Bintang
Piddini Andriani
Dia,
duduk di samping jendela, dibawah sinar lampu yang temaram. Mencoba memandang
langit yang gelap, hanya ada rembulan yang memantulkan sebagian dari cahaya
matahari. Tak ada bintang yang terlihat, semua bersembunyi dibalik awan,
barangkali malu untuk kulihat, katanya dalam hati seraya tersenyum. Angin malam
berhembus sepoi-sepoi, seolah menghembuskan udara pada wajahnya yang lembut.
Awan bergerak perlahan, memberikan seni tersendiri di kegelapan malam. Ahh,
ternyata ada satu bintang di balik awan, senyumnya tersungging di balik
bibirnya yang mungil. Ya Rabb, ternyata setitik cahaya pun bisa memberikan
keindahan yang luar biasa diantara luasnya langit yang gelap di malam hari. Ah,
seandainya ketika membuka jendela, memandang langit dan tak menemukan bintang
kemudian dia tak mencoba menatap awan tapi menutup jendela kembali, dia tak
akan menemukan bintang yang tersembunyi di balik awan.
Seperti
setitik bintang di kegelapan malam, terkadang kita tak menyadari ada cahaya
kecil dalam malam yang gelap, yang kita berinama “bintang”. Betapa indahnya
cahaya itu walaupun tak bisa menerangi malam. Tapi, lain halnya ketika kita
melihat ada setitik noda di atas kain putih yang membentang. Kita justru
terfokus pada noda yang kecil, dan seolah lupa betapa bersihnya kain itu
terlepas dari setitik noda yang ada, yang mungkin bisa hilang hanya dengan
sedikit detergent pemutih. Itulah hidup, kadang-kadang kita lupa untuk
memandang sesuatu dari sisi lain yang dimiliki.
Saya,
memiliki seorang murid yang saya pikir kecerdasannya kurang menonjol dibanding
lainnya. Suatu hari, ketika kami tengah membicarakan sistem tata surya, hanya
sebagai pengetahuan bahwa bumi merupakan salah satu planet dalam sistem tata
surya yang menjadi tempat tinggal manusia, murid saya itu, sebut saja namanya
Rimba, tiba-tiba berdiri dan mengambil helm milik guru lain yang disimpan
diatas loker dalam ruang kelas serta memakainya. Tanpa saya sadari saya berkata
kepadanya :”Wah,,,teman-teman, lihat!! Rimba memakai helm, seperti astronot
yang mau terbang ke bulan ya…”. Semua teman-temannya memandang ke arahnya, dia
tersenyum, spontan helmnya langsung di lepas dan dikembalikan ke tempat semula,
tanpa harus disuruh untuk mengembalikan. Kemudian saya ajak mereka untuk
menggambar roket di atas kertas putih yang tersedia. Dan hasilnya, Subhanallah,
murid yang saya pikir kecerdasannya kurang menonjol itu justru tahapan
menggambarnya dua tingkat lebih tinggi dibanding murid yang saya pikir paling
pandai di kelas.
Seandainya
saja saya memberikan reaksi yang lain seperti :”Rimba, silakan dikembalikan
helmnya karena sekarang saatnya kita belajar”, atau :”Maaf, silakan
dikembalikan helmnya karena Rimba belum minta ijin bu guru”, atau yang lainya,
mungkin saya tidak akan pernah tahu bahwa kecerdasan dia sudah lebih dari apa
yang saya sangka karena pembahasan hari itu bukan tentang astronot atau roket.
Atau barangkali saya membutuhkan lebih dari satu kalimat perintah untuk
membuatnya mengembalikan helm ke tempat semula.
Reaksi
berbeda yang kita berikan ketika kita memandang bintang di kegelapan malam atau
setitik noda di selembar kain putih ternyata akan memberikan hasil yang berbeda
pula. Hidup ini indah, cobalah kita memandang sesuatu dari sisi yang lain, maka
yang tampak bukan hanya sekedar 2 dimensi. Bukankah lebih seru ketika kita
melihat film 3 dimensi???
0 Komentar