Syaharani Khirana Larasaty
SMAS IT Mutiara
Di Akhir Senja
Hujan penuh ambisi menghujam bentala. Ombak menerjang pasir pantai. Suara derai
hujan dan deburan ombak sahut-menyahut.
"Kau sementara di Rupat saja. Aku mempunyai tugas untukmu."
Aku diam, berusaha mencerna kalimat Pak Johan.
"Amir, kau mendengarkanku?"
"Tugasnya apa, Pak?" tanyaku.
"Kau harus memimpin proyek besarku di Rupat," jelas Pak Johan.
☘
Aku ragu dengan proyek ini. Pak Johan ingin membangun tempat hiburan di dekat
menara suar. Lebih tepatnya, tempat hiburan malam. Aku menimbang, apakah proyek ini harus
aku ambil atau tidak.
Jika tidak aku ambil, aku rugi. Jika aku ambil, aku khawatir akan respon masyarakat
setempat. Hiburan malam sangat berbanding terbalik dengan adat-istiadat di sini. Aku belum
menyetujui proyek ini. Keraguan terus menghantuiku, dari mataku terbuka dan kembali
terpejam.
☘
Satu-persatu alat berat sudah tiba di lokasi proyek. Aku memutuskan untuk menangani
proyek ini. Menurutku, kota kelahiranku ini sudah terlalu kuno, ketinggalan zaman. Sudah tak
cocok lagi dengan perkembangan zaman. Sudah tak cocok lagi dengan tren anak muda.
Aku belum memberitahu ibu mengapa kali ini aku akan tinggal di Rupat untuk sementara
waktu. Aku akan mengatakan ke ibu nanti, di waktu yang tepat.
Kesiur angin laut membangunkan bulu kudukku. Mentari terbenam di ufuk barat menara
suar merupakan pemandangan terindah yang paling aku sukai. Sedari kecil aku paling gemar
menatap mentari yang lambat laun bersembunyi di barat.
☘
Aku tengah duduk di teras rumah, mengisap sebatang rokok. Terdengar suara tapak kaki
yang semakin mendekat. Aku melihat ibu membawa ubi goreng dan secangkir kopi hangat. Aku
tersenyum pada ibu, menyambut bawaan ibu dan menyeruput kopi hangat buatan ibu. Tangan
ibu memang tak pernah salah, batinku.
"Katanya, taman hiburan akan dibangun ya.. di dekat menara suar?" tanya ibu.
Ini waktu yang tepat untuk membahasnya dengan ibu.
"Iya, Bu. Ibu kenal siapa yang akan memegang proyek itu?"
Ibu tampak bingung dan sepersekian detik kemudian menggeleng kecil.
"Yang memegang proyek ini ganteng lo, Bu. Ibu mau Amir kenalkan?" Aku menahan
tawaku yang bisa meledak jika tidak aku tahan.
"Lo, kamu ini. Gak ada yang lebih ganteng dari bapakmu. Coba Ibu lihat mukanya seperti
apa dulu."
Aku tertawa kecil mendengar penuturan ibu. Aku membuka handphone-ku dan mencari
fotoku yang paling menawan.
"Ini Bu, orangnya." Aku menunjukkan layar handphone-ku kepada ibu.
"Aii lawonye budak nii. Kata Ibu siapa tadi!" Ibu tertawa menepuk pundakku.
"Hehehe... gantengkan Bu penanggung jawabnya." Aku tersenyum tengil. Ibu hanya
mengangguk sebagai tanda persetujuan.
"Taman hiburan seperti apa yang mau dibangun, Mir? Seperti Ancol yang ada di Jakarta
Utara itu ya?" Ibu melontarkan pertanyaan. Tampaknya ibu tertarik dengan proyek ini.
"Tidak, Bu. Lebih tepatnya seperti tempat hiburan malam. Tempat bernyanyi dan
berjoget ria," jelasku pada ibu.
Ibu mencerna kalimatku barusan, melayangkan tatapan kebingungan tanda beliau tidak
paham dengan perkataanku.
"Maksudmu, Mir? Tempat hiburan malam seperti apa?" Ibu kembali bertanya.
"Seperti bar, Bu. Tempat orang ber-DJ dan bersuka ria."
Aku melihat ekspresi ibu berubah. Sepertinya ibu tak senang dengan jawabanku barusan.
"Bar katamu?" Ibu kembali memastikan jawabanku. Aku mengangguk, dan sepersekian
detik kemudian ibu telah dipenuhi oleh rasa amarah.
"Apa maksudmu, Amir? Bar katamu? Apa kamu gila?!" Ibu menganggkat satu alisnya,
tanda bahwa ia tak setuju dengan pembngunan tempat hiburan ini.
"Gila bagaimana, Bu? Bukannya bagus bar dibangun di sini? Anak muda akan
berbondong-bondong datang ke sini."
Ibu mengerutkan keningnya.
"Bagus?! Bar itu melenceng dari adat istiadat kita, Amir! Kenapa kamu mau mengambil
proyek ini? Apa kamu melupakan ajaran Bapak dan Ibu dulu?" Ibu menyipitkan matanya. Ia
berdiri dan menyilangkan kedua tangannya di dada.
"Apa salahnya, Bu. Zaman sudah modern dan anak-anak muda pasti mencari tempat
hiburan."
"Kamu gila, Amir! Itu tidak hiburan tapi kemaksiatan! Bar itu tempat penuh dosa! Ibu
tidak mau kamu pegang proyek ini." Ibu mengalihkan pandangannya padaku.
"Aku akan rugi, Bu. Proyek ini menguntungkan. Ibu nanti juga dapat jatah dariku." Aku
bersikeras mempertahankan pendapatku.
"Tidak, Amir. Ibu tidak butuh uangmu! Ini sudah melanggar adat-istiadat kita."
Aku heran mengapa ibu terus membahas adat istiadat.
"Kenapa Ibu selalu menghubungkan dengan adat-istiadat? Tak ada hubungannya , Bu!
Aku hanya akan membangun tempat hiburan. Tradisi kita akan terus kita lakukan!" Nadaku
mulai meninggi.
"Tidak ada kaitannya katamu, Amir? Bar itu bukan tempat yang baik! Melayu selalu
selaras dengan ajaran Islam. Bar tempat orang-orang berbuat dosa! Walaupun kamu hanya
membangun tempat itu tapi kamu sudah menjadi jembatan untuk orang-orang melakukan
maksiat.
Kamu seharusnya menolak! Kamu Ibu ajarkan ajaran Islam. Adat kita berlandaskan
hukum Islam. Harusnya kamu tahu itu! Menarik anak muda tidak harus dengan kemaksiatan.
Ibu takkan setuju jika Amir yang memegang proyek itu. Itu sama saja Amir mendukung
tempat tercela seperti itu. Ibu tak mau tahu! Amir harus keluar dari proyek itu dan
menghentikannya."
Ibu masuk rumah dengan muka masam. Aku terdiam mencerna perkataan ibu. Malam
kian larut. Ombak tampaknya juga dipenuhi rasa amarah sehingga terus menerjang bebatuan bak
banteng kesetanan.
☘
Udara siang ini terasa lebih panas. Sudah dua hari aku dan ibu diam membisu. Aku sudah
berusaha mengajak ibu bicara. Ibu tak mau. Sepertinya aku harus berhenti.
Ibu benar. Tempat hiburan malam itu bertentangan dengan tradisi masyarakat. Tamak
membuatku buta. Aku tak tahan berdiam seperti ini dengan ibu. Malam ini aku putuskan untuk
berbicara dengan Pak Johan. Aku lebih memilih rugi daripada hubunganku dan ibu semakin
berjarak dan rusak.
☘
Amir berdiri menatap bangunan bar yang baru berupa tiang-tiang. Angin laut semilir
mempermainkan rambutnya. Mentari senja terbenam ke dalam sagara biru. Tempat hiburan
malam itu akan tenggelam dimakan waktu.
☘☘☘
0 Komentar