Senandika di Tubir Zaman - Tesa Aulia Putri



 (Tesa Aulia Putri_Senandika di Tubir Zaman_SMAS Plus Taruna Andalan)


Senandika di Tubir Zaman


Malam menyulam langit dengan benang-benang kemerlap bintang. Cahaya

rembulan menyapa malam. Desir angin membelai wajahku. Aku terduduk di

depan jendela yang sengaja dibuka lebar. Pikiranku gencar ke sana ke mari

memikirkan hiruk-pikuk dunia. Namaku Mayang Mahsuri, kerap disapa Maya.

Lamunan malam itu membawaku terlelap dalam damai.

Obrolan samar menembus dinding keheningan di dini hari. Aku berniat


mengambil secangkir air putih di dapur kayu di atas rumah panggung. Sayup-

sayup, mata bulat dan lentikku menangkap sileut sejoli yang sedang berbincang


hangat di balik tirai putih yang menjadi pembatas antara dapur dan ruang tamu.

Lampu minyak temaram yang kala itu menjadi penerang. Langkah kecilku

membawa ke dalam lingkar hangat sejoli itu. Sepatah dua patah kata yang

dilontarkan terdengar asing namun tersirat makna di dalamnya. Ya, itu pantun.

Aku sering mendengar orang tuaku saling melempar kata demi kata di berbagai

malam sebelumnya. Namun tidak dapat dipungkiri, aku kesulitan mencerna

ucapan kedua orang tuaku.

“Eh sini Nak,” ajak Abah menepuk karpet lapuk di sisinya. Aku

mengambil posisi nyaman bersiap mendengar cerita malam ini.

“Rutinitas tiap malam ya, Bah? Seru banget keliatannya,” tanyaku yang

sudah tau jawabannya.

“Mau ikut gabung?” bisa kulihat di mata sayu milik Abah bahwa beliau

ingin sekali mengajariku berpantun.

Aku sering melihat Abah dan Emak pergi ke balai bersama warga lainnya.

Mereka berkumpul, membawa bekal dan cerita. Hal tersebut sudah mendarah

daging bagi masyarakat setempat. “Pantun itu bukan untuk disimpan, tapi untuk

dihidupkan.” Itu kata Abah beberapa pekan yang lalu. Kata-kata Abah mampu

membungkam pikiranku. Aku merasa masih sangat awam terhadap budaya


berpantun, walaupun aku lahir di tanah Melayu yang sangat kental dengan budaya

tersebut.

Pagi yang cerah saat matahari mulai memancarkan cahayanya. Aku

berjalan menelusuri pasar bersama Emak. Dan tepat di depan pedagang lontong

sayur, Emak bersajak kepadanya. Lantunan itu mengalir begitu saja. Murni dari

hati. Aku merasa terhubung dengan rima dan sajak yang mereka ungkapkan.

“Jalan pelan naik pedati,

Di ujung jalan bertemu si tua,

Perut ini sudah bernyanyi,

Lontong sayurnya dua.”

Nimbrungku di tengah senandung ria Emak dan pedagang lontong.

Keduanya terlihat kaget, lalu tertawa mendengar ucapanku barusan. Pantun itu

sering Emak ucapkan ketika berbelanja di pasar. Anak seusiaku jarang yang

bersajak. Hanya sesepuh dan terkadang se-generasi dengan Emak yang sering

melakukannya. Emak sering bersajak di mana pun ia berada.

"Kamu tau di zaman yang akan datang, berpantun akan menjadi hal yang

asing di kehidupan masyarakat. Karena mereka mulai meninggalkannya. Lihat

sekarang yang berpantun hanya sesepuh dan orang yang seperti Emak saja.

Gimana nanti di generasi yang mendatang?" celoteh Emak setelah meletakkan

sayur buncis ke dalam baskom retak.

"Iya Mak. Aku ingin mahir dalam berpantun. Tapi aku bingung harus

memulai dari mana?" tanyaku dengan rasa malu.

"Sana, tanya Abahmu, May." ucap Emak menyuruhku untuk menemui

Abah. Abah dikenal sebagai anak sastra yang tumbuh dari benih syair. Kuseret

langkah kecil menuju serambi depan, tempat favorit Abah ketika sedang

menganggur. Samar-samar aku mendengarnya lagi. Alunan rima menari-nari di

udara. Aku sangat hafal, suara bariton itu. Kutepuk bahu ringkih Abah.


Abah kaget karena tindakanku. “Mayang! Kamu bikin jantung Abah

pindah posisi,” Aku tertawa cekikikan karena ekspresi milik Abah. “Maaf, Bah.

Aku mau cerita boleh gak?” tanyaku bersamaan dengan helaan napas. Abah

menyodori segelas teh hangat untukku. Setiap aku ingin cerita, Abah selalu

menawarkanku berbagai minuman di hadapannya.

Pantun dari para leluhur harus diwariskan di masa depan. Abah

memberiku sebuah kropak kayu yang sudah usang. Kropak kayu itu Abah simpan

di bagian atas rumah panggungku. Aku mendapati lembaran daun lontar dengan

puluhan pantun yang ditulis menggunakan pengrupak. Kiasan bahasa

terperangkap di dalam. Kujelajahi satu demi satu lembar. Hingga aku tertarik

mempelajari isi pantun tersebut.

“Itu punya mbahmu dulu,” ucap Abah dengan getir. Tanganku masih sibuk

menjelajahi lembaran daun lontar. “Berarti turun-temurun ya, Bah?”

“Ya! Memang seperti itu budaya. Abah yakin kamu bisa melakukannya,

Mayang. Berpantunlah seperti angin, anakku, membawa kata ke setiap penjuru

dunia, teruskan tradisi yang tak pernah padam.” putus Abah dengan percaya

kepadaku. Sejak kecil, aku diajari bahwa setiap bait pantun bukan sekadar

candaan semata, melainkan titipan zaman yang di dalamnya tersimpan petuah,

terjaga jejak bahasa yang membentuk jiwa bangsa.

Selama beberapa minggu berguru dengan Abah, aku merasa ada sesuatu

yang aneh dalam diriku. Kata-kata aneh terlontar begitu saja, tanpa diskusi dengan

pikiranku. Aku mampu berpantun tanpa perlu menghafalkannya dari jauh-jauh

hari. Suatu kemampuan yang harus kuapresiasi. Namun, tahun demi tahun aku tak

lagi menemukan insan melontarkan kata-kata aneh. Bagaikan hilang ditelan bumi,

pantun itu lenyap. Perkataan Emak kala itu nyata. Yang biasanya tradisi, menjadi

asing untuk dikenali. Manusia mulai sibuk. Mereka menukar pantun dengan


kalimat gaul dan modern, menggantikan dengan lirik lagu cinta yang diulang-

ulang. Pantun terkurung di masa lalu.


Abah pernah berkata, “Budaya itu seperti api unggun. Kalau tak ada yang

menjaga, ia padam pelan-pelan.” Aku seperti berada di tengah kegelapan sambil

memegang setangkai obor, mencoba menyalakan kembali api itu meski diterpa

angin zaman. Aku sebagai orang terakhir yang memeluk warisan itu. Tak ada lagi

yang menantangku berbalas pantun sambil memasak gulai ikan patin, tak ada lagi

tawa riuh saat bait lucu terlempar tanpa isyarat. Kini pantun seperti relik tua,

indah tapi asing.

Aku merasa sebuah gigitan sengit di pipiku. Secara spontan, tanganku

melayang ke pipi. Tubuhku terlonjak kaget. Aku terbangun dari mimpi panjang

dengan napas tersenggal-senggal. Kejadian masa lalu di mimpiku seperti memberi

alarm untuk membangun budaya berpantun yang sedang tertidur. Dengan mata

berkunang-kunang, kaki ini melangkah mantap menuju meja belajar. Aku harus

melakukan sesuatu untuk menghidupkan kembali yang hampir pergi. Tanganku

sibuk menari-nari di atas papan ketik laptop. Seperti air menemukan celah, naluri

mengetikku mengalir tanpa ragu di antara huruf-huruf yang menunggu.

Aku memutuskan menulis pantun lewat media digital, lalu

memublikasikannya di website resmi. Beberapa minggu kemudian, karyaku viral.

Beberapa dari mereka bahkan juga ikut mempelajari budaya-budaya Melayu Riau

yang lainnya. Sejak saat itu, di sudut belahan dunia, orang-orang mulai bersajak,

berima, bukan dari AI, namun dari nurani. Aku dipanggil pemerintah daerah

untuk berkolaborasi membentuk karya baru.

“Mayang, bagaimana jika kita membuat sesuatu yang mampu menambah

minat masyarakat untuk mempelajari lebih dalam mengenai pantun?” seperti

tersengat listrik, jantungku berpacu lebih cepat setelah mendengar ucapan Pak

Teguh.

Pelan tapi pasti. “Iya, Pak. Saya mempunyai ide! Bagaimana dengan

festival seni atau lokakarya? Nanti kita bisa menunjukkan berbagai budaya

Melayu Riau lainnya!” antusiasku akan proyek yang nantinya akan dilaksanakan.

“Ide yang bagus. Nanti saya coba pertimbangkan lagi mengenai proyek ini.


Terima kasih atas masukannya, Mayang.” Pria berjas hitam itu sangat senang

mendengarkan ideku. Aku beruntung bisa menjalin kerja sama dengan beliau.

Di festival seni hasil kolaborasi antara aku dan Pak Teguh. Aku maju ke

atas panggung untuk memberi kata sambutan.

“Air tenang jangan disangka,

Dalamnya menyimpan rahasia lama,

Kalau budaya tak lagi dijaga,

Bisa hilang jiwa nusantara.”

Dipanggung itu, suara pantun dan musik zapin sayup berpadu dalam satu

alunan. Pantun kembali hidup. Si pantun yang mengendap dalam senyap, akhirnya

pulang sebagai irama yang di rindukan. Selama ada cinta dan tekad menyuarakan

warisan, goresan apa pun, baik digital maupun tradisional akan menjadi jembatan

antara masa lalu dan masa depan.

Posting Komentar

0 Komentar