Karya Mahasiswa PBSI pada Gerakan Literasi Mahasiswa 2021-2022

 KAFEIN

Isni Juniyati

 

“Kalau hidup itu adalah warna, warna apa yang kamu miliki?”

“Putih”
“Kenapa?”
“Aku jarang melihatnya”

***

“Cita-citaku menjadi dosen, kamu?”

“Komedian”
“Belajar senyum dulu, baru bisa buat orang lain senyum.”

“Benar”

***

“Jika kehidupan selanjutnya benar-benar ada, kamu mau dilahirkan jadi apa?”

Mayfly”
“Lalat capung? Kenapa?”

“Mereka hanya hidup 24 jam”

***

Hai! Senang menyapamu.

Aku Hanin, Hanin Mecca.

Seseorang menyuruhku menulis ini. Sebenarnya aku terlalu malas. Tidak heran memang, Mama sendiri tahu aku adalah seorang anak yang pemalas. Aku sebenarnya mau berbaring lebih lama di kasur baruku. Tapi tugas menulis ini akan dikumpulkan besok. Jadilah aku menulis ini.

Sekedar informasi aku baru saja pindah ke kamar baru. Di sini lebih tenang dan cerah dibanding kamar lamaku. Jadi setidaknya aku sedikit lebih bersemangat melakukan kegiatan ini.

Jalan ceritaku cukup menarik, ku harap kalian tidak bosan.

***

Hidupku sebenarnya bisa dikatakan seru. Eh tidak juga. Anak SMA mana yang hidupnya hanya berotasi pada tiga hal?

Ayo tebak!

Tidak, kisah roman picisan tidak pernah mencicipi hidupku.

Tiga hal yang memiliki peran paling penting dalam hidupku adalah kopi, plester, dan obat tidur.

“Minum kopinya! Kalau kamu ngantuk belajarnya gak fokus”

“Plesternya sudah habis? Nanti luka dijarimu tambah parah, tidak ada waktu untuk istirahat menulis”

“Tentu saja kamu kesulitan tidur, memang itu fungsi dari kopi. Kamu minum obat tidur ini ya, besok jadwal les padat sekali, jadi jangan sampai mengantuk”

Mamaku adalah orang yang paling perhatian. Tapi sayangnya Mama itu miskin. Walaupun Mama memiliki rumah besar dan mobil mewah, tapi Mama tidak mampu membeli beberapa bungkus gula pasir. Itu terbukti dari kopi yang ia berikan kepadaku setiap malam. Cairan berisi kafein itu menempati urutan kedua hal yang paling pahit yang pernah aku rasa.

Yang pertama adalah aku. Aku adalah bagian terpahit dalam hidupku.

***

“Dasar anak tidak berguna! Percuma kamu belajar sampai jarimu luka sekalipun, kalau tidak lulus mau jadi apa kamu hah?!”

“Jangan-jangan kamu tidak pernah meminum kopi yang saya buat dan tidur seenaknya! Dasar pemalas!! Kamu kira kasur dan kamar itu punya siapa?! Apa pernah saya menyuruh kamu bekerja?”

Selain pemalas, aku itu anak yang cacat. Cacat emosi. Semarah dan sesenang apapun Mama, aku tidak tahu harus berekspresi bagaimana. Aku terus mempelajari bagaimana cara tersenyum ataupun menangis, tapi seperti orang gila, emosi itu tidak pernah berhasil aku keluarkan. Seperti sekarang. Aku ingin sekali menangis, memohon maaf. Aku pernah diam-diam mencuri 20 menit waktu belajarku untuk tidur. Apakah itu yang menjadi penyebab kegagalanku? Apakah 20 menit itu tidak sebanding dengan ratusan jam lainnya yang telah aku habiskan untuk memegang pena?

Tapi aku hanya bisa terpaku menatap lurus. Hal itu justru membuat Mama semakin emosi. Membanting barang kesana-sini, tapi aku tak merespon banyak. Bukan tidak mau, aku hanya tidak tahu dan tak mampu. Terlalu banyak mengajariku angka, agaknya mama lupa bahwa jiwaku pun butuh belajar juga.

 “Pergi kamu dari hadapan saya! Saya muak melihat wajah anak kurang ajar seperti kamu! Kamu suka tidurkan? Tidur selama yang kamu mau!”

Tidak ingin mengecewakan Mama lagi, aku tergesa pergi ke kamar yang jendelanya selalu tertutup itu. Aku tidak bohong ketika mengatakan bahwa aku jarang melihat warna putih. Maka aku langsung berbaring di atas kasur dan mencoba sekuat tenaga untuk tidur. Tapi nihil, usahaku untuk mematuhi ucapan Mama tidak kunjung berhasil.

Tapi kemudian hatiku bersorak kala mendapatkan akal agar bisa tertidur secepat mungkin.

Dengan tergesa aku membuka laci di samping tempat tidurku. Mengambil sebuah botol lalu dengan cepat membuka dan menuangkan isinya di tanganku. Itu adalah obat tidur pemberian Mama. Aku selalu mengonsumsinya jika tidak bisa tidur karena terlalu banyak meminum kopi pahit. Tanpa pikir panjang, aku meminum tiga butir obat sekaligus. Berharap semakin banyak obat yang aku konsumsi maka semakin cepat aku tertidur. Aku takut Mama marah. 

Maka ketika seseorang mengetuk pintu kamarku dan aku masih pula belum tertidur, aku panik setengah mati. Bagaimana jika umpatan-umpatan lainnya akan ku dengar dari Mama? Karena itu, dengan tangan gemetar aku kembali meraih botol kemasan obat, mengeluarkan isinya tanpa aku ketahui berapa banyak yang aku genggam dalam tangan. Aku menelannya satu persatu, mengabaikan tenggorokanku yang perih meminum banyak obat tanpa air.

Di seberang sana bisa ku dengar Mama yang berseru memanggilku untuk membuka pintu kamar. Aku memukul-mukul kepalaku keras, sesekali berkata lirih:

“Tidur… tidur…”

Dan setelah beberapa saat, ketika Mama berhasil masuk menggunakan kunci cadangan, yang aku rasakan hanyalah pening dan sakit yang tak sedikit. Tidak mengapa, asal aku bisa tidur. Tapi mengapa Mama sangat berisik? Mengapa Mama terus menyerukan namaku berulang kali? Aku kan hanya ingin tidur.

***

“Jadi, kamu suka kamar dan kasur barumu sekarang ini Hanin?”

Itu adalah respon dari orang yang menyuruhku menuliskan cerita ini ketika dia selesai membacanya.

Aku mengangguk menanggapi pertanyaannya.

“Di sini semuanya bewarna putih, aku suka”

Orang itu tersenyum, manis sekali.

“Jarang sekali ada orang yang suka dengan rumah sakit”

Aku tidak menanggapi banyak. Setidaknya tidak ada yang marah jika aku tertidur lama di sini.

“Jadi Hanin, apa kamu butuh sesuatu?”

Aku melirik orang itu, kemudian mataku beralih ke name tag di dada kirinya yang bertuliskan psikiater cantik, tampaknya itu dibuat secara manual.

Mengenai pertanyaannya tadi, aku mengangguk menanggapinya. Sedikit terkagum karena orang ini begitu baik, sebelumnya tidak ada yang pernah menanyakan pertanyaan itu selama 16 tahun aku hidup.

Maka ketika dia menanyakan apa yang aku butuhkan, aku dengan semangat menunjuk-nunjuk layar laptop tempatku menulis tadi. Orang baik itu lantas melihat dua gambar yang aku tampilkan di laptop tersebut. Gambar orang tertawa dan menangis.

Awalnya dia tidak mengerti maksudku, tapi ketika aku berkata:

“Aku ingin seperti ini, apakah bisa?”

Orang baik itu lantas tersenyum lebar kemudian mengangguk semangat.

“Bisa. Hanin mau senyum, mau nangis, mau marah, mau tertawa, tantu saja bisa”

Ah! Aku menyukai orang dengan nama psikiater cantik ini.


Profil Singkat


Isni Juniyati. Lahir pada tanggal 28 Juni 2004 di Selatpanjang, Kabupaten Kepulauan Meranti, Riau. Anak kedua dari dua bersaudara. SMAN 2 Selatpanjang. Sedang menempuh pendidikan di Universitas Riau, FKIP, Program Studi Pendidikan Bahas dan Sastra Indonesia. Cerpen berjudul “Kafein” ini merupakan karya cerpen pertama yang ditulis.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

MOSI DEBAT SMA BULAN BAHASA 2019

MOSI YANG DILOMBAKAN DALAM DEBAT PRATIKUM SASTRA KE 27

Mahasiswa 2018: Kesan dan Pesan PKKMB dan Sehari Bersama Maba