Naskah Cabang Lomba Mendongeng SD Praktikum Sastra ke-31
Putri Kaca
Mayang
Alkisah
ada sebuah kerajaan yang bernama Gasib. Kerajaan ini dipimpin oleh rajanya yang
bernama raja Gasib. Raja Gasib mempunyai seorang putri yang cantik jelita
bernama Putri Kaca Mayang serta seorang panglima yang tangguh bernama Panglima
Gimpam.Cantik putri tersohor sampai ke berbagai negri,tetapi tidak ada satu pun
yang berani melamarsang putri, karena Raja Gasib sangat disegani di kalangan
raja-raja. Kecantikan Putri Kaca Mayang, terdengar sampai ke telinga Raja Aceh.
Raja Aceh pun ingin meminang sang putri. Maka, dipanggillah dua orang
panglimanya untuk menyampaikan niatnya ke sang putri.
“Wahai
panglimaku,”kata Raja Aceh, “Pergilah kalian ke kerajaan Gasib, sampaikan niat
ku yang ingin mempersunting putri Kaca Mayang.”
“Baik,
Banginda Raja,titah Baginda hamba laksanakan. Maka, berangkatlah dua utusan ini
ke kerajaan Gasib. Akhirnya, sampailah mereka di kerajaan langsung menghadap
Raja Gasib.
“Maaf
baginda Raja Gasib yang bijaksana. Hamba utusan dari Kerajaan Aceh, ingin
menyampaikan niat raja kami yang ingin mempersunting putri tuanku Baginda,
Putri Kaca Mayang.”
“Wahai
Panglima Raja Aceh, sampaikan kepada Raja kalian, bahwa saya tidak bisa
menerima pinangan Raja kalian. Putri Kaca Mayang belum mau dipersunting siapa
pun. Sampaikan maaf saya kepada raja kalian,” sahut Raja Gasib dengan
wibawanya. Berangkatlah pulang dua utusan ini dan sampaikan semua yang
disampaikan Raja Gasib.Raja Aceh sangat marah dan merasa terhina atas penolakan
lamaran ini. Maka, Raja Aceh yang memiliki sifat yang sombong berniat akan
menculik sang putri dan memporak porandakan Kerajaan Gasib. Pasukan pun
dipersiapkan untuk menyerang kerajaan Gasib. Raja Gasib yang mengetahui
kelicikan dan perangai Raja Aceh juga mempersiapkan pasukannya. Raja Gasib tahu
akan ada penyerangan atas penolakan lamaran itu, dipanggillah panglima
kebanggaannya.
”Wahai,
Panglimaku Gimpam! Untuk menjaga kemungkinan serangan dari kerajaan Aceh, kamu
saya utuskan jaga di Kuala Gasib daerah Sungai Siak.“
Raja Aceh mengetahui bahwa di kerajaan tidak
dijaga panglima yang terkenal sakti itu.Raja Aceh pun mengatur strategi
jahatnya untuk menculik Putri Kaca Mayang. Didalam perjalanan menuju kerajaan
Gasib, Raja Aceh dan Pasukannya membunuh setiap warga yang ditemuinya di jalan
yang dilaluinya. Sungguh, perbuatannya teramat kejam. Akhirnya ,sampailan
mereka di istana.Raja Aceh pun berhasil menculik Putri Kaca Mayang. Melihat hal
ini, Raja Gasib tidak bisa berbuat apa-apa karena ini semua di luar dugaannya.
Berita ini pun kemudian sampai di telinga Panglima Gimpam. Bukan main marah dan
murkanya Panglima Gimpam. Panglima pun segera menuju kerajaan. Betapa sedih dan
dendamnya panglima Gimpam, negerinya dirusak oleh pasukan Raja Aceh. Panglima
Gimpam punberjanji akan membalas dendam dan akan membawa sang putri kembali ke
istana .Berangkatlah Panglima Gimpam. Kedatangannyamdisambut dengan Raja Aceh
rupanya denganmpenjagaan dua ekor gajah yang sangat besar. Raja Aceh tidak
mengetahui kehebatan panglima Gimpam yang bisa menundukkan hewan, hingga
panglima berhasil masuk ke kerajaan Aceh,“Wahai raja Aceh kembalikan sang Putri
kepada kami atau kerajaan ini akan porak- poranda!”
Raja
Aceh yang mengakui juga kehebatan panglima Gimpam, akhirnya menyerahkan sang
putri kepada panglima Gimpam yang dalam keadaan sakit akibat penculikan itu.
Pulanglah panglima Gimpam bersama putri dan pasukannya. Dalam perjalanan,
rupanya angin laut sangat kencang membuat Putri Kaca Mayang tidak bisa bisa
bernafas. Dari waktu ke waktu, sakitnya semakin parah. Putri pun berucap kepada
panglima Gimpam sesampai mereka di sungai Kantan.Dengan suara lemahnya putri
berkata, “Panglima aku sudah tidak kuat lagi menahan sakit ini sampai menuju
istana. Sampaikan maafku pada ayahanda Gasib dan semua keluarga istana,”ucap
sang putri dengan suara yang semakin parau. Belum sempat panglima Gimpam
berucap sang putri memejamkan matanya. Putri Kaca Mayang nafas terakhirnya
diperairan Sungai Kuantan. Sejak kehilangan putri tercintanya raja Gasib
merasakan kesedihan yang dalam. Akhirnya raja Gasib memutuskan meninggalkan
kerajaan, menyepi di gunung Ledeng, Malaka.
“Wahai
panglimaku, aku memutuskan akan meninggalkan kerajaan ini untuk mengapus
bayangan-bayang terhadap putriku tercinta. Maka aku akan menyepi ke Gunung Ledeng. Jagalah kerajaan ini dengan
baik!” jadi titah terakhir Raja kepada Panglima Gimpam. Panglima Gimpam sangat
bersedih karena Raja Gasib akan meninggalkan kerajaan. Baginda raja, kalau itu
keputusan Baginda, hamba akan melaksanakan amanah yang Baginda berikan dan akan
hamba jaga dengan baik kerajaan ini,” kata Gimpam.
Sementara kerajaan dititipkan kepada panglima kepercayaannya, pergilah raja Gasib menuju penyepiannya. Beberapa lama ditinggalkan raja Gasib yang tak kunjung kembali dan kerajaan juga aman maka Panglima Gimpam pun mengambil keputusan akan meninggalkan kerajaan juga.Meskipun kerajaan itu sudah dititpkan padanya, tetapi Panglima tidak mau mengambil kesempatan menguasai kerajaan. Panglima Gimpam tidak mau bahagia atas penderitaan orang lain.Panglima Gimpam membuka lahan baru, di sebuah perkampungan baru, yang dinamainya Pekanbaru.
Si
Lancang
Pada
zaman dahulu, di daerah Kampar, hiduplah Si Lancang dengan ibunya. Mereka
sehari-hari hidup prihatin mengandalkan penghasilan yang minim sebagai buruh
tani. Keadaan ini membuat Si Lancang berpikir untuk memperbaiki nasib dengan
pergi merantau.
Pada
suatu hari, Si Lancang berangkat ke negeri orang. Diceritakan, Si Lancang
bekerja keras bertahun-tahun lamanya. Segala perjuangannya tidak sia-sia, ia
berhasil menggapai cita-citanya menjadi orang kaya. Ia menjadi saudagar yang
memiliki berpuluh-puluh kapal dagang. Akan tetapi, ia lupa pada ibunya dan
segala janji manisnya dahulu.
Pada
suatu hari, Si Lancang singgah di Kampar. Berita kedatangan Si Lancang
terdengar oleh ibunya. Ia mengira bahwa Si Lancang pulang untuk dirinya. Dengan
memberanikan diri, ia naik ke geladak kapal mewah Si Lancang. Si ibu langsung
menghampiri Si Lancang dan ketujuh istrinya. Betapa terkejutnya Si Lancang
ketika menyaksikan bahwa perempuan berpakaian compang camping itu adalah
ibunya. Akan tetapi, harapan ibu Si Lancang hanya tinggal harapan. Rasa malu
dan marah pun tak dapat ia tahan. Ibunya segera menghampirinya.
“Engkau
Lancang, Anakku! Oh… betapa rindunya hati emak padamu.” Mendengar sapaan itu,
si Lancang begitu tega menepis pengakuan ibunya sambil berteriak. “Mana mungkin
aku mempunyai ibu perempuan miskin seperti kamu. Kelasi! usir perempuan gila
ini!”
Dengan
perasaan hancur, ibunya pergi meninggalkan semua angan-angan tentang anaknya.
Luka hati seperti disayat sembilu. Setibanya di rumah, hilang sudah akal
sehatnya dan kasih sayangnya karena perlakuan buruk yang diterimanya. Ia
mengambil pusaka yang dimilikinya berupa lesung penumbuk padi dan sebuah nyiru.
Diputarnya lesung itu dan dikibas-kibaskan nyiru itu sambil berkata, “Ya
Tuhanku… hukumlah si anak durhaka itu.”
Tidak perlu waktu lama, Tuhan mengabulkan permintaan ibu tua renta itu. Dalam sekejap, turunlah badai topan. Badai tersebut meluluh lantakkan kapal-kapal dagang milik Si Lancang dan harta benda miliknya. Menurut cerita rakyat setempat, kain sutranya melayang-layang dan jatuh menjadi negeri Lipat Kain yang terletak di Kampar Kiri. Gongnya terlempar ke Kampar Kanan dan menjadi Sungai Ogong. Tembikarnya melayang menjadi Pasubilah, sedangkan tiang bendera kapal si Lancang terlempar hingga sampai di sebuah danau yang diberi nama Danau Si Lancang.
Putri
tujuh
Dahulu
kala, Kota Dumai merupakan merupakan daerah yang dikuasi kerajaan
bernama Seri Bunga Tanjung yang dipimpin oleh seorang ratu bernama Cik Sima.
Cik Sima memiliki tujuh putri yang sangat cantik dan anggun.Namun, di antara
ketujuh putrinya, putri bungsunya yaitu Putri Mayang Sari menjadi putri yang
paling cantik dibanding saudaranya yang lain. Bahkan, dia banyak disorot oleh
masyarakat.
Suatu
hari, ketujuh putrinya memutuskan untuk mandi di sungai bernama Lubuk Sarong
Umai. Mereka sangat menikmati mandi di sungai sehingga tidak menyadari bahwa
ada seorang pangeran yang sedang memperhatikan mereka mandi. Dia adalah
Pangeran Empang Kuala dari kerajaan seberang.
Menurut
legenda, pangeran itu tidak sengaja lewat dan melihat ketujuh putri itu sedang
mandi. Pangeran Empang pun terkagum-kagum melihat ketujuh putri itu karena
kecantikan yang mereka miliki.Namun mata Pangeran Empang tertuju kepada Putri
Mayang Sari.
"Cantik
sekali gadis itu, gadis cantik di Lubuk Sarong Umai, Dumai….Dumai," begitu
kata pangeran.
Setelah
melihat putri tersebut, Pangeran Empang kembali ke kerajaan dan memutuskan
untuk mengirim utusannya ke kerajaan Cik Sima untuk meminang Putri Mayang Sari.
Namun, Cik Sima menolak pinangan Pangeran Empang.Pangeran Empang tidak mau dan
bersikeras untuk meminang Putri Mayang Sari. Lagi dan lagi Cik Sima menolak
pinangan Pangeran Empang. Karena pinangannya ditolak, Pangeran Empang marah dan
murka kepada Cik Sima dan memutuskan untuk mengirim pasukan untuk menyerang
kerajaan Seri Bunga Tanjung.
Akibat
dari serangan Pangeran Empang, terjadilah peperangan antara kerajaan Cik Sima
dan juga kerajaan Pangeran Empang. Akhirnya Cik Sima mengungsikan ketujuh
putrinya ke dalam hutan yang disembunyikan di sebuah lubang yang ditutupi atap
yang terbuat dari tanah dan dihalangi oleh pepohonan. Tidak lupa Cik Sima
membekali ketujuh putrinya makanan selama tiga bulan.
Peperangan
yang terjadi antara kerajaan Cik Sima dan juga kerajaan Pangeran Empang
berlangsung cukup lama. Di tengah peperangan, pasukan dari Cik Sima sudah mulai
terdesak, banyak korban berjatuhan, situasi kerajaan yang porak poranda,
sehinga Cik Sima meminta bantuan jin yang sedang bertapa di bukit Hulu Sungai
Umai, dan jin tersebut menyetujuinya. Ketika Pangeran Empang dan pasukannya
sedang berisitirahat di malam hari dekat Hilir Sungai Umai. Tiba-tiba ribuan
buah bakau berjatuhan menimpa Pangeran Empang dan pasukannya. Dalam waktu
hitungan detik saja, pasukan dari Pangeran Empang dapat dilumpuhkan dan
Pangeran Empang pun terluka.
Dalam
kondisi pasukan Pangeran Empang yang lemah, datang lah utusan dari Cik Sima
kepada Pangeran Empang yang memberikan amanat dari Cik Sima agar Pangeran
Empang menghentikan peperangan ini, karena peperangan ini tidak akan
menguntungkan kedua belah pihak. Akhirnya setelah berfikir, Pangeran Empang
tersadar bahwa peperangan yang sudah terjadi lebih dari tiga bulan tidak
menghasilkan apa-apa yang pada akhirnya Pangeran Empang memutuskan untuk
mengakhiri peperangan ini.
Ketika peperangan sudah berakhir, Cik Sima kembali ke tempat persembunyian ketujuh putrinya. Betapa kagetnya Cik Sima melihat kondisi ketujuh putrinya yang sudah tidak bernyawa lagi akibat mati kelaparan. Dari situ Cik Sima menyesali perbuatannya yang mengakibatkan Cik Sima hilang harapan hidup dan jatuh sakit yang pada akhirnya Cik Sima meninggal dunia.
Penghulu
Tiga Lorong
Pada
zaman dahulu, ketika ibukota Kerajaan Indragiri berada di Pekan Tua,
tersebutlah tiga orang bersaudara bernama Tiala, Sabila Jati, dan Jo Mahkota.
Ketiganya pandai, gagah perkasa dan mahir menggunakan senjata. Mereka hidup
rukun dan saling membantu di suatu tempat bernama Batu Jangko.
Pada
suatu hari, mereka pergi untuk mencari tempat yang lebih baik, yang tanahnya
subur, airnya jernih, ikannya jinak dan udaranya segar. Dari satu tempat ke
tempat lain, tiga bersaudara ini akhirnya tiba di Koto Siambul dan memutuskan
untuk menetap di sana.
Sementara
itu di istana, Raja Indragiri sangat resah karena Datuk Dobalang yang berkuasa
di Negeri Sibuai Tinggi berlaku semena-mena. Dia berjudi, menyabung ayam,
bermabuk-mabukan, dan memperlakukan rakyatnya dengan kejam. Raja Indragiri
kemudian memanggil Duli Yang Dipertuan Besar Indragiri untuk menaklukan Datuk
Dobalang.
Duli
Yang Dipertuan Besar Indragiri sudah mendengar kehebatan Tiala, Sabila Jati dan
Jo Mahkota. Maka Duli Yang Dipertuan bermaksud meminta bantuan ketiganya untuk
mengalahkan Datuk Dobalang. Dimintanya ke tiga kakak adik tersebut menghadap
Raja di Pekan Tua. Ketiga bersaudara pun menghadap Raja Indragiri. Mereka
menyanggupi akan mengalahkan Datuk Dobalang. Sebagai bekal masing-masing
mengajukan perlengkapan. Tialang meminta seekor ayam sabung betina dan dua buah
keris bersarung emas buatan Majapahit.
Sabila
Jati meminta pedang Jawi yang hulunya bertatahkan intan dengan tulisan
"Muhammad". Sementara, Jo Mahkota meminta lembing dengan sarung emas
dan suasa. Setelah semua perlengkapan terpenuhi, berangkatlah tiga bersaudara
tersebut ke Sibuai Tinggi dengan sebuah perahu yang dikayuh oleh 12 orang.
Setiba di Sibuai Tinggi mereka langsung ditemui oleh Datuk Dobalang dan ditantang
untuk bersabung ayam.
Dalam
persabungan itu, Datuk Dobalang mengajukan empat pantang larang. Pertama,
dilarang bersorak dan bertepuk tangan. Kedua, dilarang memekik dan menghentak
tanah. Ketiga, dilarang menyingsingkan lengan baju. Keempat, dilarang memutar
keris ke depan. "Siapa yang melanggar peraturan dianggap
kalah." Kata Datuk Dobalang dengan pongah. Datuk Dobalang mempertaruhkan
tanah Inuman di kiri Sungai Indragiri, yang lebar dan panjangnya sejauh mata
memandang dari gelanggang Sibuai tinggi.
Tiga
Bersaudara mempertaruhkan tanah Koto Siambul di kiri Sungai Indragiri, lebar
dan panjangnya sehabis mata memandang dari gelanggang Sibuai Tinggi. Inilah
kecerdikan tiga bersaudara, sebab Koto Siambul tidak dapat dilihat dari Sibuai
Tinggi. Sesungguhnya mereka tidak mempertaruhkan apa-apa. Namun, Datuk Dobalang
tak menyadarinya. Sabung ayam dilaksanakan pada hari ketiga. Semua penduduk
berkumpul di gelanggang Sibuai Tinggi untuk menyaksikannya. Ayam milik Datuk
Dobalang dan Tiga Bersaudara yang berlaga dengan seru. Dalam persabungan itu,
ayam Tiga bersaudara terkena kelepau hingga sayapnya patah.
Datuk
Dobalang sangat gembira hingga bersorak, bahkan memekik dan menghentak tanah.
Semua aturan yang dibuatnya, dilanggarnya sendiri. Tiga Bersaudara mengingatkan
bahwa Datuk Dobalang telah melanggar peraturan sehingga kalah. Namun, Datuk Dobalang tidak perduli. Bahkan
menjadi berang dan menyerang Tiga Bersaudara. Tiga Bersaudara dengan mudah
mengelak dan balas menyerang. Senjata-senjata sakti dari Raja Indragiri
dikeluarkan. Datuk Dobalang pun tewas tersungkur. Jasad Datuk Dobalang selanjutnya dimasukkan ke dalam peti dan
dibawa ke hadapan Raja Indragiri. Sang Raja sangat gembira melihat keberhasilan
Tiga Bersaudara yang telah mengalahkan Datuk Dobalang. Dia meminta Tiga
Bersaudara menyebutkan hadiah yang diinginkan.
"Kami
meminta sesuatu yang tidak lekang oleh panas dan tidak lapuk karena hujan
seumur hidup. Bukan uang, emas atau lainnya." Kata Tiala mewakili
saudara-saudaranya. Selama delapan hari Raja dan para menteri serta orang-orang
tua bijak mengadakan rapat dan berpikir keras mencari apa yang dimaksud oleh
tiga kakak beradik tersebut. Atas petunjuk Tuhan, mereka menyimpulkan bahwa
yang diinginkan mereka ialah pangkat. Ketiga kakak beradik tersebut selanjutnya
diangkat menjadi Penghulu Tiga Lorong. Tiala diangkat menjadi Lelo Diraja
Penghulu Baturijal Hilir lawan Sungai Indragiri dengan berdera berwarna putih. Sabila
Jati diangkat menjadi Dana Lelo Penghulu Pematang lawan Batanghari dengan
bendera berwarna hitam. Adapun Jo Mahkota diangkat menjadi Penghulu Baturijal
Hulu dengan anugrah dua bendera yaitu bendera merah dari Raja Indragiri dan
bendera hitam dari Raja Kuantan.
Atas
anungrah pangkat yang mereka terima, Penghulu Tiga Lorong bersumpah:
"Tiada
boleh akal buruk, budi merangkak. Menggunting dalam lipatan. Memakan darah di
dalam. Makan sumpah 1000 siang 1000 malam. Ke atas dak bapucuk. Ke bawah dak
baurat. Dikutuk kitab Al-Qur'an 30 juz"
Tiga Bersaudara selanjutnya menerima hadiah tanah Tiga Lorong yang tanahnya subur, udaranya sejuk, airnya jernih, rumputnya segar, serta ikannya jinak. Mereka membangun wilayah Tiga Lorong sehingga hasil pertaniannya berlimpah, jalan-jalan dan bangunannya tertata rapi, perniagaannya maju, serta keseniannya berkembang pesat. Rakyat yang terdiri dari berbagai suku hidup rukun, saling menghargai, serta menjalankan syariat agama dengan taat.
Putri Hijau di Pekaitan
Pada
zaman kerajaan Rokan dipimpin Yang Dipertuan Sungai Daun Pekaitan, tersebutlah
suatu kisah seorang putri yang sangat cantik jelita. Ia bernama Putri Hijau.
Banyak raja yang menginginkan Putri Hijau agar menjadi permaisurinya, termasuk
raja dari Portugis dan juga raja dari kerajaan-kerajaan tetangga. Putri Hijau
berasal dari Gunung Ledang di daratan Melaka. Putri Hijau selain terkenal
dengan kecantikannya juga sangat sakti. Ia bisa berkelana dari satu kerajaan ke
kerajaan lain. Beberapa kerajaan yang dilaluinya adalah Melaka, Bintan, dan
bahkan Negeri Tiongkok pun sudah dilewatinya. Putri Hijau diramalkan akan
berjodoh dengan seorang lelaki yang juga termasyhur di seluruh dunia. Lelaki
itu mempunyai ciri khas yaitu ada parutan sejenis bekas luka di keningnya. Ia
pun berkelana mencari jodoh. Putri Hijau sudah merantau sekian jauh, sampai di
Negeri Cina dan Keling, namun yang dicarinya tidak juga bertemu.
Pada
suatu hari Putri Hijau datang ke Pekaitan. Ia menyamar menjadi seorang nenek
tua di Pekaitan. Ia kemudian menumpang di rumah salah seorang petinggi
kerajaan, Datuk Penjarang namanya. Ia merupakan kepala hulubalang di Kerajaan
Rokan. Ketika menginap di rumah Datuk Penjarang, ia melihat bahwa di kepala
Datuk Penjarang memiliki parutan. “Yang dicari sudah bertemu,” gumam Puteri
Hijau. Namun demikian, tentang rupanya ada yang kurang sedikit. “Tak mengapa,”
pikirnya lagi. Datuk Penjarang adalah seorang termasyhur. Ia sebagai kepala
perang, yakni hulu balang kerajaan yang gagah berani. Mungkin oleh karena Datuk
Penjarang ini seorang Hulu balang, budi pekertinya agak kasar. Inilah sebabnya
Putri Hijau agak enggan mengatakan isi hatinya atau menunjukkan rupa aslinya
kepada Datuk Penjarang. Tentang perlindungan terhadap dirinya sudah tidak
diragukan lagi, karena Datuk Penjarang seorang Panglima yang gagah berani dan
disegani semua pihak, baik kawan maupun lawan. Putri Hijau ini selalu diintai
anak raja-raja dan orang besar kerajaan untuk diambil sebagai istri. Justru
itulah ia selalu menyamar sebagai orang tua. Sewaktu ia berada di Deli Tua ia
dirampas Sultan Iskandar Muda. Lama tinggal di rumah Datuk Penjarang, datuk pun
melihat tanda-tanda kalau yang menumpang di rumahnya itu bukanlah sembarang
orang. Pernah pula suatu malam Datuk Penjarang melihat cahaya hijau di rumahnya
ketika ia baru pulang dari istana. Ia tahu bahwa yang bercahaya hijau ialah
jelmaan Putri Hijau yang banyak diceritakan orang yang tinggal di Gunung
Ledang. Oleh karena Putri Hijau pun belum
memberitahu kedatangannya, maka ia menunggu kesempatan dan saat yang
baik untuk melakukan tindakan. Bila saatnya tiba, Putri Hijau akan dilarikannya
ke Siarangarang. Arkian begitu lamanya, hari berganti hari, masa berubah musim
beralih, tahun berganti tahun, maka Datuk Penjarang melaksanakan keinginannya.
Pada suatu malam ia bersiap-siap sambil menyiapkan peralatan sampannya yang
bernama Landak Menari. Dihiasinya sampan itu secukupnya, dengan berbagai
perbekalan, serta alat kebesaran sebagai tempat seorang Putri dengan kurungan
berkelambu kuning. Setelah selesai, ia masuk ke dalam dengan tidak memberitahu
Yang Dipertuan Besar. Putri Hijau dipaksanya masuk sampan Landak Menari dan
dikurungnya.
Setelah
Putri Hijau berada dalam kurungan sampan Landak Menari, maka Datuk Penjarang
mengambil galahnya yang terbuat dari anak kayu meranti bujang. Galah pun
ditekan sekuat tenaga dan sampan pun meluncur selaju-lajunya maka tinggallah
Pelabuhan Pekaitan. Sampan menuju ke hulu Sungai Rokan. Suatu saat ketika
selama dalam perjalanan, ia sudah berbicara langsung dengan Putri Hijau
membujuk dan merayu agar mau kawin dengannya. Tetapi Putri Hijau belum mau
mengakui dan membuka rahasianya. Ia masih bertahan pada pendiriannya mencari
seorang lelaki jodohnya yang bercirikan parutan. Sekalipun ia tahu bahwa Datuk
Penjaranglah orang yang dicarinya itu.
Setelah
beberapa lamanya di jalan, maka sampailah pada satu tempat di pinggir Sungai
Rokan. Maka perahu Landak Menari pun ditambatkannya di pinggir sungai. Setelah
berhenti, maka Datuk Penjarang datang mendekati Putri Hijau sambil merayunya
dengan lemah lembut, agar mau kawin dengannya. Pada waktu itulah Putri Hijau
hatinya datang ragu-ragu. Setengah hatinya mau setengah lagi tidak. Maka oleh
Datuk Penjarang tempat ini dinamakannya Sangko Duo, artinya Putri Hijau berbagi
dua pikirannya, separuh hatinya mau kawin dengan Datuk Penjarang separuh tidak,
sampai sekarang tempat itu bernama kampung Sangko Duo.Setelah itu, perjalanan
diteruskan dan beberapa lamanya di perjalanan maka pada satu tempat perahu
Landak Menari diketepikan dan terhenti pada tempat itu. Sekali lagi ia membujuk
Putri Hijau dengan lemah lembut dan memuji-muji kecantikan Putri Hijau.“Aku
akan buatkan sebuah Mahligai yang indah untukmu, dinda,” ujar Datuk Penjarang.
Tuan Puteri diam saja. Tempat ini sekarang dinamai Kampung Pemujukan.
Kemudian perahu pun digalahnya lagi untuk terus ke Siarang-arang. Beberapa lama kemudian, sampan Landak Menari pun sampailah di Siarangarang. Putri Hijau dan Datuk Penjarang naik ke darat. Sampai di Siarang-arang dibuatkan oleh Datuk Panjarang sebuah Mahligai beratapkan ijuk, dan beberapa alat-alat kebesaran kerajaan. Sewaktu Putri Hijau naik ke istana maka capeng Putri Hijau sebelah kirinya yang terbuat dari perak tersangkut di pintu, jatuh ke tanah, dan hilang. Konon kabar capeng Putri yang bersinar seperti cahaya kemilau yang amat indah itu berasal dari capil Putri Hijau yang masih tersimpan di dalam gua itu. Nama Sangko Duo, Pembujukan, padang pendapatan , dan Siarang-arang masih abadi sampai sekarang. Padang pendapatan merupakan sebuah desa yang terletak di sebelah hulu Pembujukan dan di sebelah hilir Desa Danau Raya. Danau Raya sendiri terletak di sebelah hilir Kota Siarang-arang. Siarang-arang masuk wilayah Kecamatan Tanah putih, Kabupaten Rokan Hilir, Riau.
Batang
Tuaka
Pada
masa dahulu, di tanah Indragiri hiduplah seorang wanita bersama dengan anaknya
seorang laki-laki bernama Tuaka. Mereka berdua hidup di sebuah gubuk tua yang
berada di daerah muara sungai. Ayah Tuaka telah lama meninggal, dan kedua anak
dan ibu tersebut saling menyayangi. Tuaka selalu membantu ibunya untuk
menghidupi keluarga. Mereka kerap pergi ke hutan untuk mencari kayu bakar dan
kemudian dijual di kota.
Pada
suatu ketika, saat pulang dari hutan untuk mencari kayu bakar, Tuaka dan ibunya
melihat dua ekor ular yang besar sedang berkelahi. Mereka pun cepat berlindung
untuk bersembunyi. Setelah diamati, rupanya perkelahian antara dua ekor ular
tersebut sedang memperebutkan sebutir permata. Akhirnya, salah seekor dari ular
tersebut mati terbunuh. Sementara seorang yang masih hidup tubuhnya penuh
dengan luka-luka. Tuaka dan ibunya kemudian membawa ular yang masih hidup
tersebut dan merawat lukanya untuk disembuhkan.
Beberapa
hari kemudian, ular tersebut pun sembuh dan menghilang begitu saja dari rumah
Tuaka. Ia meninggalkan sebutir permata di dalam keranjang. Tuaka dan ibunya
terheran-heran menyaksikan keindahan dari permata yang ditinggalkan tersebut.
“Mengapa
ular itu meninggalkan permatanya ya, Mak?” tanya Tuaka kepada ibunya.
“Mungkin
ia ingin mengucapkan terimakasih kepada kita. Sebaiknya uang itu kita jual saja
dan hasilnya kita gunakan untuk mengembangkan perdagangan.” Sahut Ibu Tuaka
penuh rasa syukur. Akhirnya Tuaka pun menjual permata tersebut. Ia menjual permata
itu kepada seorang saudagar dengah harga yang sangat tinggi. Sampai-sampai uang
saudagar tersebut tidak cukup untuk membayarnya secara lunas. Akhirnya, Tuaka
pun diajak ke Temasik untuk menjemput semua uang dari hasil penjualan permata
tersebut. Setelah berpamitan dengan ibunya, Tuaka pun ikut saudagar tersebut ke
daerah Temasik (Singapura).
Setibanya
di Temasik, saudagar tersebut pun membayarkan uang penjualan permata tersebut
kepada Tuaka. Uang yang diperoleh sangat banyak dan berlimpah, sampai-sampai
Tuaka lupa untuk kembali pulang ke kampung menemui ibunya. Ia pun berdagang di
Temasik sampai kemudian ia berhasil mengembangkan usahanya dan menjadi seorang
pengusaha kaya raya. Rumahnya sangat megah, ia memiliki banyak kapal dan banyak
pula istrinya. Ia sudah melupakan ibunya yang miskin dan tinggal di kampung
halaman.
Pada
suatu ketika, Tuaka mengajak istrinya berlayar menggunakan kapal yang megah ke
suatu tempat. Sampai kemudian ia tiba dikampung halamannya. Akan tetapi, Tuaka
tidak menceritakan kepada istrinya mengenai kondisinya yang sebenarnya di
kampung halaman. Ia malu dengan keadaan ibunya yang sudah tua dan miskin. Kabar
kedatangan Tuaka ke kampung halamannya tersebut pun terdengar oleh sang ibu.
Ibunya bergegas ingin menemui Tuaka. Ia mengayuh sampan dan mendekati kapal
besar milik Tuaka.
“Tuaka
anakku. Emak merindukanmu, nak,” teriak emak dari sampan.
“Siapa
gerangan wanita tua itu,” tanya istri Tuaka. Tuaka yang malu mengetahui emaknya
yang tua dan miskin datang ke kapal megahnya, pura-pura tidak mengenalinya.
“Hei
penjaga, jauhkan wanita tua miskin itu dari kapalku. Dasar orang gila tak tahu
diri! Beraninya dia mengaku sebagai emakku,” teriak Tuaka.
Emak Tuaka pun pergi menjauh dengan sedih. “Oh Tuhan... ampunilah dosa Tuaka karena telah durhaka kepadaku. Berilah dia peringatan agar menyadari kesalahannya,” ratap Emak Tuaka. Rupanya Tuhan mendengar ratapan emak Tuaka. Tiba-tiba Tuaka berubah menjadi seekor elang dan istrinya menjadi seekor burung punai. Emak Tuaka terkejut dan juga sedih melihat anaknya berubah menjadi burung elang, karena emak pun masih menyayangi anaknya tersebut. Burung elang dan burung punai itu pun terus berputar-putar sambil menangis di atas emak Tuaka. Air mata kedua burung itu terus menetes dan membentuk sungai kecil yang semakin lama semakin besar. Sungai itu kemudian diberi nama Sungai Tuaka (Batang Tuaka).
Burung
Punai
Di
daerah pelalawan, di suatu tempat hiduplah sepasang suami istri yang hidupnya
aman dan damai walaupun kehidupan mereka sangatlah sederhana. Mereka memiliki
anak laki-laki yang sangat mereka sayangi. Orang melayu mengataka intan payung,
buntat sayang. Ucapan sayang untuk yang paling disayangi. Anaknya bernama
bujang. Di kehidupan sehari-harinya sepasang suami istri ini bekerja di
ladangnya sendiri. Mereka sangaty sayang kepada bujang. Dengan hasil kerja
keras di ladang mereka menafkahkan hasil kerjanya untuk anaknya seorang. Mereka
mendidik bujang dengan mengajarkan akhlak, bertinngkah laku yang sopan, serta
mereka ngatarkan bujang untuk belajar mengaji.
Setiap
sorenya, antara ibu dan ayah bujang yang mengantari bujang untuk mengaji. Di
daerah pelalawan tersebut sering terjadi bajir. Disuatu ketika, terjadinya
bajir di daerah pelalawan tersebut. Walaupun banjir dan hujan lebat ayah bujang
pun tetap mengantari bujang untuk belajar mengaji di rumah pak hafiz. Setelah
beberapa harinya hujan terus. Tibalah waktu panas. Di pelalawan memiliki
kebudayaan bermain gasing. Apabila panas, tanah kering maka di pelalawan ada
permainan gasing.
Sehingga
yang awalnya bujang tidak pandai memainkan gasing. Dengan melihat
teman-temannya yang asik bermain. la pun, tertarik untuk memainkan gasing
bersama-sama temannya. Lama kelamaan bujang pun pandai memainkan gasing.
Keesokkan harinya, seharusnya bujang pergi belajar mengaji tetapi, ia lupa
karena keasyikan bermain gasing. Keesokan harinya lagi ia pun pergi bermain.
Makin hari, makin waktu ia berubah menjadi anak yang nakal yaitu anak yang
tidak lagi ingat waktu untuk pulang rumah serta lupa untuk makan. Yang ada dalam
pikirannya hanyalah untuk bermain, dan terus bermain. Dimana di dalam
ingatannya hanya ingat bermain gasing. Pada malam hari ibu dan ayah bujang
menaschati bujang agar jangan terlalu nakal. Dan harus ingat waktu, mana yang
waktu bermain, mana waktu makan, dan mana waktu mengaji serta mana waktu
istirahat. Bujang pun tidak mau mendengarkan nasehat ayah dan ibunya. Makin
hari, makin menjadi tingkah laku bujang sehingga sulit untuk dinasehati lagi.
Keesokkan
harinya bujang tetap seperti kemarin-kemarinnya yaitu pergi bermain. Ibunya
pergi ke ladang bersama ayahnya. Sebelum ibunya pergi keladang, ibunya memasak
gasing, dan tali gasingnya ia gulai untuk si Bujang. Melihat kedua orang tuanya
sudah berangkat ke ladang, si Bujang pulang ke rumahnya. Oleh karena sudah
kelaparan, ia segera membuka periuk, dilihatnya sebuah gasing. Lalu ia membuka
belanga, dilihatnya gulai tali gasing. Oleh karena merasa kecewa, menangislah
si Bujang sambil bernyanyi:
Sing...
Tali gasing alit gasing dan buah keras
sampai
hati ibu!
ditanaknya
saya gasing
digulainya
tali gasing
menjadi
punai-punai jugalah saya hendaknya
makan
buah kayu ara.
Tumbuh
bulu sehelai, lalu ia menyanyi lagi:
Sing...
Tali gasing alit gasing dan buah keras
sampai
hati ibu!
ditanaknya
saya gasing
digulainya
tali gasing
menjadi punai-punai jugalah saya hendaknya
makan
buah kayu ara.
Tumbuh
bulu sehelai lagi, ia pun terus bernyanyi:
Sing...
Tali gasing alit gasing dan buah keras
sampai
hati ibu!
ditanaknya
saya gasing
digulainya
tali gasing
menjadi
punai-punai jugalah saya hendaknya
makan
buah kayu ara.
Dan
seterusnya ia bernyanyi dan terus bernyanyi. Akhirnya ia menjadi seekor burung
punai. Dia terbang dan hinggap di pohon ara yang satu ke pohon ara yang lain.
Bujang terbang menuju pohon ara yang ada di dekat ladang ayah dan ibunya.
Terdengarlah nyanyian suara bujang. Lalu ibunya berkata kepada suaminya, ayah
itu sepertinya suara anak kita. Ayahnya pun mendengar berkali- kali ternyata
iya, benar. Alunan lagu yang dinyanyikan oleh burung punai tersebut adalah
suara anaknya. Lalu ibunya berkata, nak ini nasi. Bu, bujang tidak bisa makan
nasi lagi karena burung punai hanya memakan pohon ara. Ibunya, merasa kasihan
melihat kejadian itu.
Putri
Mambang Linau
Alkisah, di tanah Bengkalis hiduplah seorang pemuda bernama
Bujang Enok. Ia hidup miskin dan sebatang kara, tak berayah, tak beribu, tak
juga bersaudara. Namun, ia adalah pemuda yang baik dan pemurah hati. Pekerjaan
sehari-harinya mencari kayu api di dalam hutan, yang kemudian dijualnya ke
pasar atau ditukarkannya dengan beras dan keperluan hidupnya yang lain. Suatu
hari, Bujang Enok sedang ke hutan untuk mencari kayu, setibanya dihutan
tiba-tiba ada seekor ular berbisa muncul di hadapannya, untung Bujang Enok
cukup sigap, dia langsung membunuh ular itu sebelum terpatuk. Setelah mencari
kayu di hutan, Bujang Enok bergegas pulang, dalam perjalanan Bujang Enok
melihat ada sekelompok wanita sedang bercakap-cakap. “ Untung tadi ada pemuda
itu, jadi kita aman mudah-mudahan tidak
ada lagi ular berbisa yang membahayakan,” ucap salah satu dari wanita itu. Saat
itu Bujang Enok baru paham bahwa ular tersebut selama ini sudah meresahkan
banyak orang. Setelah sampai di rumah, seperti biasa Bujang Enok menuju ke
dapur lalu kemudian makan, namun, dia terkejut melihat dapurnya sudah penuh
dengan makanan lezat yang sudah siap. Meski diliputi rasa heran, Bujang Enok
makan dengan lahap karena perutnya dari tadi sudah sangat lapar, dalam hatinya
dia berjanji akan menyelidiki siapa yang sudah membuatkannya makanan di dapur.
Benar saja, keesokan harinya, Bujang Enok pura-pura mau
pergi ke hutan, namun ia kembali untuk mengintip dapurnya, ternyata yang
menyediakan makanan adalah tujuh wanita cantik. Ternyata, mereka sengaja
membuatkannya makanan sebagai tanda ucapan terima kasih karena Bujang Enok
berhasil membunuh ular berbisa itu Seketika Bujang Enok terpukau melihat
kecantikan gadis-gadis itu, hingga membuatnya jatuh cinta pada salah satu
wanita yang berselendang jingga. Ketujuh wanita itu lalu kemudian pergi
meninggalkan rumah Bujang Enok, satu per satu mereka terbang ke langit, rupanya
mereka itu bukan manusia biasa, melainkan para bidadari yang tinggal di
kayangan. Namun malang bagi wanita yang berselendang jingga, karena pada saat
hendak terbang selendangnya hilang hingga ia tak dapat ikut terbang. Dia sadar
bahwa selendangnya terkait di pintu rumah milik Bujang Enok, sehingga
membuatnya menangis ketakutan karena ditinggal sendiri oleh saudaranya yang
lain. Karena merasa iba, Bujang Enok pun menghampiri wanita itu dan mengembalikan
selendangnya. ” Kamu jangan menangis, maukah kamu tinggal disini dan menikahlah
denganku.” Bujang Enok melamar wanita itu. Setelah beberapa saat terdiam,
akhirnya wanita itu menyetujuinya, dia menyebutkan bahwa dirinya bernama Putri
Mambang Linau. “Aku mau menjadi istri Kanda, tetapi ada syaratnya, Kanda tidak
boleh menyuruhku untuk menari, karena jika aku menari, maka aku akan kembali ke
kayangan, tempat dimana aku berasal,” kata wanita itu.
Setelah mendengar syarat yang diajukannya, Bujang Enok pun menyetujui syarat itu. Tak lama kemudian Mereka pun menikah, hari demi hari berlalu, Bujang Enok dan Putri Mambang Linau bidup hidup dengan bahagia. Mereka juga sangat dermawan dan suka menyantuni orang miskin, hingga lama-kelamaan, sifat baik hati Bujang Enok sampai juga ke telinga Raja. Raja sangat senang jika ada orang yang sudah membantunya menyejahterakan rakyat, demi membalas jasanya, Raja ingin mengangkatnya menjadi kepala kampung. Suatu hari, para tetua dan kepala kampung diundang oleh Raja untuk menghadiri pesta, Raja juga meminta agar semua istri kepala kampung juga ikut memeriahkan pesta dengan ikut menari. Bujang Enok senang diundang Raja, ia tidak ingin membangkang, namun disisi lain ia gundah karena sudah berjanji pada Istrinya. Akhirnya ia berkata pada istrinya, “ duhai istriku, tolonglah aku, sekali ini saja,” pinta dia pada istrinya. Lama-kelamaan Putri Mambang Linau menuruti permintaan suaminya, karena ia tidak ingin membuatnya kesulitan, dia pun mempersembahkan tariannya yang terindah.
Batu
Belah Batu Betangkup
Pada zaman dahulu, di sebuah dusun di Indragiri Hilir hiduplah seorang janda bernama Mak Minah dengan ketiga orang anaknya. Anak yang pertama bernama Diang, seorang wanita. Sementara dua orang yang lain adalah laki-laki yang masing-masing bernama Utuh dan Ucin. Untuk memenuhi kebutuhan hidup ketiga anaknya, Mak Minah harus selalu bekerja. Pekerjaan Mak Minah adalah berjualan kayu bakar ke pasar.
Ketiga anak Mak Minah sangat nakal. Mereka tidak mau mendengarkan nasihat Mak Minah. Ketiganya kerap membantah perintah dari ibunya. Mereka hanya suka bermain-main saja, bahkan hingga larut malam. Mak Minah sering merasa sedih dengan kelakukan anak-anaknya. Ia sering mendoakan anak-anaknya agar sadar dan mau menghormati orang tuanya.
Pada keesokan harinya Mak Minah menyiapkan banyak makanan untuk anak-anaknya. Setelah itu ia pergi ke sungai dan mendekati sebuah batu sambil berbicara. Batu tersebut juga bisa membuka lalu menutup kembali, layaknya seekor kerang. Orang-orang sering menyebutnya dengan batu betangkup.
“Wahai Batu Batangkup, telanlah saya. Saya tak sanggup lagi hidup dengan ketiga anak saya yang tidak pernah menghormati orang tuanya,” kata Mak Minah.Batu betangkup pun kemudian menelan tubuh Mak Minah, hingga yang tertinggal dari tubuh Mak Minah sebagian rambutnya saja.
Menjelang sore hari, ketiga anaknya mulai merasa heran. Mereka sejak pagi tidak menjumpai emak mereka. Akan tetapi karena makanan yang ada cukup banyak, mereka akhirnya cuma makan lalu bermain-main kembali. Setelah hari kedua, makanan pun mulai habis. Anak-anak Mak Minah mulai kebingungan dan merasa lapar. Sampai malam mereka kebingungan mencari emaknya. Barulah pada keesokan harinya setelah mereka pergi ke tepi sungai, mereka menemukan ujung rambut Mak Minah yang terurai ditelan batu betangkup.
“Wahai Batu Batangkup, kami membutuhkan emak kami. Tolong keluarkan emak kami dari perutmu,” ratap mereka.
“Tidak!!! Kalian hanya membutuhkan emak saat kalian lapar. Kalian tidak pernah menyayangi dan menghormati emak,” jawab Batu Batangkup. Mereka terus meratap dan menangis.
“Kami berjanji akan membantu, menyayangi dan menghormati emak,” janji mereka. Akhirnya batu betangkup pun mengabulkan ratapan ketiga anak Mak Minah. Mak Minah dikeluarkan dari tangkupan batu betangkup. Mereka pun menjadi rajin membantu emak dan menyayangi Mak Minah. Akan tetapi, hal tersebut ternyata tidak bertahan lama. Beberapa waktu kemudian mereka berubah sifat kembali seperti semula. Suka bermain-main dan malas membantu orang tua.
Mak Minah pun kembali sedih. Ia lalu mengunjungi lalu batu betangkup di tepi sungai. Ia kemudian ditelan lagi oleh batu betangkup tersebut. Anak-anak Mak Minah masih terus sibuk bermain-main. Menjelang sore hari, barulah mereka sadar bahwa emak mereka tak ada lagi. Mereka pun kembali mengunjungi batu betangkup di tepi sungai sambil meratap meminta agar emak mereka dikeluarkan oleh batu betangkup. Akan tetapi, kali ini batu betangkup sudah marah. Ia lalu berkata “Kalian memang anak nakal. Penyesalan kalian kali ini tidak ada gunanya,” kata batu batangkup sambil menelan mereka. Batu batangkup pun masuk ke dalam tanah dan sampai sekarang tidak pernah muncul kembali.
Rawang
Tekuluk
Pak
Dulah merupakan orang berada. Kebun karet, ladang, dan sawah mereka luas. Pak
Dulah itu terkenal orang yang rajin.Bila tidak berjualan dia pergi ke kebun
atau ke sawah. Terkadang memperbaiki pagar kebun yang rusak. Selain itu, Pak
Dulah juga bedagang emas. Dia berjualan hari Ahad di pasar Lubuk Jambi, hari
Senin di pasar Gunung, dan hari Sabtu di pasar LubukAmbacang. Pedagang seperti
Pak Dulah disebut juga sebagai pedagang keliling. Setiap balik dari pasar Pak
Dulah selalu membawakan oleh-oleh umuk Siti Johari. Kadang-kadang seperti
boneka, baju baru, dan perhiasan dari emas. Pak Dulah bahagia bila melihat anak
semata wayangnya itu senangdan gembira. Badan letih dan penat setelah berjualan
seharian tidak terasalagi. Pagi itu SitiJohari sedang bermain kelereng bersama
Fatimah. Sambi! bermain SitiJohari berkata, "Fatimah, lihaclah cincin aku
ini! Aku memakai cincin permatanya berwarna merah dan yang satu lagi berwarna
hitam",kata SitiJohari sambil melihatkan jari tangannya kepada Fatima.
Setiap
hari SitiJohari diberi Bapaknya uangjajan. SitiJohari suka jajan sembarangan
dan dia tidak suka menabung. Emak Siah sering menasehati agar SitiJohari mau
menyisihkan sebahagian uangjajanannya untuk ditabung. Sementara itu, Mak Siah
sedang memasak di dapur. Beberapa saar kemudian dia keluar rumah melihat
anaknya. "Kemanakah Siti Johari dengan Fatimah? Kata Mak Siah dalam hati.
Dari jauh nampak olehnya SitiJohari dan Fatimah sedang berjalan menuju
kearahnya. .Mereka berjalan saling berpegangan tangan.
Tiupan angin
berhembus sepoi-sepoi. Sekali-sekali terdengar kicauan burung pipik
bersahut-sahutan.Mak Siah bergegas ke dapur mempersiapkan hidangan yang telah
dimasaknya. Hari ini, Mak Siah masak samba! kesukaan anak dan suaminya yaitu
otun ikan pantau dan tumis sayur bayam. Saat MakSiah menyiapkan hidangan makan
siang, PakDulah pun tibadi rumah. Mereka pun makan bersama di siang itu dengan
penuh suka cita. "Sebentar lagi Bapak mau memuat barang-barang itu ke
perahu. Sekarang Bapak menanti Datuk Diko dan " Sabirin datang. Kami akan
memuat barang itu bersama-sama agar menyusunnya secara baik, jawab Pak Dulah.
kemudian, Datuk Diko dan Pokiah Sabirin tiba di rumah Pak . Mereka langsung
mengangkut barang-barang yang akan dimasukk:an ke dalan perahu. Sebelum waktu
azan Asar mereka sudah selesai menyusun barang-barang itu. Perahu itu diikatkan
ke batang rengas besar yang tubuh di sebelah tepian mandi Pak Dulah. Setelah
selesai menunaikan salat Asar, mereka berangkat berniaga ke LubukAmbacang.
Sementara
Mak Siah dan Siti Johari siang itu duduk di beranda rumahnya. Tiba-tiba Siti
Johari berkata, Mak, Bapak kapan baliknya?tanya Siti Johari. Jika tak ada
halangan, lnsya Allah senja nanti Bapak dan kawan kawannya sudah tiba.
Memangnya ada apa SitiJohari "Ianjut Mak Siah Baru saja Mak Siah selesai
berbicara datang seekor burung murai dan bertengger di dahan pohon jambu yang
ada di halaman rumah mereka. Burung murai itu berkicau dengan suara nyaring.
Seperti orangyangsedang berpidato saja. Mak Siah menegur burung murai itu. Mak
Siah memandang ke langir, diliharnya awan hiram yang rebal bergumpalan memenuhi
langir sebelah barar. Cuaca mendung itu menghalangi sinar marahari perang dan
angin berriup kencang. Pohon- .pohon kayu bergoyang-goyang dan meliuk-liuk di
riup angin dan ada yang sampai tumbang."Hari seperti mau hujan Iebar,
SitiJohari masuklah ke rumah nak!. Di sungai Kuanran saar itu Pak Dulah dan
Pokiah Sabirin mendayung dengan cepar. Daruk Diko dengan sigap berusaha
mengendalikan kemudi perahu. Angin kencang menumbangkan pohon-pohon di repi
sungai. Beberapa diantaranya hanyur rerbawa arus. Pohon yang hanyur menghalangi
lajunya perahu mereka. Hujan mulai rurun dengan Iebar disertai bunyi guruh dan
kilar menyambar. Tiba-tiba perahu dihantam barang kayu sehingga rerhempas ke
baru besar yang rerdapar di repi sungai. Perahu mereka pecah dan hancur
berkeping-keping. Pak Dulah rerhempas ke batu besar dan hanyur di rengah arus
yang deras. Dia rak berdaya lagi berenang, maranya berkunang-kunang dan
akhirnya renggelam. Dat
Dua
hari kemudian, barulah mayat Pak Dulah dan mayat Datuk Diko ditemukan. Mereka
dikebumikan di lokasi pemakaman umum yang terletak di seberangkampung. Setelah
Pak Dulah meninggal dunia, Mak Siah harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan
hidup mereka berdua. Panas siangsangat inenyengat, apalagi sekarang hujan sudah
lama tidak turun. Setelah makan siang Mak Siah pergi ke sawah. Sawahnya itu
sudah mengering, padahal padi mulai berbuah, tapi tidak merata. Batangpadi itu
ada yang berwarna kuning dan mati karena kekurangan air. Butir padi banyak yang
tidak berisi karena keperluan airnya tidak tercukupi. Mak Siah sangat sedih
melihat keadaan padi itu. Tentu hasil sawahnya kali ini tidak akan seberapa.
Siti Johari kernbali menuai padi. Dia berharap pekerjaan ini cepat selesai dan
bisa segera pulang ke kampungnya. Perasaan bosan mulai merasuki hatinya apalagi
jari-jari tangannya mulus itu tergores daun padi. Merah bergaris-garis dan
terkadang terasa pedih di tangan. Menyesali nasib yang dialaminya membuat
SitiJohari mendongkol dan kesal. Dia merasa semuanya terjadi karena maknya yang
tidak mampu menghidupi anaknya. Perasaan yang dirasakan Siti Johari masih
berlanjut sampai waktu akan siang
Akhir-akhir
ini Siti selalu menyakiti hati Mak. Siti bersikap sangat kurang ajar. Maafkan
Siti anakmu ini, Mak! lumpur ini, semakin lama semakin dalam menarik Siti.
Sekarang sudah hingga dada Siti, Mak;' kata Siti menyadari kesalahannya.
"Siti, kesalahanmu sudah Mak maafkan. Mak tak menduga peristiwa ini
terjadi. Ini juga kesalahan Mak yang terlanjur mengatakan kamu mati masukrawa.
Maafkan Mak mu ini, ya anakku SitiJohari!" jawab MakSiah sambil mengusap
air matanya.. "Mak, inilah balasan atas kesalahan dan dosa-dosa Siti. Azab
anak durhaka kepada orang tua. ambillah cincin dan kalung Siti sambil
mengangkat tangannya Biarlah cincin juga
dengan kalungmu Itu.Biarkan benda itu di badan, dan tekuluk itu di lehermu
jangan ditanggalkan. Benda itulah pengganti kain kafanmu," jawab Mak Siah
sambil tersedu- sedu. Belum selesai Mak Siah berbicara Siti Johari pun lenyap
ditelan lumpur hanya selendang Siti Johari yang masih bergerak-gerak bersama
riak air rawa itu. Sejak kejadian itu hingga sekarang daerah rawa itu dinamakan
rawang tekuluk.
Komentar
Posting Komentar