Jejak Kata di Ujung Rindu - Lisnawati Tiurida Hutagaol


Jejak Kata di Ujung Rindu 
Lisnawati Tiurida Hutagaol-SMAS Plus Taruna Andalan

   Di sudut kota, di antara gedung-gedung tinggi yang menjulang, terdapat sebuah kafe kecil yang sederhana. Kafe itu dipenuhi dengan aroma kopi dan kue kue yang baru dipanggang. Di sinilah Daffa, seorang pelajar SMA yang beranjak dewasa, menghabiskan waktu sore sambil membaca buku catatan milik kakeknya
yang baru saja ia temukan. Daffa tidak pernah mengenal kakeknya. Ia hanya tahu bahwa kakeknya adalah seorang penulis puisi terkenal di kampung halaman orang tuanya di Sumatra Barat. Setelah kematian kakeknya, semua barang-barangnya dimasukkan ke dalam kotak dan disimpan di loteng rumah nenek. Saat mengunjungi nenek, Daffa merasa tertarik untuk mencari tahu lebih banyak tentang kakeknya. Satu halaman demi satu halaman, Daffa membolak-balik buku catatan itu. Puisi-puisi yang ditulis dengan tinta hitam itu penuh dengan keindahan bahasa.  Namun, ada satu puisi yang menarik perhatian Daffa:
“Di antara gema rindu yang tak terucap, Tersimpan makna yang takkan sirna, Kata-kata adalah jembatan, Menuju hati yang merindukan.”
Daffa merenung. Kata-kata itu terasa akrab, seolah menari-nari di dalam  pikirannya. Ia merasa seperti ada sesuatu yang hilang, sepotong identitas yang ingin ia temukan. Ia memutuskan untuk melakukan riset tentang kakeknya, berharap dapat menemukan lebih banyak puisi dan cerita tentang kehidupan sang kakek. Hari berikutnya, Daffa memberanikan diri untuk menghubungi Pak Ridwan, seorang teman kakeknya yang dikenal sebagai sesepuh di kampung halaman. Daffa tidak pernah bertemu dengannya, tetapi ia mendengar banyak tentang Pak Ridwan dari neneknya.
“Assalamualaikum, Pak Ridwan. Nama saya Daffa, cucu dari almarhum Pak Harun,” sapanya dengan suara bergetar. “Waalaikumsalam, Daffa. Senang sekali mendengar dari cucu Pak Harun. Ada yang bisa saya bantu?” jawab Pak Ridwan, suaranya hangat dan ramah. Daffa menjelaskan tentang penemuannya di loteng nenek dan ketertarikan untuk mengetahui lebih banyak tentang kakeknya. Pak Ridwan terdengar antusias. “Oh, almarhum Pak Harun adalah sosok yang sangat berharga bagi kita. Ia tidak hanya seorang penulis, tetapi juga seorang guru yang bijak. Mari kita bertemu, Daffa. Saya  akan menceritakan lebih banyak tentang kakekmu.” Mendengar ajakan itu, Daffa merasa bersemangat. Ia merasa seolah pintu menuju dunia baru terbuka di hadapannya. Tepat saat libur tahunan sekolah, Daffa pergi ke kampung halaman untuk bertemu Pak Ridwan. Kampung itu dikelilingi sawah yang menghijau dan pegunungan yang megah. Ia menyadari betapa indahnya tempat itu, jauh berbeda dengan kesibukan kota yang selama ini ia tinggali. Setibanya di rumah Pak Ridwan, Daffa disambut dengan hangat. Pria tua itu mempersilakan Daffa duduk di teras yang menghadap ke sawah. Mereka berbincang-bincang, dan Daffa mulai merasa terhubung dengan kakeknya melalui cerita-cerita Pak Ridwan. “Dulu, Pak Harun sering mengajak kami berkumpul untuk membaca puisinya. Ia percaya bahwa kata-kata memiliki kekuatan untuk mengubah dunia,” kata Pak Ridwan sambil tersenyum. Daffa merasa terinspirasi. “Saya menemukan beberapa puisi di buku catatan kakek. Saya ingin menerjemahkannya ke dalam bahasa yang lebih modern agar orang-orang bisa lebih memahami maknanya.” Pak Ridwan mengangguk setuju.
“Itu ide yang bagus, Daffa. Tapi ingat, kamu harus tetap menjaga keaslian dan makna yang terkandung dalam kata-kata itu. Bahasa adalah jembatan antara generasi.” Mereka menghabiskan waktu berjam-jam bercerita, dan Daffa mulai  menyerap semua yang dikatakan Pak Ridwan.
“Daffa, ada satu hal yang perlu kau tahu. Kakekmu memiliki beberapa puisi yang sangat pribadi, puisi yang tidak pernah ia terbitkan. Ia menyimpan puisi-puisi itu di sebuah tempat rahasia. Mungkin, kamu bisa mencarinya,” ungkap Pak Ridwan. Daffa terkejut. “Di mana itu, Pak?”
“Dia pernah mengatakan bahwa puisi-puisi itu tersimpan di tempat yang penuh kenangan. Mungkin di bawah pohon besar di tepi sungai. Itu tempat favoritnya.” Daffa merasakan getaran di dalam hatinya. Dia merasa seolah ada panggilan yang harus ia jawab. Ia berjanji pada Pak Ridwan untuk mencarinya. Esok paginya, ia bangun lebih awal dan memutuskan untuk pergi ke tepisungai sebelum kembali ke kota. Di tepi sungai, Daffa melihat pohon besar yang berdiri kokoh. Ia teringat akan cerita Pak Ridwan dan membayangkan kakeknya duduk di bawah pohon itu, menulis puisi dengan tenang. Dengan penuh harapan, ia mulai menggali tanah di sekitar akar pohon. Setelah beberapa saat, tangan Daffa menyentuh sesuatu yang keras. Ia segera mengeluarkannya. Sebuah kotak kayu yang terbuat dari ukiran indah dengan simbol-simbol Minangkabau. 

Daffa membuka kotak itu dengan hati-hati. Di dalamnya, ia menemukan gulungan- gulungan kertas kuno yang tampak sangat berharga. Itu adalah puisi-puisi karya

kakek yang belum pernah dipublikasikan. Kata-kata kakeknya terasa hidup, menyentuh jiwa.
“Kata-kata adalah sungai, Mengalir dalam keheningan, Membawa pesan dari hati, Menuju jiwa yang mendengarkan.” Daffa terpesona. Puisi-puisi itu menggambarkan keindahan alam dan kerinduan akan tanah air. Ia merasa seperti mendapatkan sebuah koneksi yang mendalam dengan kakeknya. Daffa kembali ke rumah Pak Ridwan. Ia tidak sabar untuk menunjukkan penemuan itu.
“Ada apa, Daffa? Kamu terlihat sangat bersemangat,” tanya Pak Ridwan. Daffa menunjukkan kotak kayu itu. “Pak, saya menemukannya di bawah pohon besar di tepi sungai. Ini adalah puisi-puisi kakek yang tidak pernah dipublikasikan!”
Mata Pak Ridwan berbinar-binar. “Ini adalah harta yang sangat berharga. Kakekmu
pasti sangat bangga padamu. Dengan ini, kamu bisa melanjutkan legasi yang telah ia tinggalkan.” Daffa merasa bangga. Namun, ia juga merasakan beban yang berat. “Tapi saya tidak tahu harus mulai dari mana. Bagaimana cara agar orang-orang bisa menghargai kata-kata ini, Pak?” Pak Ridwan tersenyum bijak. “Jangan khawatir, Daffa. Yang terpenting adalah kamu memahami makna di balik kata-kata itu.

Cobalah untuk merasakan dan menyampaikannya dengan caramu sendiri. Kata-kata  bisa mengalir dengan cara yang berbeda di setiap generasi.” Dari hari itu, Daffa mulai bekerja keras. Ia menerjemahkan puisi-puisi kakeknya ke dalam bahasa Indonesia dan menulis artikel tentang makna di balik setiap puisi. Ia ingin agar lebih banyak orang bisa merasakan kedalaman makna yang terkandung dalam kata-kata tersebut. Dengan bantuan Pak Ridwan, Daffa mengorganisir sebuah acara di kampungnya. Ia ingin membagikan puisi-puisi kakeknya dan mengajak orang-orang untuk menyelami keindahan bahasa Minangkabau.
“Saya ingin membagikan beberapa puisi dari kakek saya, Pak Harun,” Daffa mulai berbicara. “Dia percaya bahwa kata-kata adalah jembatan antara hati dan jiwa. Mari kita bersama-sama mendengarkan dan meresapi makna dari setiap kata.” Daffa membacakan puisi-puisi yang telah ia terjemahkan. Setiap bait yang ia bacakan seakan mengalir seperti sungai, mengisi ruang di antara pendengar dengan
kehangatan dan keindahan.
 “Kata-kata adalah jembatan,
Menyatukan kita dalam perbedaan,
Membawa kita menelusuri sejarah,
Menuju harapan masa depan.”
Pendengar terdiam, meresapi setiap kata. Daffa melihat beberapa wajah bergetar, seolah terhubung oleh kenangan dan harapan yang tumpah ruah dalam setiap bait puisi. Ia melanjutkan dengan puisi-puisi lainnya, semakin berani seiring berjalannya waktu. Setelah membacakan semua puisi, Daffa mengajak semua yang hadir untuk berbagi pengalaman mereka tentang bahasa dan makna di baliknya. Tangan-tangan terangkat, dan suara-suara mulai bersautan. “Puisi-puisi itu mengingatkan saya pada nenek saya yang selalu bercerita,” kata seorang wanita paruh baya. “Ya, saya juga teringat akan masa kecil saya, saat kami berkumpul dan  mendengarkan cerita-cerita dari kakek,” tambah seorang pemuda. Daffa merasakan kehangatan dalam suasana itu. Kata-kata yang selama ini ia anggap sebagai beban kini menjadi jembatan yang menyatukan orang-orang dari berbagai latar belakang. Ia menyadari bahwa dalam era modern ini, banyak nilai dan budaya yang mulai pudar, bahasa dan sastra adalah alat yang kuat untuk mengikat kembali jati diri dan cita-cita bangsa. Setelah acara berakhir, Daffa merasa lega dan bahagia. Ia dan Pak Ridwan  duduk di bangku taman, menikmati senja yang indah. “Daffa, kamu telah melakukan pekerjaan yang luar biasa. Kakekmu pasti sangat bangga padamu,” kata Pak Ridwan dengan tulus. Daffa tersenyum. “Terima kasih, Pak. Tapi saya tidak akan berhenti di sini. Saya ingin terus mengenang dan melestarikan karya kakek saya, agar generasi mendatang dapat menikmati dan memahami keindahan bahasa.” Daffa merasakan sesuatu yang baru dalam dirinya. Ia tidak hanya menemukan jejak kakeknya, tetapi juga menemukan jati dirinya sendiri. Dalam proses itu, ia belajar bahwa bahasa adalah alat yang kuat, dan dengan kata-kata, kita bisa merangkai cerita demi mewujudkan cita-cita bangsa. Dari situlah Daffa melangkah, menapaki jejak kata di ujung rindu, dengan harapan yang takkan pernah pudar.


 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MOSI DEBAT SMA BULAN BAHASA 2019

MOSI YANG DILOMBAKAN DALAM DEBAT PRATIKUM SASTRA KE 27

NASKAH PUISI YANG DIPERLOMBAKAN DALAM LOMBA BACA PUISI BULAN BAHASA 2021 SE-INDONESIA