya.
“Mana mungkin, orang tua Saudagar kami bentuknya hodoh seperti kalian berdua ini!”
“Betul nak…kami inilah orang tua kandung Dedap. Sudah lama sekali kami menanti kepulangannya. Berilah kami izin untuk bertemu dengan Dedap” pinta Ibu Dedap memelas.
“Tidak…Tidak mungkin. Jangan hendak mengaku-mengaku sembarangan orang tua tak sadar diri. Enyahlah segera dari kapal kami ini sebelum saya halau kalian berdua. Cepat!” anak buah kapal Dedap marah-marah hingga beberapa yang lain juga ikut kemudian ikut marah-marah. Namun kemudian ada salah seorang dari ABK kapal yang tidak setuju atas perlakuan kawan-kawannya yang lain.
“Tidak baik kita memperlakukan orang tua serupa itu. Lebih baik kita persilakan mereka naik ke kapal kita dahulu, barulah kemudian kita tanyakan maksud kedatangannya. Manalah benar adanya bahwa kedua orang tua ini adalah orang tua kandung Saudagar kita” jelas ABK yang baik hati itu dan dia pun mempersilakan kedua orang tua Dedap untuk naik ke kapal. Tetapi kemudian, justru oleh ABK kapal kehadiran ke dua orang tua Dedap itu menjadi bulan-bulanan dan cemoohan dari ABK-ABK yang lainnya.
Mendengar suasana gaduh di luar itu akhirnya Dedap dan istrinya keluar. Betapa terkejutnya Dedap melihat kedua orang tua yang renta itu. Sungguh tiba-tiba ia diserang rasa malu di hadapan istrinya. Karena ke dua orang tua hodoh yang sedang berada di atas kapalnya itu yak lain adalah orang tuanya.
Melihat Dedap berpakaian bersih dan disampingnya ada pula seorang perempuan cantik jelita, bukan main gembira hati Ibundanya itu. Ia pun segera mendekat dan berkata “Dedap..dedap anakku. Ini ibu dan bapakmu datang, Nak! Syukurlah engkau sudah pulang” katanya ibunya mulai mengiba menahan sedih dan suka.
Mendengar seruan dari orang tua yang renta itu, sambil menahan malu, dedap membentak “Tidak…kau orang tua bukanlah Ibu dan Ayahku. Orang tuaku sudah lama mati”
“Benar Dedap. Aku ini ibundamu dan ini ayahndamu, apakah kau telah lupa nak?” Kata Ibunya berusaha meyakinkan.
Tiba-tiba istri Dedap pun ikut berkata “Hei orang tua tak tahu diuntung. Jangan mentang-mentang Dedap sudah menjadi kaya, kalian orang tua yang entah dari mana asal usulnya mengaku orang tua Dedap. Mana mungkin, Dedap yang kaya raya ini punya orang tua seperti kalian yang miskin, hodoh dan kotor” kata istri Dedap
Ibu Dedap tak mau mengalah, ia terus meyakinkan Dedap bahwa dialah Ibu kandungnya. Dedap…inilah ibumu Nak. Ini ada ibu bawakan makanan kesukaanmu nak, ini pais keluang…makanlah nak!” kata ibundanya sambil menyerahkan seberkas makanan tersebut.
Begitu Ibunya mendekat, Dedap melempar makanan kesukaannya itu dan menolak ibunya. “Pergilah engkau wahai orang tua tak tahu malu. Enyahlah engkau dari hadapanku” Bentak Dedap sambil menolak Ibunya sekuat tenaga.
Ibunya pun terpelanting jatuh seiring dengan makanan pais kekah panggang keluang yang jatuh berserakan di lantai kapal. Lalu ibundanya pun menangis sejadi-jadinya. Ketika kembali hendak mendekat dan berusaha meyakinkan anaknya Dedap bahwa dialah Ibu kandungnya, Ayah Dedap menahan dan menggelengkan kepala.
“Sampai hati engkau Dedap. Begitu engkau sudah kaya, kau lupakan aku yang sudah melahirkan dan membesarkan engkau. Lupa engkau dengan janji yang telah kau ucapkan kepada kami sebelum engkau berlayar dulu” Ibunya dan Ayahnya pun pergi meninggalkan kapal milik Dedap dengan berurai air mata dan hati yang luka.
Setibanya di muara sungai, sang ibu pun menengadahkan tangan, berdoa kepada tuhan atas kedurhakaan anaknya itu.“Wahai tuhan yang maha kuasa, dengarkanlah pengaduan hambamu yang daib ini. Engkau yang mengetahui, aku telah mengandung anakku Dedap selama 9 bulan dengan bersusah payah, Jika sekiranya benar bahwa dia adalah anakku, maka engkau timpakanlah malapetaka yang maha dahsyat kepada anakku Dedap yang mendurhaka. Sesungguhnyalah engkau maha perkasa dan maha adil”
Baru saja selesai doa ibu dedap. Tibalah badai dan tufan disertai kilat dan petir sambung menyambung. Angin yang begitu kencang itu menderu membantai dan menimpa kapal si Dedap. Akhirnya kapal itu pun karam diterjang ombak dan angin yang sangat dahsyat.
Diantara itu pula terdengar teriakan Dedap “Tolooooonggg…ampunkan anakmu ibuuuu..toloonngg ampunkan aku. Benarlah kiranya, engkau adalah ibuku…ampunkan anakmu ini toooloooonng”. Tetapi semua sudah terlambat, angin semakin mengamuk tak kenal ampun. Kapal Dedap beserta muatannya lainnya tenggelam di telan laut.
Setelah selang beberapa lama peristiwa tenggelamnya kapal Dedap, menurut masyarakat setempat muncullah sebuah pulau yang menyerupai kapal si Dedap yang kemudian disebut oleh masyarakat “Pulau Dedap”. (Pulau Dedap berada di Kecamatan Putripuyu, Kabupaten Kepulauan Meranti, Provinsi Riau)

*      Dongeng Batang Tuaka
      (Indragiri Hilir)
Alkisah, pada zaman dahulu kala, di daerah Indragiri, Riau, Indonesia, hiduplah seorang janda tua bersama anak laki-lakinya bernama Tuaka. Mereka hidup berdua di sebuah gubuk yang terletak di muara sebuah sungai (tepatnya di muara sungai Indragiri Hilir). Mereka tak punya sanak-saudara dan harta sedikit pun. Meskipun hidup miskin, mereka tetap saling menyayangi. Untuk hidup sehari-hari Tuaka membantu emaknya mengumpulkan kayu api dari hutan-hutan di sekitar tempat tinggal mereka. Ayah Tuaka sudah lama meninggal dunia, dengan demikian emaknya harus bekerja keras menghidupi dirinya dan anak laki-lakinya, Tuaka.  
Suatu hari, Tuaka bersama emaknya pergi ke hutan di sekitar sungai. Mereka mencari kayu api untuk dijual dan untuk memasak sehari-hari. Setelah memperoleh kayu api cukup banyak, mereka berdua akhirnya pulang.
Mak, kalau Emak lelah biarlah Tuaka saja yang menggendong kayu apinya, kata Tuaka saat melihat emaknya kelelahan”
Tak apa, Tuaka. Emak masih kuat. Lagi pula, kayu bakar yang ada padamu juga banyak, jawab Emak Tuaka sambil melanjutkan langkahnya”

Di tengah perjalanan pulang, Tuaka dan emaknya dikejutkan oleh suara desisan yang cukup keras.
Mak! Suara apa itu? tanya Tuaka pada emaknya. Sepertinya itu suara ular berdesis, jawab emaknya” Ternyata benar, tak jauh dari mereka, dari arah tebing sungai tampak dua ekor ular besar sedang bertarung. Tampaknya mereka sedang memperebutkan sebuah benda.
Tuaka, sembunyilah. Ada ular besar yang sedang berkelahi, perintah Emak Tuaka. Tuaka dan emaknya segera berlindung di balik sebuah pohon yang cukup besar. Dari balik pohon itu, Tuaka dan emaknya terus menyaksikan dua ekor ular itu saling bergumul dan belit-membelit”
”Apa yang mereka perebutkan, Mak? tanya Tuaka. Mak juga tak tahu! Diamlah Tuaka, nanti mereka mengetahui keberadaan kita, jawab Emak Tuaka dengan suara berbisik”
Tak lama kemudian, perkelahian kedua ekor ular tersebut akhirnya usai. Tuaka dan emaknya keluar dari balik pohon, lalu mendekat ke tempat kejadian itu. Mereka mendapati salah satu ular sudah mati, sedangkan ular lainnya terluka. Ular yang terluka itu menggigit sebuah benda berkilau, yang ternyata adalah sebutir permata (kemala) yang sangat indah. Ular itu tampak kesakitan oleh luka-lukanya.
Mak, kasihan ular yang terluka itu. Mari kita tolong, kata Tuaka kepada emaknya dengan nada mengajak”
”Ya, mari kita bawa pulang, supaya kita bisa obati di rumah, jawab Emak Tuaka”

Tuaka memasukkan ular itu ke dalam keranjang yang dibawa emaknya, lalu memanggulnya pulang. Sampai di rumah, Emak Tuaka segera mencari daun-daunan yang berkhasiat, menumbuknya, lalu membubuhkannya pada luka-luka di tubuh ular itu, sedangkan Tuaka sibuk memberinya minum air sejuk. 
Beberapa hari kemudian, ular yang sudah mulai sembuh itu tiba-tiba hilang dari keranjang. Permata yang selalu dia lindungi di dalam lingkaran badannya ditinggalkan di dalam keranjang. Tuaka dan emaknya terheran-heran, lalu mereka mengamati parmata itu dengan kagum.

Mengapa ular itu meninggalkan permatanya, Mak? tanya Tuaka kepada emaknya. Berangkali dia ingin berterima kasih kepada kita, karena kita sudah menolongnya. Sebaiknya kita jual saja permata ini kepada saudagar. Uangnya kita gunakan untuk berdagang supaya kita tidak hidup misikin lagi, jawab Emak Tuaka penuh rasa syukur. Tuaka pun setuju dengan tawaran emaknya”

Keesokan harinya, Tuaka pergi ke bandar yang ramai dengan para saudagar. Sesampai di bandar, Tuaka berkeliling kesana-kemari mencari saudagar yang berani membeli permatanya dengan harga yang tinggi. Hampir semua saudagar di bandar itu ia tawarkan, namun tak ada yang berani membelinya. Tuaka pun mulai putus asa. Tuaka berniat membawa pulang pertama itu kepada emaknya. Namun, ketika sampai di ujung bandar, tiba-tiba ia melihat seorang saudagar yang sepertinya belum ia tawarkan. Tuaka menghampiri saudagar itu, kemudian menawarkan permatanya dengan harga yang tinggi. Tampaknya, saudagar itu sangat tertarik setelah mengamati permata berkeliau itu.
Aduhai elok sangat batu permata ini! Aku sangat ingin memilikinya. Harga yang kau tawarkan itu memang tinggi, tapi aku tetap akan membelinya, kata sang Saudagar. Kalau begitu, apa lagi yang Tuan tunggu? Tuan hanya tinggal membayarnya, desak Tuaka dengan hati berdebar karena bahagia”

Uang yang aku bawa tak cukup, Nak! Jika kamu mau, kamu boleh ikut denganku ke Temasik untuk mengambil kekurangannya, kata sang Saudagar. Tuaka tampak termenung sejenak memikirkan tawaran sang Saudagar.
Ehm, baiklah Tuan. Saya nak ikut Tuan ke Temasik, jawab Tuaka. Setelah itu, Tuaka pulang ke rumahnya untuk menceritakan masalah ini pada emaknya. Akhirnya, Emak Tuaka mengizinkannya berangkat ke Temasik (Singapura). Tuaka dan saudagar kaya itu berlayar menuju Temasik. Sepanjang perjalanan, Tuaka tak henti-hentinya membayangkan betapa banyak uang yang akan diperolehnya nanti. 

Setibanya di Temasik, sang Saudagar membayar uang pembelian permata kepada Tuaka. Karena uang yang berlimpah tersebut, Tuaka lupa kepada ibu dan kampung halamannya. Dia menetap di Temasik. Beberapa tahun kemudian dia telah menjadi saudagar kaya. Dia menikah dengan seorang gadis elok rupawan. Rumah Tuaka sangatlah megah, kapalnya pun banyak. Hidupnya bergelimang dengan kemewahan. Dia tak lagi peduli emaknya yang miskin dan hidup sendirian, entah makan entah tidak. 

Suatu ketika, Tuaka mengajak istrinya berlayar. Kapal megah Tuaka berlabuh di kampung halaman Tuaka. Sebenarnya Tuaka masih ingat dengan kampung halamannya tersebut. Akan tetapi, rupanya dia enggan menceritakan kepada istrinya bahwa di kampung yang mereka singgahi tersebut emaknya masih hidup di sebuah gubuk tua. Dia tak mau istrinya mengetahui bahwa dirinya adalah anak seorang wanita yang sudah tua-renta dan miskin.

Sementara itu, berita kedatangan Tuaka terdengar pula oleh emaknya. Emaknya bergegas menyongsong kedatangan anak lelakinya yang bertahun-tahun tak terdengar kabar beritanya tersebut. Karena rindu tak terbendung ingin bertemu anaknya, Emak Tuaka pun bersampan mendekati kapal megah Tuaka.
Tuaka, Anakku. Emak sangat merindukanmu, Nak! teriak Emak Tuaka saat melihat Tuaka dan istrinya di atas kapal megah itu. Siapa gerangan wanita tua itu, Kakanda? Mengapa dia menyebut Kakanda sebagai anaknya? tanya istri Tuaka dengan wajah tidak senang. 

Tuaka terkejut bukan kepalang melihat emaknya di atas sampan berteriak memanggilnya. Dia tahu wanita dengan pakaian compang-camping itu memang emaknya, tetapi dia tak sudi mengakuinya. Dia sangat malu pada istrinya.
Hei, jauhkan wanita miskin itu dari kapalku. Dasar orang gila tak tahu diri! Beraninya dia mengaku sebagai emakku, teriak Tuaka dari atas kapal”

”Ya, usir dia jauh-jauh dari sini, tambah istri Tuaka sambil bertolak pinggang. Mendengar perintah dari tuannya, anak buah Tuaka segera mengusir wanita miskin nan malang itu menjauh dari kapal.

Emak Tuaka sangat bersedih. Sambil menangis dia bersampan menjauhi kapal Tuaka.
Oh, Tuhan. Ampunilah dosa Tuaka karena telah durhaka kepadaku. Berilah dia peringatan agar menyadari kesalahannya, ratap Emak Tuaka. Rupanya Tuhan mendengar doa Emak Tuaka. Sesaat setelah doa Emak Tuaka terucap, tiba-tiba Tuaka berubah menjadi seekor burung elang. Begitu pula istri Tuaka, dia berubah menjadi seekor burung punai. Emak Tuaka sangat terkejut dan sedih melihat anaknya berubah menjadi burung. Walaupun Tuaka telah menyakiti hatinya, sebagai seorang ibu ia sangat mencintai anaknya.

Burung  elang dan burung punai tersebut terbang berputar-putar di atas muara sungai sambil menangis. Air mata kedua burung itu menetes, membentuk sungai kecil yang semakin lama semakin besar. Sungai itu kemudian diberi nama Sungai Tuaka. Kemudian oleh masyarakat setempat mengganti kata sungai ke dalam bahasa Melayu menjadi batang, sehingga nama Sungai Tuaka berubah menjadi Batang Tuaka. Sejak itu pula, daerah di sekitar muara sungai tersebut diberi nama Batang Tuaka yang kini dikenal dengan Kecamatan Batang Tuaka yang masuk dalam wilayah Kabupaten Indragiri Hilir, Riau, Indonesia.

Masyarakat Melayu Indragiri, baik di hilir maupun hulu sungai, meyakini legenda ini benar-benar pernah terjadi pada zaman duhulu kala di sekitar muara sungai Indragiri. Jika ada suara jerit elang berkulik pada siang hari di sekitar muara Sungai Tuaka, masyarakat setempat meyakini bahwa suara burung tersebut sebagai penjelmaan Tuaka yang menjerit memohon ampun kepada emaknya.

*      Dongeng Burung Punai
     (Pelalawan)
Alkisah, pada zaman dahulu kala, di daerah Pelalawan, Riau, hiduplah sepasang suami istri dengan seorang anak laki-lakinya yang bernama Bujang.  Hidup mereka sangat miskin. Meskipun hidup miskin, keduanya sangat sayang terhadap anak semata wayangnya. Mereka berharap dan selalu berdoa kepada Tuhan agar anak tunggalnya itu kelak menjadi anak yang shaleh, berbudi luhur, berilmu pengetahuan dan berguna bagi masyarakat. 
Untuk mencapai tujuan yang mulia itu, orang tuanya telah bertekad bekerja keras mencari rezeki yang halal sebagai modal untuk mendidik si Bujang. Setiap hari sang Ayah pergi ke ladang dan mencari ikan di sungai. Hasilnya ia jual ke desa-desa tetangga. Meskipun harus berjalan berhari-hari dengan membawa beban berat, sang Ayah tidak pernah mengeluh atau merasa lelah demi kebahagiaan anaknya. Uang hasil penjualannya tersebut, ia tabung sedikit demi sedikit. Ia sendiri hidup sangat hemat. Makan dan berpakaian seperlunya saja. Ia selalu berdoa kepada Tuhan agar senantiasa diberikan kesehatan untuk bisa mendapatkan lebih banyak rezeki demi masa depan Bujang.
Hari berganti hari. Minggu berganti Minggu. Bulan berganti Bulan. Si Bujang tumbuh menjadi anak yang sehat, lincah dan cerdas. Kedua orang tuanya amat bangga dan bahagia melihat anak tumpuan harapan mereka itu. 
Setelah cukup besar, Bujang pun diserahkan ke sebuah surau di kampung itu untuk belajar mengaji. Sejak itu ia sangat rajin pergi mengaji. Setiap hari ia pergi ke surau bersama teman-temannya. Jika kampungnya dilanda banjir, Bujang diantar oleh ayahnya dengan sebuah perahu kecil. Waktu pulang ia dijemput oleh emaknya. 
Ada suatu kebiasaan di Pelalawan, apabila air surut dan tanah sudah kering, semua anak-anak bermain gasing. Sebenarnya, banyak orang tua yang jengkel jika musim bergasing itu tiba. Mereka jengkel melihat anak-anak mereka yang asyik bermain gasing yang lupa segalanya. Bahkan, anak-anak mereka terkadang lupa pulang untuk makan siang. 
Suatu waktu, musim bergasing itu tiba. Bujang dan teman-temannya asyik bermain gasing dari pagi hingga petang hari. Orang tuanya mulai gelisah. Sudah beberapa hari si Bujang tidak pergi mengaji. Guru mengajinya sudah berkali-kali ke rumah orang tuanya menanyakan keadaannya. Hati kedua orang tuanya semakin kesal melihat perangai anak tunggal yang diharapkannya itu.
Suatu hari, di saat hari sudah petang, si Bujang baru pulang dari bermain gasing. Kedua orang tuanya sudah menunggunya di depan pintu. Melihat si Bujang datang, emaknya menyambutnya dengan pertanyaan-pertanyaan.
Jang, sudah berapa lama kamu tidak pergi mengaji ke surau? Kamu selalu asyik bermain gasing sehingga lupa segala-galanya. Apa kamu tidak jemu-jemu bermain gasing, Jang? Kamu mau emak memberimu makan gasing? Mendengar omelan emaknya, si Bujang hanya diam dan menunduk”

Usai ibunya mengomelin si Bujang, kini giliran ayahnya. 
Jang, ayah tengok kamu asyik bermain gasing saja. Sampai-sampai kamu lupa makan-minum, apalagi mengaji. Sejak bermain gasing, kamu sudah tidak pernah lagi membantu emakmu. Apa kamu bisa kenyang makan gasing? ujar sang ayah”

Si Bujang tidak bisa berkata apa-apa. Ia tidak berani membantah kata-kata ayahnya, karena ia memang merasa bersalah. Namun, omelan kedua orang tuanya itu tidak membekas dalam hatinya. Semua kata-kata orang tuanya hanya masuk melalui telinga kanan dan keluar dari telinga kiri. Ketika ayahnya pergi ke ladang, ia pergi lagi bermain gasing. Begitulah setiap hari yang dilakukannya. Pendeknya, Bujang sudah lupa segalanya. Orang Pelalawan mengatakan, kalau anak sudah kena hantu gasing, ia tidak dapat bekerja apa pun.
Sudah beberapa hari si Bujang tidak pulang. Ayahnya sudah tidak mau lagi mencarinya. Ia sudah tidak perduli lagi dengan kelakuan anaknya. Pada suatu malam, sang Ayah berkata kepada istrinya ”Barangkali inilah resikonya terlalu memanjakan anak. Lihatlah si Bujang anak kita, semakin dimanja semakin menjadi-jadi. Oleh karena itu, mulai sekarang kita biarkan saja, tidak usah kita hiraukan”. Mendengar ujaran suaminya, sang Istri pun mengangguk-angguk. Ia merasa bersalah, karena terlalu memanjakan si Bujang. 
Demikianlah, semakin hari si Bujang semakin nakal. Ia sudah lupa segalanya. Ia semakin jarang pulang ke rumah dan tidak pernah lagi mengaji ke surau. Hati orang tuanya semakin sedih. Anak semata wayang, tumpuan harapan mereka, sudah tidak dapat diharapkan lagi. Sirnalah semua harapan kedua orang tuanya. Mereka benar-benar kecewa terhadap perilaku si Bujang. Semakin hari, hati mereka pun semakin kesal dan jengkel. Mereka tidak pernah lagi memasak nasi untuk si Bujang sebelum mereka ke ladang.
Pada suatu hari sebelum pergi ke ladang, ibunya memasak gasing, dan tali gasingnya ia gulai untuk si Bujang. Melihat kedua orang tuanya sudah berangkat ke ladang, si Bujang pulang ke rumahnya. Oleh karena sudah kelaparan, ia segera membuka periuk, dilihatnya sebuah gasing. Lalu ia membuka belanga, dilihatnya gulai tali gasing. Oleh karena merasa kecewa, menangislah si Bujang sambil bernyanyi:
Sing tali gasing
Alit gasing dan buah keras
Sampai hati ibu!
Ditanaknya saya gasing
Digulainya tali gasing
Menjadi punai-punai jugalah saya hendaknya
Makan buah kayu ara.

Tumbuh bulu sehelai, lalu ia menyanyi lagi:
Sing tali gasing
Alit gasing dan buah keras
Sampai hati ibu!
Ditanaknya saya gasing
Digulainya tali gasing
Menjadi punai-punai jugalah saya hendaknya
Makan buah kayu ara.

Tumbuh bulu sehelai lagi, ia pun terus bernyanyi:     
Sing tali gasing
Alit gasing dan buah keras
Sampai hati ibu!
Ditanaknya saya gasing
Digulainya tali gasing
Menjadi punai-punai jugalah saya hendaknya
Makan buah kayu ara.
Demikian si Bujang terus bernyanyi, satu demi satu bulu tumbuh di badannya. Oleh karena terus bernyanyi, lama-kelamaan ratalah seluruh tubuhnya ditumbuhi bulu. Maka berubahlah si Bujang menjadi seekor Burung Punai. Ia pun terbang ke arah jendela, lalu ia terbang ke bumbung atap, kemudian ia terbang tinggi ke udara. Dari udara tampaklah olehnya ladang orang tuanya. Kemudian ia terbang ke arah ladang itu dan hinggap di atas sebuah pohon kayu ara yang tinggi. Dari atas pohon itu terlihat ayah dan ibunya sedang asyik menyiangi rumput. Ia pun bernyanyi:
Sing tali gasing
Alit gasing dan buah keras
Sampai hati ibu!
Ditanaknya saya gasing
Digulainya tali gasing
Menjadi punai-punai jugalah saya hendaknya
Makan buah kayu ara.

Mendengar nyanyian Burung Punai pandai berbicara itu, ibu Bujang berkata kepada suaminya.
”Bang, coba dengarkan suara burung yang bernyanyi di atas pohon itu! Sepertinya suara anak kita si Bujang” Ayah Bujang langsung berdiri dan menghentikan kegiatannya menyiangi rumput. Dipasangnya telinganya baik-baik untuk memastikan jika suara burung itu adalah suara anaknya.
Sing tali gasing
Alit gasing dan buah keras
Sampai hati ibu!
Ditanaknya saya gasing
Digulainya tali gasing
Menjadi punai-punai jugalah saya hendaknya
Makan buah kayu ara.

Setelah mendengarkan suara itu dengan jelas, ayah Bujang pun yakin bahwa itu adalah suara Bujang.
Benar, Adikku! Itu suara anak kita, kata sang Ayah dengan yakin. 
Maka berteriaklah emaknya memanggil si Bujang.
Nak, kemarilah! Ini nasi! Dari atas pohon kayu ara itu, burung punai itu menjawab, Tidak, Emak! Saya sudah menjadi Burung Punai, Saya makan buah kayu ara” Setelah berkata begitu, burung itu pun mematuk dan memakan buah ara dari satu dahan ke dahan yang lain. Sang Ayah sangat kasihan melihat nasib anaknya itu. Ia pun mengambil kapak dan menebang pohon tempat burung itu hinggap. Ketika pohon itu tumbang, Burung Punai itu pun pindah ke pohon yang lain. Kemudian ia bernyanyi lagi.
Sing tali gasing
Alit gasing dan buah keras
Sampai hati ibu!
Ditanaknya saya gasing
Digulainya tali gasing
Menjadi punai-punai jugalah saya hendaknya
Makan buah kayu ara.

Kemarilah, anakku! Ini emak bawakan nasi untukmu! bujuk emaknya agar si Bujang yang telah menjadi Burung Punai itu mau mendekat.”
Tidak, Emak! Saya sudah menjadi burung. Saya makan buah kayu ara, jawab Burung Punai itu menolak ajakan emaknya.”

Melihat Burung Punai itu tidak mau mendekat, Ayah Bujang menebang pohon ara tempat burung itu hinggap. Ketika pohon itu tumbang, Burung Punai itu terbang lagi ke pohon ara lainnya. Kemudian bernyanyi lagi dengan nada dan lagu yang sama. Begitulah seterusnya, setiap ayahnya menebang pohon tempat ia hinggap, Burung Punai itu pindah ke pohon yang lainnya dan kemudian benyanyi. 
Tak terasa, semakin jauh kedua orang tuanya meninggalkan ladangnya. Sampai pada suatu waktu perbekalan mereka benar-benar sudah habis. Sementara jalan untuk pulang, mereka sudah tidak tahu lagi. Oleh karena sudah berhari-hari tidak makan, kedua orang tua Bujang akhirnya meninggal di dalam hutan. Sementara si Bujang yang durhaka itu tetap menjadi Burung Punai selama-lamanya. 

*      Dongeng Batu Belah Batu Betangkup
(Rokan Hilir)
Konon, pada zaman dahulu ada sebuah desa yang berada di pesisir laut Natuna (sekarang kawasan Tanjung Batu Kecamatan Pemangkat), masih banyak terdapat pepohonan nan rimbun dan berlatar belakang Gunung Gajah yang menambah keindahan panoramanya.

Di cakrawala awan biru berarak perlahan-lahan, kicauan burung terdengar bercanda lincah di pepohonan, sang ombak pun menambah gemuruh suasana di kawasan Tanjung Batu yang kita kenal sekarang.

Mata pencarian masyarakatnya pada masa itu dominan menangkap ikan di laut. Tampak seorang ibu setengah baya bernama 'Mak Masnah' sedang menggendong kayu api yang didapatnya dari hutan, pekerjaan Mak Masnah sehari-hari adalah mencari kayu api di hutan kemudian ia jual di pasar dan berladang untuk menghidupi keluarga kecilnya.

Mak Minah menjadi tulang punggung keluarga sejak ditinggalkan oleh sang suami melaut yang tidak pernah kunjung pulang.

Dari suaminya, ia dikaruniai 2 (dua) anak yang mempunyai paras cantik dan tampan bernama Yanti (putri sulung) berumur 12 tahun dan Zoel (putra bungsu) berumur 3 tahun.

Demi 2 (dua) buah hati kesayangannya, Mak Masnah harus membanting tulang setiap harinya agar kedua anaknya tidak kelaparan.

Meskipun sudah bekerja dengan sangat keras, terkadang Mak Masnah tidak mendapatkan kayu api sesuai keinginan, akan tetapi ia tidak mengeluh karena selalu mengingat anak-anaknya.

Ia tidak berani untuk berkeluh kesah yang tiada gunanya karena tidak tahan melihat bayangan anak-anaknya yang kelaparan dibenaknya.

Hingga pada suatu hari, Mak Masnah pulang dari hutan untuk mencari kayu api dan hasilnya tidak seperti yang ia bayangkan, dan kalau dijual tidak mencukupi untuk makannya pada hari itu.

Mak Masnah pun pergi ke tepi laut yang banyak berhamparan bebatuan menjorok ke laut. Disana banyak ikan tembakul, dan Mak Masnah pun mencari kesana kemari mencari ikan tembakul yang biasa berjalan di pantai yang penuh lumpur dengan sirip dan ekornya.

Ikan tembakul hidup di 2 (dua) alam seperti katak, bentuknya mirip ikan gabus mempunyai mata yang besar menjorok ke luar mirip mata iguana.

Orang setempat menyebutnya ikan Tembakul untuk berukuran besar dan Ikan Nengok untuk yang berukuran kecil (biasa hidup di air payau berlumpur).
Dua jam Mak Masnah mencari ikan tembakul, badannya penuh lumpur dan merasa cukup untuk tangkapannya hari ini, ia pun langsung pulang kerumahnya karena ia sudah sangat lapar, dan tidak sabar mau memasak ikan dan telur tembakul untuk kedua anaknya.

Sesampai di gubuk tuanya, Mak Masnah langsung membersihkan ikan tembakul untuk di ambil telurnya dan setelah itu siap untuk memasaknya.

Akan tetapi, ia lupa kalau persediaan kunyit dan jahe sudah habis. Biasanya Mak Masnah untuk keperluan bumbu dapur hanya tinggal mengambil di kebun belakang gubuk tuanya.

Sembari mau mengambil kunyit dan jahe, Mak Masnah pun merebus telur tembakul hanya dengan garam

"Yanti, cepat kemari. Ibu mau ke belakang rumah sebentar mau mengambil kunyit dan jahe. Tolong, lihat masakan Ibu di dapur", kata Mak Masnah dengan suara lantang.

"Iya, bu......", jawab Yanti sambil mengendong adiknya.

"Adikmu tolong di jaga baik-baik, jangan biarkan bermain api dan tunggu sampai Ibu kembali ya nak. Rebusan telur tembakul masih belum diberi rempah. Ingat, jangan di makan dulu dan tunggu sampai Ibu kembali", kata Mak Masnah sambil mengambil tanggui (caping).

"Baik, bu...", jawab Yanti.


Sejam kemudian, setelah si Ibu pergi, tiba-tiba adiknya menangis karena kelaparan. Yanti pun bingung harus berbuat apa, sedangkan si Ibu sudah berpesan agar tidak menggangu telur tembakulnya. Tapi sang adik semakin lama semakin kuat suaranya.
Yanti pun dengan sangat terpaksa harus melanggar amanat orangtuanya karena sang adik yang terus menangis, semakin lama semakin keras.

Karena perut Yanti juga ikutan berbunyi yang menandakan lapar, ia pun ikut memakan telur tembakul. Tanpa mereka sadari, telur tembakul hasil rebusan ibunya habis tanpa sisa.

Waktu semakin sore, si Ibu pun masih belum kunjung pulang, matahari sudah mulai tenggelam. Tak lama kemudian, terdengar orang membuka pintu rumahnya dan tidak lain tidak bukan adalah Mak Masnah.

Dengan keringat bercucuran dan tubuh yang tampak letih dan lesu, ia sangat terkejut melihat telur tembakul yang ia masak tadi sudah tidak bersisa.

Betapa sedihnya Mak Masnah dengan kelakuan anaknya yang tidak bisa menjaga amanah orangtuanya.

Namun apa hendak dikata, nasi sudah menjadi bubur, penyesalan selalu datang kemudian, walau Yanti berusaha meminta maaf tapi sakit hati ibunya masih belum hilang.

Si ibu terus menangis karena ulah kedua anaknya, mau pergi ke pantai lagi pun hari sudah gelap dan ibu merasa kemponan telur tembakul.

Dengan derai air mata Mak Masnah menyudahkan segalanya. Pada keesokan harinya Mak Masnah menyiapkan bubur seperiuk untuk anak-anaknya.

Setelah itu ia pergi meninggalkan anaknya yang masih tertidur ke arah pantai dan mendekati sebuah batu keramat di kawasan Tanjung Batu sambil berbicara dan menangis.

Batu tersebut juga bisa membuka lalu menutup kembali, layaknya seekor kerang. Orang-orang sering menyebutnya dengan batu betangkup.

Disisi lain, tak selang beberapa menit sang anak terbangun dan langsung menyantap hidangan yang ditinggalkan ibunya.

Tengah asyik makan, Yanti tersadar kalau ibunya akan meninggalkannya. Maka bergegaslah Yanti dan Zoel menyusul ibunya.

“Wahai Batu Belah Batu Batangkup, telanlah saya hingga leher. Saya kemponan telur tembakul, Saya tak sanggup lagi hidup dengan kedua anak saya yang tidak patuh kepada orang tuanya,” kata Mak Masnah.

Batu betangkup pun kemudian menelan tubuh Mak Masnah, hingga yang tertinggal dari tubuh Mak Minah sebagian rambutnya saja.

Anak-anak Mak Masnah kebingungan mencari ibunya, hingga sampailah mereka di batu keramat dan mereka mereka menemukan ujung rambut Mak Masnah yang terurai ditelan batu belah batu betangkup.

Kedua anaknya spontan menangis histeris melihat kenyataan kalau orangtuanya sudah meninggalkannya selama-lamanya.

"Ibu.... ibu.... maafkan kami, pulang bu pulang, kasihan Izoel kelaparan susu kalau Ibu tidak pulang", ratapan Yanti sambil membelai rambut ibunya.

“Wahai Batu Belah Batu Batangkup, kami membutuhkan ibu kami. Tolong keluarkan ibu kami dari perutmNDJSHFSBFNASFLESASLNFLASJBFu,” ratap Yanti kembali.

“Tidak!!! Kalian sudah membuat hati ibu kalian sakit dan patah. Kalian tidak menyayangi dan menghormati ibumu,” jawab Batu Belah Batu Batangkup. Mereka terus meratap dan menangis.

*      Dongeng Rawang Tekuluk
(Taluk Kuantan)








Komentar

Postingan populer dari blog ini

MOSI DEBAT SMA BULAN BAHASA 2019

MOSI YANG DILOMBAKAN DALAM DEBAT PRATIKUM SASTRA KE 27

Mahasiswa 2018: Kesan dan Pesan PKKMB dan Sehari Bersama Maba