Karya Mahasiswa PBSI pada Gerakan Literasi Mahasiswa 2021-2022

 Kisah Kasih Rindu

Aisyah Afriliany

           

Delapan belas tahun yang lalu telah lahir seorang gadis yang periang dengan hati meradang, Xelysiena Mufiarefi anak ketiga dari tiga bersaudara, terlahir dari keluarga sederhana dengan narasi pilu yang cukup kompleks. Sejak balita, semesta sudah mengawali ujian dengan menjemput manusia paling berharga , terhitung sudah lima belas tahun berlalu. Betapa malangnya gadis kecil menjalani hidup tanpa hangatnya pelukan bidadari dunia.

Meski tlah lama berlalu, wajah nan cantik milik ibu masih terus terlukis di sanubariku. Segala narasi tentang kasihnya tak pernah luput dari benakku. Tuhan jadi saksi betapa rapuhnya aku saat merindu sosok wanita sempurna itu. Meski waktu kita begitu singkat, kasihnya kuyakini selalu melekat. Tak terasa, setiap menarasikannya air mata mengalir begitu saja. Malaikat kecilmu sudah tidak lagi kecil bu, tapi tetap cengeng seperti dulu.

Setelah kepergiannya, aku dirawat oleh Bibi Sina, kaka Ibu.  Bibi sangat menyayangiku selayaknya ibu kepada anak. Bahkan Bibi rela tidak menikah karena ingin fokus terhadapku, look how much her loves me. Semuanya berjalan baik, meski tanpa ibu aku tetap penuh kasih sayang. Bibi selalu berusaha memenuhi apapun keinginanku, membawaku berlibur, melengkapi segala kebutuhanku. Bersama Bibi adalah titik terbaik kebahagiaanku, namun itu tidak bertahan lama. Saat usiaku sepuluh tahun, Bibi terkena penyakit liver. Tubuhnya sudah membiru dipenuhi alat medis, kugenggam tangan rapuh itu, kuajak ia bershalawat.

“Cepat sembuh ya Bi. Xefi rindu, mau Bibi sehat lagi” Ucap gadis kecil

Keesokan hari ia sudah tidak kesakitan lagi, semua alat medis sudah terlepas dari tubuhnya namun berganti dengan kain putih yang menyelimuti ia yang kini dingin. Tuhan kembali menjemput malaikat itu, malaikat baikku.  Hujan turun bersamaan dengan isak tangis dan teriakan menolak kenyataan, didampingi abah kuamati wajah teduh yang tidak lagi berekspresi.

“Bibi udah sembuh kan Bi? Bahagia disana ya Bi, tunggu Xefi”

Kepergian demi kepergian yang mengajarkan aku untuk berjalan menyusuri waktu membentuk pribadi baik lagi hangat. Disinilah aku berdiri, gadis kecil itu tumbuh dewasa lewat tempahan keadaan.

 Aku tinggal bersama abah, ibu tiri dan kedua abangku. Awalnya semua berjalan lancar, namun perlahan berubah jadi kacau, kekerasan dan umpatan seakan makanan sehari-hari. Kedua abangku akhirnya memilih untuk tinggal bersama nenek, aku? Masih disini menguatkan diri demi melanjutkan pendidikan. Kadang aku tidak tau tempat mana yang tepat dijadikan sandaran, tapi yang kutahu pasti Tuhan selalu bersamaku.

Aku tumbuh menjadi pribadi yang hangat, kehangatan dari kedua bidadariku. Hangat yang telah lama hilang itu, akhirnya terbentuk sendiri dalam diri, yang tanpa sadar kusalurkan pada kerabat terdekat. Merangkul mereka, layaknya keluarga.

Sekarang aku belum jadi apa-apa yang dapat membanggakan, tapi tiga hingga lima tahun mendatang akan berdiri seorang perempuan didepan khalayak ramai, menarasikan siapa penyemangatnya hingga jadi seorang penulis, pendidik dan pengusaha muda. Siapa orang tersebut? Jawabannya sudah pasti bidadariku.

Bertahun-tahun aku lalui dengan hanya mengandalkan Penciptaku, hingga ucapan yang kukatakan lima tahun lalu itu, berjalan melebihi ekspetasi. Aku benar-benar berdiri dikakiku sendiri, dapat kulihat susunan buku dan novel best seller bertuliskan namaku, menjadi dosen di universitas terbaik, dan cafe milikku sendiri. Semua ini tentu saja bagian dari restu dan doa bidadariku, dari surga yang menjadi berkah untukku. Ibu dan Bibi sepertinya sedang tersenyum bangga diatas sana. Tuhan, terima kasih telah menjagaku, terima kasih telah menyampaikan segala salamku pada mereka.

Upayaku membangun kesuksesan membuatku sedikit lupa untuk menyadari orang-orang yang hadir. Bukan sengaja, hanya takut patah karena manusia. Pengalaman dimasa remaja membuatku sedikit meringis mengingatnya.

“Hei xefi! Bengong bae, mikirin apa sih?” ucap Raxia, sahabatku.

“Eh engga, gapapa”

“Itu cowo diujung sana dari tadi diem-diem ngeliatin kamu”

“Hah? Ngaco”

“Yaelah, Zaenab mah kalo dibilangin suka ga percaya”

Kulirik sekilas siapa orang yang dikatakan Raxia, aku tersentak langsung mengalihkan pandanganku dan segera mengajak Raxia pulang.

“Rax, pulang sekarang”

“Lho kok buru-buru?”

Diperjalanan pulang Raxia terus saja menanyakan hal yang sama.

“Yang kamu bilang tadi itu mas Reffy”

“Reffyan dhenisaqi” sambungku membathin.

“Hah? Reffy ? Siapa Reffy?” Ucap Raxia bingung

“Itu yang dulu pernah aku ceritain”

“Oh, HAH BENERAN, YANG BENER AJA?!”

Aku memilih diam dan fokus mengendarai dengan Raxia yang tentu saja masih sibuk berceloteh tidak mempercayai apa yang kuucapkan.

Reffyan Dhenisaqi, lelaki yang akrab disapa Reffy itu ternyata masih dikota ini, kota pertemuan kami, yakni Jogja. Kota istimewa seperti istimewanya si pemilik mata teduh dengan raut dingin itu. Ya, mungkin selain upaya meraih kesuksesan, dia juga alasan mengapa aku masih betah sendirian. Lelaki yang tidak banyak bicara namun tindakannya mampu buat aku terpesona, bagaimana ia menjaga sunnah serta memuliakan wanita, ibunya. Masih kuingat dengan jelas dibeberapa seminarnya, ia selalu memuji dan tersenyum manis ketika menyebutkan ibunya. How can i not fall in love?

Tidak pernah ada apapun diantara kami, hanya sebatas senior dan junior. Sejak dulu aku selalu memperhatikannya dari jauh, mengaguminya dalam diam dan tak lupa menyelipkan namanya dalam doa. Namun sejak ia wisuda, tidak lagi kulakukan. Karena pada saat itu ada seorang perempuan cantik lagi teduh memeluknya penuh haru. Siapa wanita itu?


Profil Singkat


Aisyah Afriliany, biasa disapa Ica. Lahir di Rengat pada 27 April 2003. Penyuka kucing, tetapi tidak diperbolehkan memeliharanya, so sad bukan?. Kuliah di Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia angkatan 2021.



Posting Komentar

0 Komentar