Buriang - Pusvi Defi
Malam yang dingin, angin menghunus bak pisau belati—mengiris tiap luka di hati. Detak jam menunjukkan pukul dua belas malam, lelaki bergalembong hitam itu telah
ditikam dendam. Liar matanya menatap jauh ke batas langit yang muram, kepiluan hati
tertusuk sembilu enggan redam—sebelum gadis berambut sepinggang mayang itu
dirasuk bunian
***
Kisah ini berawal dari beberapa tahun silam ketika separuh purnama berhasil
menaruh benih asmara di hati Buriang, lelaki buruk rupa keturunan suku Sakai yang
menetap tinggal di Desa Mempura. Ia jatuh cinta pada Halimah, kembang desa—anak
saudagar kaya di kampungnya. Saban hari Buriang bekerja sebagai pemanjat pohon
kelapa. Kadang mencari kayu bakar di hutan, kadang pula menakik getah. Apa pun ia
lakukan, asal dapat sepinggan makan. Dari semasa dulunya, Buriang dan keluarganya
sudah lama tingga di rumah Ampar Labu beratap daun-daun nipah peninggalan
masyarakat suku Sakai yang telah menua. Namun sejak hutan rimba kedatangan orang
kota, banyak suku Sakai terusir. Pekat asap pembakaran dan raungan mesin penebangan
liar membuat mereka gelisah. Hutan adat dibakar habis-habisan, lalu sebagai pengganti, pohon sawit ditanam menjelma hutan baru. Habitat dan kearifan lokal hilang sudah. Sehingga suku Sakai memutuskan berpindah-pindah dari Duri, Balai Pungut, dan bagian
hulu Sungai Apit. Siang itu, hari hampir petang, angin menggeliat langsam, matahari masih
memanggang, Buriang dengan kaki telanjang menjambangi hutan adat ambo putui, ia
hendak memangsa seekor denak untuk makan malam. Dengan menyandang ambung
yang terbuat dari rotan ia melangkah pelan sambil mendengangkan lagu nyanyian
panjang
Indang donai/Pucuk kandi bosomut api/Pucuk mentangu diluut jangan/Alangkah
manih muluik ghang kini/Didongeh bulieh, dituun jangan
Namun seketika dari arah utara, ia mendengar jeritan seorang wanita. “tolong...
tolonggg!” pekiknya dengan erangan. Bak sosok Tarzan dengan langkah agam, Buriang
berlari melintasi belukar yang berduri—menelisik muasal jeritan. Matanya terbelalak
ketika mendapati seorang perempuan berbaju cekak musang terjerembab ke akar yang
berlipat-lipat. Tubuh perempuan itu terlilit akar yang menjulang tinggi. Yang menurut
cerita, akar itu adalah jelmaan bunian batang akar raga. Apabila merambat ke pangkal
paha, ke dada, sampai ke leher bisa menyebabkan meninggal dunia. Dengan sekuat
tenaga Buriang meluluhkan kebuasan akar yang sudah hampir sepinggang orang dewasa. Setelah ditarik, segera ia membopong tubuh wanita berkaluang perada itu keluar dari
rimba. Sorot mata wanita itu kuyu, napasnya tinggal satu-satu—bagai dihimpit
bongkahan batu. “tolong aku!” pintanya dengan nada sayu. Di rumah beratap lipat kajang dengan jendela serta pilar anjungan bewarna
keemasan, Buriang masuk lewat pintu depan. Ia tergopoh-gopoh membopong tubuh
gadis bernama Halimah itu menaiki anak sigai. Wak Atan, ayah dari Halimah yang
tengah duduk di singgasana seketika terkejut melihat intan payung hatinya bagaikan
rangka kehilangan nyawa. Ia menyeru pesuruh untuk membawa anak gadisnya ke bilik
ranjang dan segera memanggil kemantan. Sementara Buriang bagaikan orang asing yang
tidak dikehendaki kehadirannya hanya mematung diam. Dan kemudian ia langsung
pamit pulang tanpa dibalas salam oleh Wak Atan. Tiga minggu kemudian, di tiko pejungkuran, Halimah terbaring lemah, sekujur
tubuhnya dibaluri daun lidah buaya. Hingga malam menjelang, ia kejang-kejang, lalu
menggelinjang tak keruan. Wak Atan hampir putus asa, tetiba ia teringat sosok Buriang, sosok pemuda yang telah menyelamatkan Halimah dari kebuasan hutan Sialang. Pesuruh Wak Atan berbisik, bahwa menurut kabar angin Buriang adalah keturunan
bomo yang bisa mengobati sakit ayan, ataupun orang yang dirasuk bunian. Dengan
segala pengharapan, ia meminta pesuruhnya untuk menjemput anak muda berbulu dada
siamang itu. Gayung bersambut, Buriang pun berkenan membantu. Namun bak ada
udang di balik batu di hatinya yang terkadung rancu. Sesampai di rumah Wak Atan, Buriang meminta disiapkan Mahligai 9 Telingkek
yang terdiri dari bunga kembang tujuh rupa, kemenyan, ayam hutan, serta juga obor dari
kayu damar yang akan menyala sepanjang ritual dan tentu harus dijaga agar tidak padam. Namun banyaknya sajian yang diminta Buriang, ada satu permintaan yang sungguh
gusar untuk dilaksanakan, yaitu “satu orang lelaki berkulit gelap, hidung bulat pesek, dengan kuping yang agak lebar untuk mengawini Halimah ketika gadis itu terbangun
dari pejam, jika tidak ditunaikan, wallahu a'lam sukma dari gadis mempura itu akan
diambil bunian.” ucap Buriang berdehem-dehem—menafsiri bahwa ciri-ciri lakilaki
yang ia sebutkan tidak lain tidak bukan adalah dirinya sendiri yang ingin dikawinkan
oleh anak gadis Wak Atan. Tetua Adat, Mak Long, dan Datuk Kayo saling memandang
dan melirik ke arah Wak Atan. Lelaki berusia setengah abad itu bagaikan tercekik duri
ikan tolam, bagaimana mungkin ia mengiyakan persyaratan yang muskil bisa tunaikan. Bak tercoreng arang, bila ia mengawini Halimah dengan manusia buruk rupa seperti
Buriang. Sudah hidup susah jelek rupa pula, ketus batinnya. Namun di sisi lain, ia harus
cepat mengambil keputusan untuk menyelamatkan putri kesayangan sebelum diambil
mambang. Wak Atan kembali menatap tajam wajah Buriang—menghela napas
dalamdalam. Lalu mengangguk pelan. Buriang tersenyum di antara giginya menguning
keemasan. Tanpa menunggu lama, setelah semua disiapkan, lelaki bergalembong hitam itu
menyanyikan mantra-mantra dalam bahasa Suku Sakai. Ia menari olang-olang dengan
gerakan seperti mengepak sayap sambil berputar-putar diiringi tabuhan gendang. Setelah beberapa jam kemudian, ia berkomat-kamit membaca mantera
Salak kutai di tongga padang/Pisang seondah cundung ke awan
Menengok olang lai menai-nai/Tinggalah ondah musyisik awan olang
Pukul tiga dini hari, Buriang mengusap wajah Halimah dengan air yang telah
dimantrai. Gadis itu awalnya mengejang, lalu berangsur tenang, kedua matanya sedikit
berkunang-kunang—menatap ruangan berukiran itik pulang petang yang menghiasi
seluruh tubuh ruangan. Ia mencoba bangkit dari ranjang, sudah lebih 8 minggu ia
terperam dalam alam bunian. Melihat anaknya terbangun dari pejam, bukan main girang
Wak Atan menciumi Halimah sambil berurai air mata. Beruntung nian dengan
kepandaian Buriang dalam hal ilmu kebatinan berhasil menyembuhkan anak semata
wayang. Wak Atan terkesima melihat kepandaian Buriang. Ia menepuk-nepuk pundak
pemuda itu dengan rasa bangga. “Tandanglah ka siko ahad dopan!” betapa girangnya Buriang mendengar
ucapan Wak Atan. Ya, Ini benar-benar mimpi yang nyata. Sudah menjadi takdir beristeri
dara jelita yang tinggal di Balai Mempura, pikirnya dengan tersulam riang. Selang seminggu kemudian, Wak Atan dirundung resah berlebihan. Semenjak
perkara janji untuk mengawini Halimah dengan Buriang tak mungkin bisa ia tunaikan. Bagai sesak berundur-undur, hendak lari malu, hendak menghambat tak lalu, tak
mungkin kaum bangsawan bermantu lelaki seperti hidup segan mati tak mau. Petang itu
juga ia mengundang mamak kemenakan untuk tandang ke rumah, menyilih ke rumah
lipat kajang—mengunyah sirih pinang untuk mendiskusikan persoalan lamaran. Dan
Halimah mesti menunduk untuk mengisyaratkan tanda setuju untuk dinikahkan. Wak
Atan tak kuasa melihat bunga mempuranya itu dikawini laki-laki tak punya masa depan
macam Buriang. ***
Malam separuh purnama. Burung hantu mengelilingi cakrawala—
mengisyaratkan akan ada bala. Halimah duduk bersanding di atas pelaminan bersama
lelaki tampan rupa. Gambus selodang dimainkan—mengiringi tari zapin di atas
selembayung sulo bayung dan tanduk buang. Beberapa orang penabuh gendang dan
seorang nafiri melantunkan dendang. Wak Atan beserta para datuk kayo memakai
tanjak serta kain tenun lejo tabir siak. Dengan rasa bangga mereka berdiri di pintu
penanggah— menyambut tamu dengan wajah sumringah. Terlihat wajah mereka
bahagia menyalami setiap tamu yang tandang. Langit seakan terbelah. Nyala tatapan Buriang seperti kobaran api yang berjelaga. Betapa hatinya bak berperam garam terlahir dari kaum ranji hina tak berpandang dengan
rupanya yang cacat melumang hingga gampang dipatahkan, nian segala janji malang. Malam itu, Burung-burung hantu bertengker di dahan. Auman belang saling bersahutan, tepat angka dua belas malam, Buriang memainkan ritual tarian olang-olang—
mengundang arwah-arwah leluhur tandang. Sudah ia siapkan sajian kemenyan putih, satu helai rambut gadis jelita yang ditujunya, potongan kuku harimau kumbang, dan
tentu tetabuhan odok sebagai salah satu syarat utamanya. Badontum bunyi kaki olang/Olang badontum bunyi kaki/Kaki mumakan obo muontang
Badontum bunyi kaki/Olang balik bualun bunian/Pulang ruh pulanglah insan, pulanglah badan soto nyawo. Mulutnya berkomat-kamit membacakan mantera-mantera disertai keringat yang
membabi buta. ***
Jam dinding menunjukkan angka satu malam, di dalam kamar yang dihiasi tabir
belang, serta tabir pukang ayam berjumlah tiga gulungan, Halimah dan suaminya sudah
tertidur pulas. Namun tiba-tiba ia terperanjat bangun. Halimah merasakan
tenggorokannya kering. Ia mengambil segelas air ke dapur lalu meminumnnya. Namun
entah kenapa semakin air itu diteguk, semakin panas di tenggorokan. Dan lama- kelamaan semakin sakit sekali. Ketika ia mencoba menelan ludah seperti ada pisau
cukur di dalam rongga mulutnya. “Aaaarrghhh...” ucapnya mengerang sakit. Suaminya terbangun. Dan bukan main ia terkejut melihat Halimah memuntahkan pisau
cukur disertai darah yang kental mengepalang. Halimah mengejang, matamnya
membeliak seram. Ia berguling-guling di lantai. Meloncat bagai kera. Kadang tertawa
mengerikan, dan yang menyeramkan, ia bisa merayap bagai cicak. Halimah mengambil
gunting lalu memotong rambutnya sampai acak-acakan. Suaminya panik
tungganglanggang ke luar rumah—meminta pertolongan ke pada siapa saja. Dari celah
mulut dan hidung Halimah, darah kehitaman mengucur bagai getah nira. Di hutan rimba, di malam yang durja, Buriang tersenyum licik— melepaskan dendamnya. (*)
Catatan kaki:
1. Denak: seekor ayam
2. Cekak musang: pakaian adat wanita suku melayu
3. (Pucuk kandis bersemut api, pucuk mentangur (jenis kayu keras) dilurut jangan. Alangkah manis mulut orang kini, didengar boleh diturut jangan). 4. Kalung perada: kalung anak bangsawan
5. Tiko pejungkuran: Tikar tempat pengobatan
6. Kemantan: dukun
7. Mambang: hantu
8. Bomo: orang pintar
9. Tarian olang-olang: tarian Suku Sakai yang diperankan dukun dalam mengobati
pasien
10. Odok: gendang
Pusvi Defi, kelahiran Medan, Sumatera Utara. Kini menetap di Pangkalan
Kerinci, Pelalawan. Ia menulis antara lain di Tempo, Media Indonesia, Solo Pos, Padang Ekspres, Riau Pos dll. Beberapa kali memenangi lomba monolog, menulis pantun, essay, cerpen serta baca dan tulis puisi di Riau dan Nasional. Emerging Writer Festival Balige (2023), buku puisinya Mengenang Bumbu
Rindu Dapur Inang (2021). Nara hubung: 089528585570
Komentar
Posting Komentar