Naskah Puisi yang Diperlombakan dalam Praktikum Sastra ke-30

NASKAH PUISI YANG DILOMBAKAN DALAM LOMBA BACA PUISI PRAKTIKUM SASTRA KE-30 TINGKAT UMUM SE-INDONESIA

 

RESONANSI INDONESIA

Karya: Ahmadun Yosi Herfanda

 

bahagia saat kau kirim rindu

termanis dari lembut hatimu

jarak yang memisahkan kita

laut yang mengasuh hidup nakhoda

pulau-pulau yang menumbuhkan kita

permata zamrud di katulistiwa

: kau dan aku

berjuta tubuh satu jiwa

 

kau semaikan benih-benih kasih                                              

tertanam dari manis cintamu

tumbuh subur di ladang tropika

pohon pun berbuah apel dan

semangka

kita petik bersama bagi rasa

bersaudara

: kau dan aku

berjuta kata satu jiwa

 

kau dan aku

siapakah kau dan aku?

Jawa, cina, aceh, batak, arab, dayak

sunda, madura, ambon, atau papua?

ah, tanya itu tak penting lagi bagi kita

: kau dan aku

berjuta wajah satu jiwa

 

ya, apalah artinya tembok pemisah

kita

apalah artinya rahim ibu yang

berbeda?

jiwaku dan jiwamu, jiwa kita

tulus menyatu dalam asuhan

burung garuda

 

Jakarta 1984/1999

 

 

WAJAH KITA

Karya: Hamid Jabbar

 

Bila kita selalu berkaca setiap saat

Dan di setiap tempat

Maka tergambarlah:                                                              

Alangkah bermacamnya

Wajah kita

Yang berderet bagai patung

Di toko mainan di jalan braga:

Wajah kita adalah wajah bulan

Yang purnama dan coreng-moreng

Serta gradakan dan bopeng-bopeng

Wajah kita adalah wajah manusia

Yang bukan lagi manusia

Dan terbenam dalam wayang

 

Wajah kita adalah wajah rupawan

Yang bersolek menghias lembaran

Kitab suci dan kitab undang-undang

Wajah kita adalah wajah politisi

Yang mengepalkan tangan bersikutan

Menebalkan muka meraih

Kedudukan

 

Wajah kita adalah wajah setan

Yang menari bagai bidadari

Merayu kita menyatu onani

Bila kita selalu berkaca dengan kaca

Yang buram tak sempurna

Maka tergambarlah

Alangkah berperseginya

 

Wajah kita yang terkadang bagai

binatang

Di kota di taman margasatwa

Wajah kita adalah wajah serigala

Yang mengaum menerkam

mangsanya

Dengan buas, lahap dan gairahnya

 

Wajah kita adalah wajah anjing

Yang mengejar bangkai dan kotoran

Di tong sampah dan selokan-selokan

Wajah kita adalah wajah kuda                                          

Yang berpacu mengelus bayu

Mendenguskan napas-napas nafsu

Wajah kita adalah wajah wajah babi

Yang menyeruduk dalam membuta

Menyembah tumpukan harta-benda

 

Wajah kita adalah wajah buaya

Yang meratap dalam riangnya

Dan tertawa dengan sedihnya

Bila kita selalu berkaca dengan kaca

Yang mengkilap dan rata

Maka tergambarlah

Alangkah berseadanya

 

Wajah kita

Yang mendengar segala erang

Berkerendahan hati dan

berkelapangan dada

Wajah kita adalah wajah

Yang kurang tambah

Serta selebihnya

 

Wajah kita adalah wajah

Yang sujud rebah

Bagi-Nya jua

Wajah kita adalah wajah

Yang bukan wajah

Hanya fatamorgana.

 

 

KALAH DAN MENANG

Karya: Sutan Takdir Alisjahbana

 

Tidak, bagiku tidak ada kalah dan

menang!

Sebab kuputuskan, bahwa

kemenangan sudah pasti untukku

saja

Kalah tinggal pada mereka yang

lain : yang mengeluh bila terjatuh

Yang menangis bila teriris

Yang berjalan berputar-putar

dalam belantara

 

Di padang lantang yang ku

tempuh ini, aku tidak mungkin

dikalahkan :

Sebab disini jatuh sama artinya

dengan bertambah kukuh berdiri

Tiap-tiap pukulan yang

dipukulkan berbalik berlipat

ganda kepada sipemukul

Malahan algojoku sekalipun yang

akan menceraikan kepalaku dari

badanku

Akan terpancung sendiri seumur

hidupnya :

Melihat mataku tenang menutup

dan bibirku berbunga senyum

 

 

DI BERANDA WAKTU HUJAN

Karya: Sapardi Djoko Damono

 

Kau sebut kenanganmu nyanyian (dan bukan matahari

yang menerbitkan debu jalanan, yang menajamkan

warna-warni bunga yang dirangkaikan) yang menghapus

jejak-jejak kaki, yang senantiasa berulang

dalam hujan. Kau di beranda,

sendiri, “Ke mana pula burung-burung itu (yang bahkan

tak pernah kau lihat, yang menjelma semacam nyanyian,

semacam keheningan) terbang; ke mana pula suit daun

yang berayun jatuh dalam setiap impian?”

 

(Dan buka kemarau yang membersihkan langit,

yang pelahan mengendap di udara) kau sebut cintamu

penghujan panjang, yang tak habis-habisnya

membersihkan debu, yang bernyanyi di halaman.

Di beranda kau duduk,

sendiri, “Di mana pula sekawan kupu-kupu itu,

menghindar dari pandanganku; di mana pula

(ah, tidak!) rinduku yang dahulu?”

 

Kau pun di beranda, mendengar dan tak mendengar

kepada hujan, sendiri,

“Di manakah sorgaku itu: nyanyian

yang pernah mereka ajarkan padaku dahulu,

kata demi kata yang pernah kuhafal

bahkan dalam igauanku?” Dan kau sebut

hidupumu sore hari (dan bukan siang

yang bernafas dengan sengit

yang tiba-tiba mengeras di bawah matahari) yang basah,

yang meleleh dalam senandung hujan,

yang larut.

Amin.

 

(1970)

 

 

IBU KOTA SENJA                                                          

Karya: Toto Sudarto Bachtiar

 

Penghidupan sehari-hari, kehidupan

sehari-hari

Antara kuli-kuli berdaki dan

perempuan telanjang mandi

Di sungai kesayangan, o, kota kekasih

Klakson oto dan lonceng trem saing-

menyaingi

Udara menekan berat di atas jalan

panjang berkelokan

Gedung-gedung dan kepala

mengabur dalam senja

Mengurai dan layung-layung

membara di langit barat daya

O, kota kekasih

Tekankan aku pada pusat hatimu

Di tengah-tengah kesibukanmu dan

penderitaanmu

 

Aku seperti mimpi, buaian putih di

lautan awan belia

Sumber-sumber yang murni

terpendam

Senantiasa diselaputi bumi keabuan

Dan tangan serta kata menahan

napas lepas bebas

Menunggu waktu mengangkut maut

 

Aku tiada tahu apa-apa, di luar yang

sederhana                                                                                             

Nyayian-nyayian keseduan yang

bercanda kesedihan

Menunggu waktu keteduhan

terlanggar di pintu dini hari

Serta di keabadian mimpi-mimpi

manusia

 

Klakson dan lonceng bunyi bergiliran

Dalam penghidupan sehari-hari,

kehidupan sehari-hari

Antara kuli-kuli yang kembali

Dan perempuan mendaki tepi sungai

kesayangan

 

Serta anak-anak berenangan tertawa

tak berdosa

Di bawah bayangan samar istana

kejang

Layung-layung senja melambung

hilang

Dalam hitam malam menjulur tergesa

 

Sumber-sumber murni menetap

terpendam

Senantiasa diselaputi bumi keabuan

Serta senjata dan tangan menahan

napas lepas bebas

O, kota kekasih setelah senja

Kota kediamanku. kota kerinduanku

 

 

DI NEGERI BEKAS PENJAJAH AKU MENEMUKAN DIRIMU

Karya: Yusri Fajar

                                                                                                               

Di negeri bekas penjajah aku menemukan dirimu

dalam etalase kaca restoran Indonesia

ditata dalam mangkok, piring dan gelas

dipajang dalam papan warna-warni

orang-orang berambut pirang berhenti

memesan dirimu, menuliskan menu

merasakan gurih dan nikmat

pedas sekaligus cemas

 

Di negeri bekas penjajah aku menemukan dirimu

meringkuk dalam patung-patung kerajaan nusantara,

terdiam dalam etalase meseum, merindukan kampung halaman

yang sulit terbayang dalam ingatan kusam

yang dipenuhi alat-alat perang: tombak, keris, pedang

yang membisikkan perlawanan yang tinggal kenangan.

setiap hari tuan dan puan Belanda berdecak kagum

betapa megah kampung halamanmu

 

Di negeri bekas penjajah aku menemukan dirimu

terpampang dalam nama-nama jalan

Madura, Sunda, Maluku, Sumatra, Jawa, Borneo,

Sulawesi, Papua, Aceh dilindas jejak kaki

dari jendela bus kota dan kereta

 

orang-orang Belanda melambaikan tangan

seperti mengucap apa kabar Hindia Belanda

dari mulut mereka tercium bau tembakau

wangi the melati dan selinting risau

 

Amsterdam-Leiden, 17-19 Agustus 2010

 

 

HARAPAN RUMAH PETAK ROJALI                    

Karya: Wahyu Prasetya

 

tak ada apa apa di sini. televisi, koran,

dan sarapan pagi maupun gelas kopi.

di depan meja kayu, kami biasa menguraikan

masa lalu dan masa depan di atas

telapak tangan masing-masing.

pagi hingga petang udara tak pernah

berganti, selain dengus itu saja.

 

tak ada pintu dengan nasi dan krupuk

hanya jari jari tangan mengetuk ngetuk

hari demi hari yang berlompatan itu.

bagai mengajak siang hari untuk memeras

pikirannya menjadi kepulan debu.

dan di sini pula kota besar, kota kecil

tumpah antara cinta dan benci.

 

hanya guratan guratan huruf di benak,

mengantar nasib keluar pintu.

mengatakan pada diri sendiri, hari ini

iklan untuk hidup lebih manusiawi,

makan 3 kali sehari dan gizi dan kerja

buat ongkos bermimpi mencari makimu!

 

tak ada siapa-siapa selain gerit jendela.

menciptakan musik dari kehampaan,

melukiskan kekasih dan mata pisau, kami membayangkan manusia yang terbelah

seperti dinding dan atap seng ini,

betapa rapuhnya di hadapan bulldozer,

di depan ketakberdayaan yang menakjubkan.

 

Tambak, 1992-1993      

                                                                                                        

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MOSI DEBAT SMA BULAN BAHASA 2019

MOSI YANG DILOMBAKAN DALAM DEBAT PRATIKUM SASTRA KE 27

Mahasiswa 2018: Kesan dan Pesan PKKMB dan Sehari Bersama Maba