Perupa Kisah - Muhammad Dali Budaya
Perupa Kisah
Muhammad Dali Budaya-SMKN 1 PEKANBARU
Bantar Gebang tengah berkabung. Petang itu, mereka bak mendirikan pagar hitam dan menutup diri dari luar. Para pemulung rela menyia-nyiakan peluang bertemu wartawan yang hanya datang sekali setahun. Itu rumpang dan tak biasa. Sebab dalam kondisi waras, mereka akan datang bersesak hendak diliput untuk dapat tambahan duit. Namun, hajat itu mereka buang jauh-jauh supaya bisa menemani Ipeh.
Emak Ipeh tertimbun longsor sampah sewaktu mulung. Ia hanya mematung dan tak sempat melolong. Untung, ekor mata para pekerja menangkap kejadian selincah biasanya. Mereka langsung berlari bak didorong angin badai dan tergopoh-gopo menyusuri daratan yang telah rata oleh sampah. Bagaimanapun, mereka bukanlah anjing yang lihai mengais dengan kaki dan tangan. Para pekerja menangis panik sampai akhirnya seonggok tangan terpampang. Terlambat. Malam itu, Emak dibaluti kain kafan. Si gadis bisu, Ipeh, terlalu linglung untuk bisa menangis. Ia masih berusaha mencerna dunia yang berputar begitu laju, sementara dirinya kaku bak arloji beku. Orang-orang sibuk lalu lalang mengurusi jasad Emak. Ipeh hanya bisu dalam kengiluan yang menggebu. Emak akan dikebumikan besok. Semua orang akhirnya pulang menjelang dini hari. Disitulah, dalam kesendirian, Ipeh berbaring disamping Emak. Tangannya membetulkan kain kafan.
“Kenapa begitu cepat, Mak?” tangannya berisyarat, yakin betul Emak akan membalas dengan bahas isyarat pula. Ia keliru. Emak berbalas dalam bahasa kalbu. “Tidak, sayang. Dunia hanya patuh pada waktu. Teruslah hidup, Ipeh. Jangan berhenti.” Emak mencium keningnya. Dalam mimpi.
Matahari di Rabu siang memang kurang ajar. Ia sembrono menjerang hidup-hidup pemulung di atas Bantar Gebang. Tak peduli ia telah membuat orang berjalan terkangkang. Ia bahkan tak bisa berbelas kasih pada seorang gadis yang tengah berkabung. Sebetulnya orang-orang tak menginginkan Ipeh untuk langsung mulung. Rasanya sungguh ganjil sebab emaknya baru saja selesai dikubur. Namun, tak seorangpun punya cukup duit untuk berbagi hidup dengan anak yatim piatu. Jadi, mereka tak punya solusi apapun selain membiarkannya terus mulung. Ipeh, masih dalam kekuatan yang ganjil, sama sekali belum menangis atas sejarah semalam. Orang-orang menengoknya prihatin, “Apakah anak ini sakit jiwa?” Beberapa bocah bahkan saling memberi isyarat pada pemulung lain dengan menggesekkan jari ke kanan dan ke kiri di atas jidat mereka. Ipeh, masih dalam kebisuan yang absurd, sama sekali tak menghiraukan. Menjelang petang, orang-orang dibuat kalut sebab wartawan kembali datang. Mereka lari berbondong dan saling menyesak di rumah Pak RT. Hanya Ipeh seorang yang tampak tidak tertarik. Ia berakhir mulung sendiri.
Bulan sudah terpampang sempurna di tempatnya. Selama perjalanan menuju rumah, Ipeh merasakan sesuatu yang ganjil. Sesuatu yang terasa sesak di dada. Itu membuat nafasnya tertahan. Ketika ia tiba di teras, tempat dimana Emak biasa menyisir kangkung dan berburu kutu, perasaannya kian tak karuan. Dan sebelum ia mendorong pintu, mendadak matanya panas. Bibirnya mulai mengkerut. “Ipeh,” suara melengking itu spontan membuat ia menengok ke belakang. Di teras, ia mendapati Emak tengah duduk bersila dan memegang pinset untuk berburu uban. Disitulah, Ipeh tiba-tiba meledak. Tangisnya pecah menganak sungai. Ia terduduk lemas. Kepalanya terasa mau pecah. Ia berusaha berhenti dan menampar pipinya berkali-kali, tapi air matanya malah semakin deras.
Ia hendak berteriak, tapi suaranya tercekat di tenggorokan. “Emak, aku ini bocah cengeng, Mak!” Kali ini ia mengadu, tapi lagi-lagi suaranya terpaku. Kacau dalam amarah, ia menghajar sampah-sampah. Botol plastik, kayu berpaku, dan popok bayi terbang kemana-mana. Dalam pekik yang mencekik, ia menghantam pecahan beling. Darah mengucur deras dari buku-buku jarinya. Ipeh melengking panik dan terbirit-birit masuk ke rumah. Pintu terbanting begitu keras, sementara si pelaku hanya terduduk lemas. Ipeh memeluk tangannya yang terasa ngilu. Ia termenung sejenak. Dendam belum sepenuhnya dilampiaskan. “Kalau bukan karena sampah-sampah, Emak pasti masih hidup!” Batinnya berbicara. Ia kemudian melayang ke pintu belakang. Bergerak bak diterjang angin badai, tangannya menyambar sebatang kayu. Dibenamkannya dalam-dalam pada tanah. Kaki telanjang membawanya pada tumpukan sampah. Disambarnya pula seuntai tali dan melilitkannya pada batang. Pada kesempatan lain, Ipeh meraih seonggok koran basah, lusinan stik es krim lengket, kain-kain busuk, juga ember beris lumpur.
Ipeh merobek kain-kain, menjalinnya dari satu batang ke batang lain. Dibenamkannya juga selembar koran pada lumpur. Sedemikian rupa, terselimutilah kain busuk yang dibentuk persis kepala. Ia kemudian mulai membentuk mata dan hidung dengan batang stik. Larut dalam emosi yang absurd dan ambigu, tangan-tangannya bergerak mencipta sesuatu. Ipeh tengah merupa. Ipeh tengah mengalir. Ipeh dan tangannya menari pelan tapi pasti. Detik-detik setelah ia meniupkan nyawa pada sampah, ia jatuh terlelap dalam tidur yang terlampau nyenyak.
“Cekrek, cekrecekrek”
Pandangannya terasa begitu silau. Ipeh menguap besar-besar, sampai akhirnya ia menyadari dirinya tengah dikelilingi orang banyak. Ia tersentak. Tidak, mereka bukan pemulung. Orang-orang itu berpakaian rapi dan wangi, serta kamera dengan blitz yang menyilaukan. Ia tersedak sewaktu seratus persen sadar. Mereka adalah wartawan yang datang kemarin petang. Ipeh sudah siuman. Ia spontan berdiri dan menengok ke belakang. Segala macam sampah yang dibaurkan dan ia satupadukan tadi malam itu, tak lain adalah mahakarya yang luar biasa. Patung kontemporer itu bersiluet sesosok gadis dengan perut bolong dan kupu-kupu menggantung di dalamnya. Gadis yang terbuat dari sampah itu tengah duduk dan tampak menyisir patung di sebelahnya: Emak. Sebuah lanskap interaksi hangat antara ibu dan anak itu menjadi pusat perhatian wartawan. Ipeh mematung canggung, hanya bisa tersenyum kikuk. Sampai akhirnya seorang wartawan menghampiri dan menjabat tangannya. Tangan wanita itu begitu hangat, melunturkan kebekuan Ipeh.
“Kami telah menemukan keajaiban di Bantar Gebang. Inilah yang kami cari-cari! Bolehkah kami meliputmu?” Tak disangka pula, wanita itu berkomunikasi dengan bahasa isyarat. Ipeh terkesiap, tersenyum gembira dan mengangguk. Siang itu, Bantar Gebang ramai didatangi wartawan dan penikmat seni. Para tetangga dan pemulungpun ikut meramaikan. Disitulah, Ipeh berdiri di hadapan puluhan orang. Ia menarik nafas dalam dan mulai mengangkat tangannya:
“Namaku Ipeh. Aku bisu. Namun, dengan jari-jemari ini, aku bisa bercerita. Sampah-sampah ini telah membawaku pada dunia lain: dunia tanpa Emak. Dalam mimpi, Emak berwasiat agar aku terus hidup. Tapi tanpa Emak, hidup bukan lagi hidup yang kutahu. Aku dendam. Untuk membalasnya, aku menoreh separuh jiwaku pada sampah-sampah ini.”
Ipeh kemudian menoleh ke patung Emak. “Aku akan terus di sini, di Bantar Gebang, mengubah sampah menjadi cerita. Agar cerita Emak tidak lagi terulang. Dari yang terbuang, lahirlah cerita baru – begitu juga kehidupan.” Usai sorakan dan tangkapan blitz siang itu, nama Ipeh mulai dikenal luas. Kisahnya
yang pilu dan menginspirasi kian membesarkan namanya sebagai seniman kontemporer muda. Namanya juga kerap tertoreh di kancah Internasional dan mengharumkan bangsa. Namun, dengan segala kemewahan peluang itu, ia tetap patuh pada sumpahnya. Ia benar berbakti pada Bantar Gebang. Orang-orang mulai mengikuti jejak Ipeh untuk mengolah sampah.
Uang yang diperoleh dari hasil pameran, ia salurkan sepenuhnya untuk membangun rumah karya. Disana, semua pemulung memiliki kesempatan untuk belajar dan berkarya. Dengan dibangunnya rumah itu, Bantar Gebang semakin dikenal. Bukan karena citranya sebagai bukit sampah terbesar di Pulau Jawa, tapi berkat karya- karya yang lahir di dalamnya. Kini, Ipeh tak lagi dendam. Ia telah teduh dalam damai. Dengan Emak yang masih hidup di dalam dirinya, Ipeh terus merupa cerita. Untuk Indonesia.
Komentar
Posting Komentar