T.Salsabila Hemerinda_Jejak-jejak Warisan di Tanah Nusantara_SMAS Plus
Taruna Andalan
Jejak-jejak Warisan di Tanah Nusantara
Mentari pagi menyemburat malu di antara sela-sela dedaunan pohon jati yang
tumbuh rapat di kaki Gunung Lawu. Embun menggantung pelan di ujung-ujung
daun, seolah enggan melepaskan diri dari keheningan fajar. Aroma tanah basah dan
sisa dupa semalam masih tercium dari pendopo kecil di sudut desa para penari
remaja tengah berlatih tari Gambyong. Di sinilah Saka bermula, seorang pemuda
yang haus akan makna di balik warisan leluhur yang tersembunyi dalam ragam
budaya bangsa.
Saka adalah mahasiswa Sastra Nusantara di Universitas Gadjah Mada (UGM),
Yogyakarta. Sejak kecil, ia telah terbiasa mendengar dongeng dari sang nenek
tentang kerajaan-kerajaan kuno yang mengisahkan kesaktian para tokoh masa lalu
dan bagaimana budaya menjaga roh sebuah bangsa tetap hidup. Ketika banyak
orang yang memandang budaya hanya sebagai tontonan atau objek wisata, Saka
melihat budaya sebagai ruh yang mengalir dalam kehidupan. Diam-diam, budaya
menyelinap dalam tawa, percakapan, bahkan tangisan manusia. Bagi Saka, budaya
bukan sekadar pertunjukan atau peninggalan mati yang dipamerkan di museum.
Budaya adalah sesuatu yang hidup, bernapas dan tumbuh bersama mereka yang
menghargainya.
Suatu hari, kampus Saka mengumumkan adanya program ekspedisi budaya. Saat
mendengar pengumuman itu, Saka tahu bahwa inilah jalannya. Ia tidak ingin hanya
sekedar mencatat dari balik meja, Ia ingin mengalami semuanya secara langsung.
Saka ingin menjadi saksi hidup keindahan dan makna yang kerap terlewat dalam
hiruk-pikuk zaman. Ia yakin bahwa ekspedisi ini adalah perjalanan jiwa karena di
balik setiap seni dan tradisi, terdapat jiwa yang menghidupkan identitas bangsa.
Maka berangkatlah ia bersama rombongan, membawa buku catatan, kamera tua,
dan rasa lapar akan cerita.
Perjalanan pertama membawa Saka dan rombongan ke Toraja, Sulawesi Selatan.
Sesampainya di sana, udara sejuk pengunungan menyambutnya bersama kabut tipis
yang menggantung di antara rumah-rumah tongkonan yang menjulang megah.
Kebetulan, mereka datang saat upacara Rambu Solo sedang berlangsung. Dari
kejauhan, prosesi pemakaman yang megah dan sakral membuat Saka tertegun.
Di balik kemegahan itu, ia melihat cinta dan kesetiaan. Suara gendang dan
teriakan khas Toraja menggema di langit. Peti mati diusung oleh para pria yang
mengenakan pakaian adat. Keluarga besar berkumpul dengan air mata dan doa.
“Ini bukanlah perpisahan, melainkan penghormatan. Ini cara kami merawat
hubungan bahkan setelah kematian,” ujar Yohana, seorang gadis Toraja yang
menjadi pemandu rombongan.
“Kami selalu sepakat bahwa arwah leluhur mesti diantar dengan layak agar
sampai ke Puya, alam baka,” tambah Danu, pria Toraja yang turut mendampingi.
Saka mencatat semuanya dengan penuh perasaan: detail ukuran rumah
tongkonan yang megah, patung-patung yang tampak hidup, tawa dan tangis
keluarga, nyayian pengantar jiwa, hingga simbol-simbol ukiran di tiang rumah. Ia
belajar bahwa kematian di Toraja bukanlah akhir, melainkan pintu menuju
kehidupan baru. Seluruh komunitas menjadi bagian dari perjalanan itu. Ia
menyaksikan eratnya hubungan antara masyarakat Toraja dengan leluhurnya,
hubungan yang ditopang oleh nilai moral, keyakinan, dan tata cara hidup yang
diwariskan secara turun-temurun.
Dari Toraja, perjalanan berlanjut ke Sumba, Nusa Tenggara Timur. Di bawah
langit biru dan sabana kering yang membentang luas, mereka bertemu dengan Ina
Rambu, seorang penenun ikat tradisional yang telah melestarikan metode menenun
warisan ibunya selama puluhan tahun.
“ Benang ini seperti hidup manusia,” ujar Ina sambil menunjuk motif yang tengah
ia selesaikan. “ Kalau tidak sabar, benangnya kusut. Kalau tidak paham maknanya,
warnanya salah.”
Saka dan rombongan diajak tinggal di rumah Ina selama berada disana. Rumah
itu sangat sederhana, berdinding kayu, dan beratap rumbia, namun menyimpan
kekayaan budaya yang tak ternilai harganya.
"Menenun bukan hanya tentang benang dan warna. Ini adalah bahasa kami, doa
kami, kisah kami," kata Ina Rambu lembut, sementara jari-jarinya menari lincah di
atas alat tenun.
Mereka terkesima oleh motif-motif yang sarat narasi tentang kehidupan, kerja
keras, mitologi lokal, dan hewan-hewan yang enjadi symbol. Warna alami dari akar
dan dedaunan menciptakan keindahan yang tidak dapat ditiru oleh mesin. Kain itu
adalah identitas. Proses panjang dan rumit ini mengajarkan bahwa warisan budaya
tidak bisa sekadar diwarisi, tetapi harus dibudidayakan melalui kesabaran,
ketekunan, dan cinta.
Di bawah sinar bulan dan cahaya temaram, mereka duduk bersama keluarga Ina
Rambu di rumah kayu. Api unggun menyala, dan lagu-lagu tradisional dimainkan.
Saka meneteskan air mata. Lagu-lagu itu, meski dalam bahasa yang tidak
sepenuhnya ia pahami, berbicara langsung ke hatinya. Mereka merasa seperti
sedang membaca puisi tentang hujan, panen, dan cinta, dan kehilangan. Ia pun
memahami kedalaman dan kekayaan warisan leluhur.
Setelah satu hari tinggal bersama Ina, Saka menyadari bahwa tiap helai ikat
adalah manuskrip kisah yang ditulis dengan warna, bentuk, dan ketekunan. Mereka
belajar cara menumbuk akar untuk menghasilkan pewarna alami dan mencoba
menenun, meskipun jemari mereka masih kaku. Di tengah kesederhanaan rumah
Ina, Saka merasa kaya. Kaya akan makna dan warisan yang tidak bisa dibeli, hanya
bisa diwariskan.
Perjalanan berlanjut ke Jawa Tengah, tepatnya ke desa Mangkunegaran. Di
pendapa keraton, suara gamelan menyambut seperti doa yang mendayu. Anak-anak
muda berlatih karawitan dengan penuh semangat. Mereka memainkan gender,
saron, dan bonang di bawah terik matahari siang.
“ Nada dalam gamelan adalah cermin batin. Kalau hatimu gaduh, kau tidak akan
bisa memainkannya dengan benar,” ujar Pak Mulyo, seorang empu gamelan.
“Setiap nada memiliki jiwa, irama, doa, dan tangga nada di dalamnya,” lanjutnya
sambil memejamkan mata, menyatu dengan alunan nada.
Di dalam gamelan, mereka merasakan harmoni yang tak terucapkan, menjalar
jauh ke dalam jiwa. Saka juga belajar tentang keseimbangan, tentang bagaimana
satu nada mampu menenangkan, menjadi pelipur, pengingat, sekaligus penghubung
antar generasi.
Malam semakin larut dan dingin. Tidak ada angin yang berhembus. Hanya
gamelan yang terus mengalun lirih, menceritakan kisah yang tidak pernah hilang
meski zaman terus berubah.
Sebelum kembali dari Jawa, mereka singgah di Cirebon, kota pesisir yang kaya
akan akulturasi budaya. Mereka menyaksikan motif batik megamendung yang
menari di atas kain putih, seperti awan yang melayang di langit biru. Di warung Bu
Ratna, mereka menyaksikan Tari Topeng Kelana dimainkan penuh penghayatan.
Setiap topeng adalah cerita, setiap gerakan adalah pesan dari masa lalu. Usai
pertunjukkan, mereka bertemu Bu Ratmi, sang penari. Ia telah puluhan tahun
mementaskan Tari Topeng Kelana.
“ Topeng ini adalah lambang emosi, kekuatan, dan pesan kehidupan,” katanya
sambil memperlihatkan koleksi topengnya.
“ Ketika aku menari, aku tidak sendiri. Aku membawa arwah para pendahulu,
membawa pesan yang harus disampaikan,” ujar Bu Ratmi.
Mereka menulis pemahaman baru itu dengan rasa kagum dan haru. Saka sadar
dalam setiap warisan budaya, hidup jiwa kolektif bangsa, meski kerap terlupakan.
Destinasi terakhir adalah Wamena, Papua. Alam di sana berbicara lewat suara
keras namun jujur. Mereka disambut dengan tarian perang yang menggugah. Anak-
anak kecil menari dengan wajah dicat tanah, tubuh dihias rumbai-rumbai, dan kaki
menghentakkan tanah dengan ritme. Nyanyian tradisional menggema dari rumah
honai ke rumah honai.
Seorang tetua Suku Dani berkata, “ Tarian kami bukan hiasan, melainkan sejarah.
Dalam setiap hentakan kaki, ada pesan, peringatan, kekuatan.”
Mereka juga menyaksikan bakar batu, di mana masyarakat memasak bersama
sebagai wujud syukur dan kebersamaan. Dalam kehangatan uap dan aroma
makanan, Saka melihat wajah-wajah yang saling percaya.
“ Kami tidak punya banyak, tapi kami punya satu sama lain “ ujar seorang warga.
Kebersamaan di Papua mengajarkan mereka makna sejati gotong royong.
Budayanya, mereka pahami, adalah perekat, bukan sekadar warisan benda.
Saat kembali ke Yogyakarta, Saka tidak lagi menjadi orang yang sama. Saka
membawa ribuan catatan, ribuan rasa. Saka bukan hanya menulis untuk lomba, tapi
untuk hati yang tersentuh oleh warisan agung. Ia menyusun puisi, cerpen, refleksi.
Ia menulis dengan jiwa yang penuh, menumpahkan seluruh pengalaman dan
pengetahuan yang di dapatkannya dalam satu naskah sastra, ia membiarkan tiap
kata menjadi tali yang merangkai nilai-nilai mulia yang dia temui. Seakan menjadi
juru bicara dari suara-suara kolot budaya yang nyaris tenggelam oleh modernisasi,
dia memberi judul karya itu dengan “Jejak-jejak Warisan di Tanah Nusantara.”
Sebuah upaya kecil untuk menyuarakan bahwa budaya bukanlah kenangan,
melainkan identitas hidup yang terus mengalir dalam darah bangsa. Naskahnya
kemudian dia kirim ke lomba tingkat nasional. Beberapa bulan kemudian, dia
diundang untuk membacakan sebagian karyanya di Taman Ismail Marzuki. Di sana
Saka berdiri dengan percaya diri, membacakan karyanya dengan suaranya yang
bergetar. Tapi ia tidak gentar. Di hadapannya duduk para seniman, budayawan, dan
anak-anak muda yang mungkin belum pernah melihat apa yang telah ia saksikan.
Ia ingin mereka tahu, bahwa di balik setiap tarian, lagu, tanunan, dan upacara, ada
warisan yang sedang menunggu untuk dikenali kembali.
Dia bercerita tentang suara-suara gamelan, tentang benang yang ditenun dengan
cinta, napas leluhur yang masih hidup dalam tarian dan nyanyian. Ketika
pembacaan karyanya usai, tepuk tangan menggema. Saka tak hanya berhasil
bercerita, tetapi juga bangun sadar. Banyak yang mendekatinya, banyak yang
mengucapkan terimakasih. Terimakasih telah membawa suara-suara budaya dari
penjuru negeri ini ke tengah kota. Dalam goresan tintanya, dia tak hanya menulis,
dia menghidupkan kembali warisan yang membentuk kita sebagai bangsa.
Indonesia bukan hanya sekadar negara kepulauan. Indonesia adalah rumah bagi
berjuta-juta warisan suara yang menunggu untuk dihargai, dijaga dan diteruskan.
Dan Saka, melalui tintanya, telah menjaga agar nyala itu tetap menyala.
0 Komentar