Nama : Dewi Karla Assifa
Sekolah : SMAN 2 Mandau
Larik Yang Terlupakan
“Sudahlah nak, kami semua sudah tidak lagi percaya dengan budaya-budaya
itu. Apa gunanya budaya kalau perut kami lapar? Apa gunanya pantun kalau tanah
tandus dan hasil kebun gagal panen?” ujar seorang lelaki tua tersebut. Suaranya
pelan tetapi seperti desir debu yang menusuk.
Suhaili percaya, bencana ini bukan soal alam semesta, melainkan soal lupa.
Lupa pada akar, lupa pada sejarah dan lupa pada larik yang dulu menjadi jembatan
antara manusia dan alam semesta.
Kisah ini bermula ketika Suhaili seorang mahasiswa sastra dari kota
Pekanbaru yang mendapat tugas meneliti budaya Melayu Riau yang terdapat
dikampung Tanah Bertuah. Kebetulan kampung tersebut juga merupakan tempat
dimana neneknya tinggal dahulu. Bermodalkan sebuah buku tua yang diwariskan
oleh neneknya dan secarik kertas yang sudah menguning karena waktu, Suhaili tiba
ditanah tersebut dengan rasa kerinduannya.
Betapa terkejutnya dia mengetahui kampung yang dulunya subur, hijau, dan
penuh nyanyian alam, kini berubah menjadi tanah yang tandus dan kelu. Kampung
neneknya yang dahulu ia kunjungi semasa kecil, di mana ia pernah berlarian di
antara kebun-kebun dan pohon jambu air, tempat ia mendengar syair, pantun, dan
kisah-kisah lama sambil duduk di pangkuan tua itu, kini nyaris tak dikenalnya lagi.
“Dimana syair-syair itu? Dimana pantun dan gurundam yang selalu terdengar
ditelingaku saat sedang makan dengan nenek dahulu?” lirihnya yang terdengar oleh
tetangga-tetangga kampung. “Sudahlah nak tidak ada lagi yang melanjutkan
begituan, kami disini sudah susah payah bertahan hidup, apalagi untuk hiburan
seperti itu, hanya akan membuang waktu saja!” tegas seorang ibu muda yang
sedang memegang tangan putrinya yang masih balita. Pemuda itu terdiam, menatap
sang ibu yang berbalik badan dan membawa anaknya pergi. “Hiburan,” ulangnya
dalam hati. Seolah pantun dan gurundam yang diwarisi ratusan tahun itu kini hanya
mereka anggap sebagai penghibur belaka, bukan ruh yang membentuk jati diri
bangsa.
Langit malam masih menggantung mendung, meski hujan belum turun.
Suhaili memutuskan untuk bermalam dirumah neneknya. Rumah panggung dari
kayu meranti tua, warnanya telah memudar dimakan musim. Namun, tetap teguh
seperti kenangan yang enggan pergi. Tiangnya masih kokoh mencengkram bumi,
seolah tak rela tercabut oleh akar sejarah yang melahirkannya. Rumah yang beratap
seng karatan dan beberapa bilah rumbia yang masih tersisa bersahaja, namun setiap
celahnya tersimpan banyak cerita. Pemuda itu duduk di ruang tengah keluarga. Di
hadapannya, secangkir kopi hitam pahit mengepul tipis, berdampingan dengan
beberapa potong goreng pisang yang ia beli dari warung kecil di seberang jalan
menuju balai desa. Aromanya sederhana, namun cukup untuk menghangatkan sunyi
yang menyelinap di antara dinding-dinding kayu yang mulai renta. Suguhan itu
menjadi teman setia bagi Suhaili, yang kini tenggelam dalam rasa penasaran pada
buku-buku tua peninggalan sang nenek. Buku-buku bersampul lusuh, yang
sebagian telah menguning dimakan usia, namun tiap lembarnya seakan masih
berbisik lirih tentang masa silam yang belum selesai.
Jemarinya berhenti pada satu lembaran yang sudah tercabik setengahnya,
entah itu hilang atau memang seperti itu adanya, Suhaili tidak terlalu
memikirkannya. Didalamya tertera tulisan :
“Kalau kata tak lagi dilagukan, maka jiwa tak tahu pulang akan kemana.”
“Kenapa terasa seperti ada sesuatu yang belum selesai?” bisiknya dalam hati.
Saat itulah, suara langkah ringan terdengar dari luar. Sesosok kecil berdiri di
ambang pintu. Kanaya, gadis kecil yang sejak dari tadi mengintip diluar rumah
melihat Suhaili yang sejak tadi sibuk dengan buku tuanya. “Siapa? Masuk saja.”
Ucap Suhaili padanya. Kanaya mendekat, lalu duduk di tikar pandan, dan
memiringkan kepala kecilnya. “Abang ini apa?” tanya gadis kecil itu sambil
menunjuk buku yang ia baca.
Suhaili pun mulai menunjukkan kertas-kertas yang sejak tadi ia pegang. “Ini
namanya gurindam dek, pemberian nenek. Tetapi, ini sepertinya ada bagian yang
hilang.” Jawabnya. Kanaya pun mengangguk perlahan seakan ia sudah pernah
mendengarkan gurindam, hanya saja mungkin dia tidak tahu cara menyebutnya apa.
“Sama seperti yang Datuk bacakan di bukit itu ya bang? Kanaya pernah dengar
Datuk di bukit suka membacakan pantun dan gurindam. Mungkin dia punya yang
abang cari!”. Mata pemuda itu membesar. “Datuk? Siapa?” tanya Suhaili pada gadis
kecil itu. “Orang tua yang tinggal sendiri. Orang bilang dia pernah jadi guru syair,
tapi sekarang tak pernah turun dari bukit. Rumahnya dekat pohon beringin besar.
Tiap sore dia duduk sendiri, tulis sesuatu di kertas. Tapi orang kampung takut
mendekat.” Pemuda itu menatap wajah Kanaya yang bersih dan jujur. Ada getaran
di dadanya, seolah semesta membisikkan bahwa yang hilang mungkin benar ada di
atas sana.
Fajar masih malu-malu ketika pemuda itu dan Kanaya mulai mendaki. Embun
menyapa telapak kaki, udara mengantar harum daun-daun basah. Rumah Datuk itu
sederhana. Dindingnya dari papan, atapnya dari rumbia yang mulai lapuk. Tapi
halamannya bersih, dan sebuah batu pipih ada di depan rumah seperti tempat
sembahyang kuno. Di sana, duduklah seorang lelaki tua. Rambutnya putih berkilau,
wajahnya keriput penuh garis usia, tapi matanya masih menyimpan bara. Ia
menatap pemuda itu sejenak, lalu kembali menulis di selembar kertas lusuh. Tak
sepatah kata pun ia ucapkan. Pemuda itu mendekat perlahan. “Saya cucu Mak
Yam.” katanya hati-hati. Lelaki tua itu kemudian berhenti menulis. Ia mendongak
perlahan, seperti mendengar nama dari masa yang telah lama terkubur. “Mak Yam
yang pandai merangkai syair-syair?” Pemuda itu mengangguk, matanya mulai
basah. Lelaki tua itu perlahan berdiri, berjalan pincang ke dalam rumah, dan
kembali membawa kotak kayu tua. “Kalau begitu, ini pasti milikmu.” Ia pun mulai
membuka kotak itu. Di dalamnya terdapat gulungan-gulungan kertas, penuh tinta
dan tulisan tangan halus, terjaga rapi. “Gurindam yang kau baca belum selesai, Ini
larik terakhirnya.” kata Datuk pelan. Ia menyerahkan selembar kertas yang sudah
kekuningan. Pemuda itu pun mulai membacanya:
“Kalau hilang syair dan gurindam, maka bangsa pun hilang dalam diam. Jika
yang tua lupa mengajarkan, maka yang muda tak tahu mempertahankan.”
Saat pemuda itu selesai membaca, angin mendesir lebih kencang,seperti daun-
daun pun ikut mengamini. Dan langit, yang selama ini hanya mengancam dengan
awan, tiba-tiba luruh. Hujan turun, perlahan-lahan, membasuh tanah yang retak,
menyapa akar yang hampir mati. Kanaya berteriak gembira. “Hujan, abang! Lihat,
hujan!” Dari kejauhan, warga kampung mulai bersorak. Orang-orang keluar rumah,
menengadah ke langit. Mereka memandang ke arah bukit, dan beberapa mulai
mendaki, ingin tahu apa yang terjadi. Air kembali mengalir dari mata air yang dulu
telah mengering. Pohon jambu air di samping rumah nenek mulai bersemi. Dan
tanah yang tadinya tandus, mulai ditumbuhi oleh tunas-tunas hijau, seolah syair itu
telah menjadi doa yang membangunkan alam. Orang-orang menunduk, sebagian
menangis.
Sejak hari itu, kampung yang pernah kelu mulai bersuara kembali. Anak-
anak kembali melafalkan gurindam, para ibu menyelipkan syair dalam nyanyian
dapur, dan para tua berkisah lewat pantun yang hangat. Kampung Tanah Bertuah
kini bukan lagi tempat sunyi, melainkan panggung kata tempat sastra kembali
hidup, menyatu dalam nadi warganya. Suhaili tersenyum dari kejauhan. Ia tahu,
tanah ini telah menemukan dirinya kembali. Dan selama masih ada yang membaca,
budaya tak akan pernah benar-benar hilang.
0 Komentar