MAHASISWA WAJIB TAHU !!! NASKAH PUISI YANG DILOMBAKAN DALAM PRAKTIKUM SASTRA KE-26 TAHUN 2018

CERITA BUAT DIEN TAMAELA
(karya Chairil Anwar)
Beta Pattiradjawane Yang dijaga datu-datu Cuma satu.  Beta Pattiradjawane Kikisan laut Berdarah laut.  Beta Pattiradjawane Ketika lahir dibawakan Datu dayung sampan.  Beta pattiradjawane, menjaga hutan pala. Beta api di pantai. Siapa mendekat Tiga kali menyebut beta punya nama.  Dalam sunyi malam ganggang menari Menurut beta punya tifa, Pohon pala, badan perawan jadi Hidup sampai pagi tiba.  Mari menari! mari beria! mari berlupa!  Awas jangan bikin beta marah Beta bikin pala mati, gadis kaku beta kurim datu-datu!  Beta ada di malam, ada di siang Irama ganggang dan api membakar pulau…  Beta Pattiradjawane Yang dijaga datu-datu Cuma satu.  

Memandang Riau
(karya Murparsaulian)


Riau
dipelupukmu  aku memandang singapura
berenang di air mata beku
bekas jejak hari yang ditelan waktu
terenggut bongkahan ambisi rantau seberang

di telukmu aku memandang Melaka
kecambah hati yang terlanjur mati 
digilas lancang sejarah buram membenam
dalam badai yang kian menikam

Aku melihat tuah dan jebat
bercermin di selatmu
bersolek dan bergincu darah
berceracau risau tentang Melayu yang kehilangan seri

Kulihat luka di onak batam 
terjejas dalam gigil ngilu gelombang
bagai camar yang meratap di bibir pantai

Sauhmu yang terputus
kandas digilas roda zaman
kupandang luka riau
kubenam tangis buatmu
singapura dan melaka tak lagi milik kita

















Sejarah Kami
(karya Ediruslan Pe Amanriza)

Sejarah kami
adalah dongeng nenek menjelang tidur

Sejarah kami
adalah kilatan pedang para lanum
mengendap di teluk
dan tanjung
merayau selat
dan sungai 
menjarah hutan
dan gunung

Sejarah kami
adalah pantun dan gurindam
rindu kemerdekaan
dan kebebasan

Sejarah kami 
adalah dzikir dan syair
nyanyi panjang
pahit dan getir

Sejarah kami
tak tersurat
tak tersirat
dalam kitab

Sejarah kami
adalah wajah yang tertunduk
di depan cermin dunia












Jembatan
(Karya Sutardji Calzoum Bachri)
Sedalam-dalam sajak takkan mampu menampung airmata bangsa. Kata-kata telah lama terperangkap dalam basa-basi dalam teduh pekewuh dalam isyarat dan kisah tanpa makna. Maka aku pun pergi menatap pada wajah berjuta. 
Wajah orang jalanan yang berdiri satu kaki dalam penuh sesak bis kota. Wajah orang tergusur. Wajah yang ditilang malang. 
Wajah legam para pemulung yang memungut remah-remah pembangunan. Wajah yang hanya mampu menjadi sekedar penonton etalase indah di berbagai plaza. 
Wajah yang diam-diam menjerit melengking melolong dan mengucap tanah air kita satu bangsa kita satu bahasa kita satu bendera kita satu ! Tapi wahai saudara satu bendera 
kenapa kini ada sesuatu yang terasa jauh beda di antara kita ?
sementara jalan-jalan mekar di mana-mana menghubungkan kota-kota, jembatan-jembatan tumbuh kokoh merentangi semua sungai dan lembah yang ada. 
Tapi siapakah yang mampu menjembatani jurang di antara kita ? Di lembah-lembah kusam pada pucuk tulang kersang dan otot linu mengerang mereka pancangkan koyak-moyak 
bendera hati dipijak ketidakpedulian pada saudara.
Gerimis tak mampu menguncupkan kibarannya. Lalu tanpa tangis mereka menyanyi padamu negeri airmata kami. 

 
 
 






Membaca Tanda-Tanda
(karya Taufiq Ismail)
Ada sesuatu yang rasanya mulai lepas dari tangan dan meluncur lewat sela-sela jari kita
Ada sesuatu yang mulanya tak begitu jelas tapi kini kita mulai merindukannya 
Kita saksikan udara abu-abu warnanya
Kita saksikan air danau yang semakin surut jadinya
Burung-burung kecil tak lagi berkicau pagi hari 
Hutan kehilangan ranting
Ranting kehilangan daun
Daun kehilangan dahan
Dahan kehilangan hutan 
Kita saksikan zat asam didesak asam arang dan karbon dioksid itu menggilas paru-paru
Kita saksikan 
Gunung memompa abu
Abu membawa batu
Batu membawa lindu
Lindu membawa longsor
Longsor membawa air
Air membawa banjir
Banjir membawa air airmata 
Kita telah saksikan seribu tanda-tanda
Bisakah kita membaca tanda-tanda?
Allah 
Kami telah membaca gempa
Kami telah disapu banjir
Kami telah dihalau api dan hama
Kami telah dihujani abu dan batu 
Allah
Ampuni dosa-dosa kami 
Beri kami kearifan membaca
Seribu tanda-tanda 
Karena ada sesuatu yang rasanya mulai lepas dari tangan dan meluncur lewat sela-sela jari
Karena ada sesuatu yang mulanyatak begitu jelas tapi kini kami mulai merindukannya. 







                                                     
Sembahyang Rumputan
(karya Ahmadun Yosi Herfanda)

Walau kau bungkam suara azan
Walau kaugusur rumah-rumah Tuhan
Aku rumputan
Takkan berhenti sembahyang 
:inna shalati wa nusukiwa mahyaaya wa mamaatilillahi rabbil alamin
Topan menyapu luas padang
Tubuhku bergoyang-goyang
Tapi tetap teguh dalam sembahyang
Akarku yang mengurat di bumi
Tak berhenti mengucap shalawat nabi
Sembahyangku sembahyang rumputan
Sembahyang penyerahan jiwa dan badan
Yang rindu berbaring di pangkuan Tuhan
Sembahyangku sembahyang rumputan
Sembahyang penyerahan habis-habisan
Walau kau tebang aku
Akan tumbuh sebagai rumput baru
Walau kaubakar daun-daunku
Akan bersemi melebih dulu
Aku rumputan 
Kekasih Tuhan
Di kota-kota disingkirkan
Alam memeliharaku subur di hutan
Aku rumputan
Tak pernah lupa sembahyang : sesungguhnya shalatku dan ibadahkuhidupku dan matiku hanyalah bagi Allah sekalian alam
Pada kambing dan kerbau
Daun-daun hijau kupersembahkan
Pada tanah akar kupertahankan
Agar tak kehilangan asal keberadaan
Di bumi terendah aku berada
Tapi zikirku menggema
Menggetarkan jagat raya: la ilaaha illallahmuhammadar rasulullah
Aku rumputan
Kekasih Tuhan
Seluruh gerakku
Adalah sembahyang



Puisi tingkat Mahasiswa

Cintaku Jauh di Pulau
Karya (Chairil Anwar)
Cintaku jauh di pulau, gadis manis, sekarang iseng sendiri
Perahu melancar, bulan memancar, di leher kukalungkan ole-ole buat sipacar. angin membantu, laut terang, tapi terasa aku tidak ‘kan sampai padanya.
Di air yang tenang, di angin mendayu, di perasaan penghabisan segala melaju Ajal bertakhta, sambil berkata: “Tujukan perahu kepangkuanku saja,”
Amboi! Jalan sudah bertahun kutempuh! Perahu yang bersama ‘kan merapuh! Mengapa Ajal memanggil dulu Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!
Manisku jauh di pulau, kalau ‘kumati, diamati iseng sendiri
 
HAI TI
(Karya Ibrahim Sattah)
ti yang tiang topang ke punca cahaya puncanya
jejak ke gaung ke gaung ke mana jejaknya
ikutkan aku kata angin ikutkan aku kata awan
ikutkan aku kata bulan
ikutkan aku
ikutkan
aku

ti yang tiang topang ke punca cahaya puncanya
jejak ke gaung ke gaung ke mana jejaknya
kuikutkan angin kuikutkan awan kuikutkan bulan
kuikutkan ke mana akan kuikutkan
selaju cahaya selaju cahayalah aku ke punca
jejak ke punca ke punca ke mana puncanya
tanyakan aku kata angin tanyakan aku kata awan
tanyakan aku kata bulan
tanyakan aku
tanyakan
aku

tanyakan kemana akan kutanyakan
ti hai ti yang tiang topang
gelap pukaumu membelah batu tempat tidurku
ke mana angin ke mana awan ke mana bulan
ke mana akan ke mana dunia ke mana akan ke mana
keranda
ti hai ti yang tiang topang gapaiku gapai ke kau
ti hai ti yang tiang topang
gaib gapaiku ke 
punca 
mu






Tanah Kelahiran
Karya: Idrus Tintin


di sini kapal oleng gemoleng
angin tak ramah
nakhoda asyik di kemudi
kelasi tertimbun talitemali
penumpang mendengar degup jantung
jantung sendiri

lelaki keras berpacu jalan
perempuan memetik dawai hatinya
waktu malam tiba
perahu menyusuri puncak ombak
hidup di padang perburuan
tak pernah usai
tak pernah usai












Tragedy
(Karya : Temul Amsal)


kutiduri matahari
seufuk
sebelum 
kau sebut 
namamu
beri aku seucap kata senyum
seperti dalam mimpi
beri aku bulan tanpa sinarnya
biar aku lepas

di 
jagat
ini
lepaskan aku
kekubang kubang Lumpur
tanpa hewan jadi
akupun jadi hewan
jadi kerbau
mandi kubangan
terbang jadi camar
jadi semutpun
aku bisa

tapi 
kini
aku jadi dungu jadi mainan anak- anak kucing
yang menggigit pahaku sendiri
karena tak mau makan disuapkan
hari 
ini

semalam aku mengantuk tak datang ke pesta
tuanku mencambuk berkali kali
sempat aku luka 

orang dipesta itu mengetawaiku
dari mulut mereka
keluar darah
keluar nanah
lalu mereka menjilat pantatnya
tanpa ragu

di pesta itu manusia jadi serigala
memakan sesamanya












































WAJAH KITA
Karya: Hamid Jabbar

Bila kita selalu berkaca setiap saat
Dan di setiap tempat
Maka tergambarlah:
Alangkah bermacamnya
Wajah kita
Yang berderet bagai patung
Di toko mainan di jalan braga:

Wajah kita adalah wajah bulan
Yang purnama dan coreng-moreng
Serta gradakan dan bopeng-bopeng
Wajah kita adalah wajah manusia
Yang bukan lagi manusia
Dan terbenam dalam wayang

Wajah kita adalah wajah rupawan
Yang bersolek menghias lembaran
Kitab suci dan kitab undang-undang
Wajah kita adalah wajah politisi
Yang mengepalkan tangan bersikutan
Menebalkan muka meraih kedudukan

Wajah kita adalah wajah setan
Yang menari bagai bidadari
Merayu kita menyatu onani
Bila kita selalu  berkaca dengan kaca
Yang buram tak sempurna
Maka tergambarlah
Alangkah berperseginya 

Wajah kita yang terkadang bagai binatang
Di kota di taman margasatwa
Wajah kita adalah wajah serigala
Yang mengaum menerkam mangsanya
Dengan buas, lahap dan gairahnya

Wajah kita adalah wajah anjing
Yang mengejar bangkai dan kotoran
Di tong sampah dan selokan-selokan
Wajah kita adalah wajah kuda
Yang berpacu mengelus bayu
Mendenguskan napas-napas nafsu
Wajah kita adalah wajah wajah babi
Yang menyeruduk dalam membuta
Menyembah tumpukan harta-benda

Wajah kita adalah wajah buaya
Yang meratap dalam riangnya
Dan tertawa dengan sedihnya
Bila kita selalu berkaca dengan kaca
Yang mengkilap dan rata
Maka tergambarlah  
Alangkah berseadanya

Wajah kita
Yang mendengar segala erang
Berkerendahan hati dan berkelapangan dada
Wajah kita adalah wajah
Yang kurang tambah
Serta selebihnya

Wajah kita  adalah wajah
Yang sujud rebah
Bagi-Nya jua
Wajah kita adalah wajah
Yang bukan wajah
Hanya fatamorgana.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MOSI DEBAT SMA BULAN BAHASA 2019

MOSI YANG DILOMBAKAN DALAM DEBAT PRATIKUM SASTRA KE 27

NASKAH PUISI UNTUK LOMBA BACA PUISI BULAN BAHASA 2019 TINGKAT MAHASISWA