Kisah Kasih Rindu
Aisyah Afriliany
Delapan belas tahun yang lalu telah lahir seorang gadis
yang periang dengan hati meradang, Xelysiena Mufiarefi anak ketiga dari tiga
bersaudara, terlahir dari keluarga sederhana dengan narasi pilu yang cukup
kompleks. Sejak balita, semesta sudah mengawali ujian dengan menjemput manusia
paling berharga , terhitung sudah lima belas tahun berlalu. Betapa malangnya
gadis kecil menjalani hidup tanpa hangatnya pelukan bidadari dunia.
Meski tlah lama berlalu, wajah nan cantik milik ibu masih
terus terlukis di sanubariku. Segala narasi tentang kasihnya tak pernah luput
dari benakku. Tuhan jadi saksi betapa rapuhnya aku saat merindu sosok wanita
sempurna itu. Meski waktu kita begitu singkat, kasihnya kuyakini selalu
melekat. Tak terasa, setiap menarasikannya air mata mengalir begitu saja.
Malaikat kecilmu sudah tidak lagi kecil bu, tapi tetap cengeng seperti dulu.
Setelah kepergiannya, aku dirawat oleh Bibi Sina, kaka
Ibu. Bibi sangat menyayangiku selayaknya
ibu kepada anak. Bahkan Bibi rela tidak menikah karena ingin fokus terhadapku,
look how much her loves me. Semuanya berjalan baik, meski tanpa ibu aku tetap
penuh kasih sayang. Bibi selalu berusaha memenuhi apapun keinginanku, membawaku
berlibur, melengkapi segala kebutuhanku. Bersama Bibi adalah titik terbaik
kebahagiaanku, namun itu tidak bertahan lama. Saat usiaku sepuluh tahun, Bibi
terkena penyakit liver. Tubuhnya sudah membiru dipenuhi alat medis, kugenggam
tangan rapuh itu, kuajak ia bershalawat.
“Cepat sembuh ya Bi. Xefi rindu, mau Bibi sehat lagi”
Ucap gadis kecil
Keesokan hari ia sudah tidak kesakitan lagi, semua alat
medis sudah terlepas dari tubuhnya namun berganti dengan kain putih yang
menyelimuti ia yang kini dingin. Tuhan kembali menjemput malaikat itu, malaikat
baikku. Hujan turun bersamaan dengan
isak tangis dan teriakan menolak kenyataan, didampingi abah kuamati wajah teduh
yang tidak lagi berekspresi.
“Bibi udah sembuh kan Bi? Bahagia disana ya Bi, tunggu
Xefi”
Kepergian demi kepergian yang mengajarkan aku untuk
berjalan menyusuri waktu membentuk pribadi baik lagi hangat. Disinilah aku
berdiri, gadis kecil itu tumbuh dewasa lewat tempahan keadaan.
Aku tinggal
bersama abah, ibu tiri dan kedua abangku. Awalnya semua berjalan lancar, namun
perlahan berubah jadi kacau, kekerasan dan umpatan seakan makanan sehari-hari.
Kedua abangku akhirnya memilih untuk tinggal bersama nenek, aku? Masih disini
menguatkan diri demi melanjutkan pendidikan. Kadang aku tidak tau tempat mana
yang tepat dijadikan sandaran, tapi yang kutahu pasti Tuhan selalu bersamaku.
Aku tumbuh menjadi pribadi yang hangat, kehangatan dari
kedua bidadariku. Hangat yang telah lama hilang itu, akhirnya terbentuk sendiri
dalam diri, yang tanpa sadar kusalurkan pada kerabat terdekat. Merangkul
mereka, layaknya keluarga.
Sekarang aku belum jadi apa-apa yang dapat membanggakan,
tapi tiga hingga lima tahun mendatang akan berdiri seorang perempuan didepan
khalayak ramai, menarasikan siapa penyemangatnya hingga jadi seorang penulis, pendidik
dan pengusaha muda. Siapa orang tersebut? Jawabannya sudah pasti bidadariku.
Bertahun-tahun aku lalui dengan hanya mengandalkan
Penciptaku, hingga ucapan yang kukatakan lima tahun lalu itu, berjalan melebihi
ekspetasi. Aku benar-benar berdiri dikakiku sendiri, dapat kulihat susunan buku
dan novel best seller bertuliskan namaku, menjadi dosen di universitas terbaik,
dan cafe milikku sendiri. Semua ini tentu saja bagian dari restu dan doa
bidadariku, dari surga yang menjadi berkah untukku. Ibu dan Bibi sepertinya
sedang tersenyum bangga diatas sana. Tuhan, terima kasih telah menjagaku,
terima kasih telah menyampaikan segala salamku pada mereka.
Upayaku membangun kesuksesan membuatku sedikit lupa untuk
menyadari orang-orang yang hadir. Bukan sengaja, hanya takut patah karena
manusia. Pengalaman dimasa remaja membuatku sedikit meringis mengingatnya.
“Hei xefi! Bengong bae, mikirin apa sih?” ucap Raxia,
sahabatku.
“Eh engga, gapapa”
“Itu cowo diujung sana dari tadi diem-diem ngeliatin
kamu”
“Hah? Ngaco”
“Yaelah, Zaenab mah kalo dibilangin suka ga percaya”
Kulirik sekilas siapa orang yang dikatakan Raxia, aku
tersentak langsung mengalihkan pandanganku dan segera mengajak Raxia pulang.
“Rax, pulang sekarang”
“Lho kok buru-buru?”
Diperjalanan pulang Raxia terus saja menanyakan hal yang
sama.
“Yang kamu bilang tadi itu mas Reffy”
“Reffyan dhenisaqi” sambungku membathin.
“Hah? Reffy ? Siapa Reffy?” Ucap Raxia bingung
“Itu yang dulu pernah aku ceritain”
“Oh, HAH BENERAN, YANG BENER AJA?!”
Aku memilih diam dan fokus mengendarai dengan Raxia yang
tentu saja masih sibuk berceloteh tidak mempercayai apa yang kuucapkan.
Reffyan Dhenisaqi, lelaki yang akrab disapa Reffy itu
ternyata masih dikota ini, kota pertemuan kami, yakni Jogja. Kota istimewa
seperti istimewanya si pemilik mata teduh dengan raut dingin itu. Ya, mungkin
selain upaya meraih kesuksesan, dia juga alasan mengapa aku masih betah
sendirian. Lelaki yang tidak banyak bicara namun tindakannya mampu buat aku
terpesona, bagaimana ia menjaga sunnah serta memuliakan wanita, ibunya. Masih
kuingat dengan jelas dibeberapa seminarnya, ia selalu memuji dan tersenyum
manis ketika menyebutkan ibunya. How can i not fall in love?
Tidak pernah ada apapun diantara kami, hanya sebatas
senior dan junior. Sejak dulu aku selalu memperhatikannya dari jauh,
mengaguminya dalam diam dan tak lupa menyelipkan namanya dalam doa. Namun sejak
ia wisuda, tidak lagi kulakukan. Karena pada saat itu ada seorang perempuan
cantik lagi teduh memeluknya penuh haru. Siapa wanita itu?
0 Komentar