Jam Petang di Gubuk Jepang - Tristan Andersen Yang
Sekompi tentara Jepang di Selat Panjang sedang sibuk-sibuknya. Seorang komandan
peleton mengonggong-gonggong perintah kepada siapapun itu. Aku tidak begitu
mengerti bahasa Jepang, tetapi ia memerintahku untuk masuk ke truk dan memutar
kunci. Tampaknya Tentara ke-25 Jepang diluncurkan ke Sumatera Barat oleh Tanabe
dan kini Selat Panjang akan menjadi negeri tak bertuan. Aku yang hanya supir tidak
tahu, apakah hal ini baik atau buruk. Benar, rakyat disini tidak harus menghadapi
kebiadaban Jepang, tetapi negeri tak bertuan rentan dijajah rakyatnya sendiri. Mereka
akan saling makan memakan, sampai mereka kenyang dan gemuk, sampai terbunuh
lagi. Demikianlah pemikiranku dan sekarang kami telah sampai di pelabuhan. Kupantau-pantau, mungkin selusin kapal angkutan Jepang sudah berjejer di
cakrawala. Yah, inilah mungkin terakhir kali aku akan bertemu si Goro dan senapan
Arisaka-nya. Semenjak aku masih mulai menyupir kompinya, ia sering memberiku
sebagian dari ransumnya atau beras jarahan. Mungkin karena itulah aku dan keluarga
masih bisa bernapas dan bekerja. Sebelum ia hendak berlabuh, ia memberiku
sebungkus rokok dan aku menghormatnya secara Jepang selayaknya ia Hirohito. Karena kepergian Jepang dari Selat Panjang, terpaksa mencari peruntungan
dengan menyeludup. Aku ikut si Ah-Lam, kapten kapal kayu yang hanya sekadar
mengapung. Bagian kapal yang tidak rusak hanyalah lambung kapal, pemisah antara
awak kapal dan air asin. Lautan dan samudera memanglah kejam, tetapi hal itu lebih
baik daripada mati kelaparan di jalanan, bersatu dengan tikus dan kecoa, dan
dikuburkan bukan untuk dihormat, melainkan dikubur untuk dibuang. Kematian
semacam itu membuat kehormatan manusia tidak lebih dari yang dimiliki sampah. ***
Hari itu matahari sudah di ambang terbenam. Ah-Lam membawa kapal ke suatu
dermaga kayu kecil di tengah rawa-rawa. Hanya ada satu gubuk sederhana yang
melayani dermaga itu. Seketika lambung kapal menyentuh dermaga itu, aku bergegas
jalan menuju gubuk kecil itu. Ternyata pos pemantauan Jepang. Segala hal di
dalamnya belum banyak tersentuh. Bendera Dai Nippon masih tergantung di dinding, tepat di atas meja kerja. Aku juga melihat peti-peti kayu yang tertutup rapi di depan
tempat tidur. Kucongkel peti itu menggunakan pisau. Isinya surat-surat pribadi
seorang kopral yang pernah ditempatkan disini. Kucoba mengerti isi surat-suratnya. Beragam isi dan suasana yang dibawakannya. Ada surat dari istrinya yang berusaha
melepas rindu, dari anak tunggalnya yang baru belajar menulis, dan dari ibunya yang
mengabarkan bahwa ayah sudah meninggal. Bersama surat-surat itu, kutemukan juga
foto-foto yang sudah dilunturkan oleh air mata si kopral. Namun, kehormatan untuk
berkorban, menderita di rawa yang busuk, keruh, dan di antah berantah ini untuk
kerajaan Dai Nippon lebih besar daripada keluarganya. Memang kegigihan dan
imannya untuk mengabdi bagi negara dan kerajaannya yang sedang di ambang
kejatuhan patut dibanggakan. Biarpun apa yang diperjuangkannya salah di mata seisi
dunia, setidaknya pendiriannya sekokoh Gunung Fuji dan pedalamannya berakar
dalam. Aku hanya bisa menerka-nerka apa yang akan dilakukan kopral itu jika ia
seandainya berhasil bersatu kembali kepada keluarganya, di saat Tuhan
mengehendaki perdamaian. Isi laci meja kerja tidak kalah bermakna. Mulai dari surat perintah umum, kabar harian tentang tanah airnya dan semua yang ditinggalkannya. Namun yang
menguasai isi laci itu adalah surat-surat dari pusat komando Tentara ke-25, beralamat
di Malaya. Ya, artinya yang menguasai isi laci itu adalah kejahatan perang dan
kebiadaban untuk Bumi Nusantara. Gubuk itu dapat dijadikan segudang alasan untuk
menggantung Yamashita di Pengadilan Internasional. Kumasukkan segepok surat
sebagai bahan bacaan untuk sisa perjalanan nanti.
Ah-Lam melihatku menjiwai surat-surat itu. Ia hanya tertawa dan
meninggalkan gubuk, menuju ruangan kecilnya di sebelah anjungan kapal. Memang
tidak ada ruangan untuk perasaan dan pemikiran di masa-masa seperti ini. Matahari yang terbit memaksa kami untuk menghidupi hidup. Kami mulai
merangkul-rangkul tali, menarik jangkar, dan membangunkan mesin kapal. Mulailah
kami berlayar balik menuju Selat Panjang, sepotong bumi yang masih bisa dianggap
rumah. Sesampainya, sudah ada setengah lusin gerobak yang dipandu masing-masing
seekor lembu yang sudah menunggu. Tidak ada waktu untuk istirahat. Saat
mengangkat sepeti wiski, kakiku tidak dapat lagi kurasakan. ***
Kakiku tidak kunjung membaik walau sudah dirawat betul. Istriku sudah merawat
dengan kesungguhan hati, namun memang demam parit perlahan mengalahkan
tubuhku. Ah-Lam juga sudah mencampakkanku. Sekarang kami hanya hidup dari
upah harian istri yang bekerja sebagai pembantu di sebuah praktik dokter. Sebetulnya, pembantu masih dianggap mewah dibanding apa yang sebetulnya dikerjakan istriku. Ia disana lebih diperlakukan seperti budak, dibentak dan dihajar jika sebutir debu
masih menempel di meja ruangan tunggu. Gelar manusia hanya berlaku kepada
mereka yang setara. Mereka pun mendewakan dan menjilat-jilat tuan mereka yang
memperlakukan mereka seperti babi, hanya demi harta dan jabatan. Namun aku tidak
lagi berhak melarang. Hak itu hilang ketika aku juga kehilangan kakiku. Dunia masih
belum cukup indah untuk memungkinkan kita untuk bekerja jujur dan memanusiakan
manusia.Hari-hari kuhabiskan dengan menulis. Barangkali aku bisa membantu rumah
tangga dengan menjual tulisan-tulisanku. Jika pun tidak, setidaknya aku mati
meninggalkan sesuatu. Memang menulis membawa kenikmatan sendiri. Kakiku tidak
bisa membawaku kemana-mana, namun pikiranku berkelana. Dua hari lalu ke pasar-
pasar di Marrakesh, kemarin ke kastil-kastil Bavaria, hari ini Selat Panjang. Daun
bisa tumbuh seluar bumi, namun akar tetap tumbuh dari rumah. Di masa itu, memang
banyak yang menulis tentang kebebasan, kemerdekaan, dan kemanusiaan. Sudah
cukup aku mengemban kepedihan, kini pikiran dan jiwaku hanya ingin lincah
berkelana, mengharap waktu-waktu di mana Tuhan lebih merestui kehidupan. ***
Kini kaki kiriku hanya tinggal tumpul. Penyakit lama sudah hilang namun yang lain-
lain timbul. Cahayaku sudah redup, tinggal menunggu padam. Sementara Perang
Dunia II sudah mendekati akhir. Kekuasaan Nazi sudah musnah di Jerman, sedangkan
Hirohito sudah menyerah tanpa syarat setelah daratan Honshu dihantam dua bom
atom. Kini, negeri jajahan dipaksa menyapu segala kekacauan yang disebabkan
negeri pengerecok. Meski berlusin-lusin jenderal Jepang digantung, penderitaan
pribumi Nusantara tidaklah berkurang. Kita suka menghukum mereka yang
melanggar, tetapi lupa akan nasib mereka yang terlanggar.
Komentar
Posting Komentar