Menyulam Budaya dalam Kata: Sastra sebagai Cermin Ekspresi Budaya
Oleh: Dwi Sartika
Sastra tidak lahir dari ruang kosong. Ia tumbuh dari akar budaya yang menyatu dalam kehidupan masyarakat. Di dalamnya, nilai, kepercayaan, adat, hingga cara pandang hidup diwariskan dari generasi ke generasi. Sastra menjadi wadah ekspresi budaya—media di mana tradisi tidak hanya dikenang, tetapi juga dihidupkan kembali.
Dalam puisi, budaya terekam lewat simbol dan metafora. Pantun, gurindam, dan syair tradisional adalah contoh nyata bagaimana masyarakat Nusantara meramu petuah dan pengalaman hidup dalam bentuk yang puitis. Dalam novel dan cerpen, kita menemukan latar budaya yang kuat: dari tata cara pernikahan adat, konflik antargenerasi, hingga kepercayaan mistis yang masih hidup dalam masyarakat.
Karya-karya seperti Sitti Nurbaya karya Marah Roesli atau Tenggelamnya Kapal Van der Wijck karya Hamka tidak hanya berkisah tentang cinta, tetapi juga menggambarkan benturan antara nilai tradisional dan modern. Di sisi lain, cerita rakyat seperti Malin Kundang atau Timun Mas memuat pesan moral yang berakar dari budaya lokal.
Sastra juga berfungsi sebagai ruang dialog antarbudaya. Di tengah arus globalisasi, ketika budaya asing mudah masuk dan menyatu dalam kehidupan sehari-hari, sastra dapat menjadi penyeimbang. Ia merekam identitas, merawat ingatan kolektif, dan mempertahankan warisan budaya.
Melalui sastra, budaya menjadi hidup. Ia tidak hanya dipajang di museum atau disajikan dalam upacara, tetapi hadir dalam cerita, puisi, dan dialog antartokoh. Maka, menulis sastra berarti juga melestarikan budaya. Membaca sastra berarti menggali identitas kita sebagai bagian dari masyarakat yang kaya akan warisan nilai dan tradisi.
.png)
0 Komentar