BUDAYA DI BIBIR PUKAT
Putri Liana Zahirah - SMPN 2 Sabak Auh Kab. Siak
Sebelum budaya dan bahan pancang tegak
menusuk punggung sotoh dan menghujam aliran perbedaan
sebelum lampu pepat terpejam
dua jam sebelum pukat menerjang kejam
aku adalah cinta yang selalu memeluk jalan pulang.
Selepas bibir budaya berujar kalam
salam di hadapan gerbang Sultan
setapak perbedaan milikku digulung
aroma anyir payau membuncah desau.
Di daun cagar budaya akar-akar bakau berbisik
dari rungu ke rungu kaladuta berdeting
menusuk suka, geming.
Lunau nan basau mulai berdesing.
Ooh, siapakah jasad itu?
budaya tercampak
digulung peradapan
ditikam modernisasi?
Penghuni sungai! Hancur berkeping.
Mungkin lunau, mungkin itu kepala, tangan
yang mengakar ke jalan-jalan ke konkaf ingatan.
Di pondok nelayan, sampan yang teriris bak menangis
biduk-biduk kecil memangku darah.
Di tanganmu daun dil, peterseli dan rimba sungai
saling berpeluk, menatap basaumu dengan khusyuk,
nur di mata lamat-lamat pergi.
Bibirmu pucat pasi, hanya selembar asa
juga tinta
mengabarkan puisi-puisi kesumba.
Mataku masih bujur melupakan syair Ali Haji dalam tingkah kompang
membiarkan hujan mengasingkan merah kenyataan
yang tak pernah mengungsi ke koran-koran.
Oh, Cik Abang. Katamu malam adalah puisi panjang
yang dibacakan mimpi bersama rentak Alif-Mu
tingkah zapin merangkai perbedaan.
yang membuat kita dekat dengan Illahi
tapi bakda kudengar orang-orang asing itu
berkoar soal sajak kemenangan
pada sembilan belas empat puluh delapan
di rumah, ladang-ladang, di masjid dan surau,
cicetak biru leluhur kita.
Mereka menjarakkan peta dengan nyawa-nyawa.
Di mata gandewaku
Kehidupan budaya adalah elegi tanpa titik koma
yang memberi kehidupan dan kekuasaan
yang merumahkan rumah, kehangatan
dan kedamaian ke dalam ingatan.
Di mata gandewaku
Rentak budaya merangkai harapan yang terburai
di setiap pecahan ombak yang melambai.
Siak, 2 Oktober 2024
0 Komentar