Jejak Tradisi di Ujung Hilir - Camilla Dwi Mudari


 

Jejak Tradisi di Ujung Hilir

Cerpen Karya: Camilla Dwi Mudari


Di sebuah desa kecil yang terletak di antara hamparan sawah yang luas dan subur, kehidupan masyarakatnya disana mengalir seperti aliran sungai yang tenang. Desa

itu begitu damai, seakan waktu berjalan lambat. Rintik hujan yang turun selalu

membawa cerita, sementara bencana yang datang meninggalkan luka dan

kehilangan. Namun, semuanya tetap berjalan dengan alur kehidupan yang telah

diwariskan turun-temurun. Di desa terdapat seorang pria tua bernama Mbah Seno. Ia sangat dihormati oleh seluruh warga desa. Usianya yang sudah lanjut bukan menjadi alasan orang-orang

menghormatinya, melainkan kebijaksanaan dan pengetahuannya tentang adat

istiadat yang memumpuni. Ia adalah penjaga tradisi, pelindung warisan leluhur. Suatu hari, untuk pertama kalinya, desa ini kedatangan tiga orang mahasiswa dari

kota yang datang untuk melakukan penelitian tugas akhirnya. Kehadiran mereka

menimbulkan keresahan bagi warga desa. Bagi sebagian orang, mereka dianggap

ancaman yang bisa mengganggu keseimbangan dan ketenangan desa. Namun, berbeda dengan warga lainnya. Mbah Seno justru menyambut mereka dengan

hangat. Hari pertama kedatangan mereka yang ternyata bertepatan dengan ritual adat yang

sangat penting yaitu upacara doa sebelum musim tanam dimulai. Warga

berkumpul di tengah sawah, memainkan alat musik tradisional, memanjatkan doa- doa kuno yang dilantunkan dalam bahasa daerah. Tiga mahasiswa itu Nisa, Laras, dan Wulan dengan penuh semangat mengikuti prosesi tersebut. Mereka lanhsung

membagi tugas, Nisa mewawancarai warga, Laras merekam momen dengan

kamera, sementara Wulan mencatat semua dalam buku jurnalnya.

Namun, suasana berubah ketika seorang warga, Pak Taryo, dengan marah

menghampiri mereka. "Apa yang kalian lakukan?! Ini acara sakral! Lebih baik kalian pergi saja sebelum

mengganggu lebih jauh!" bentaknya. Nisa segera mencoba meminta maaf, menjawab dengan sopan, "Maaf, Pak. Kami

tidak berniat mengganggu. Kami hanya ingin belajar dan menyaksikan tradisi ini

secara langsung. Kami akan jaga sikap kami." Beruntung, Mbah Seno segera turun tangan, "Sudahlah, Taryo. Mereka tidak

mengganggu. Biarkan mereka belajar. Bukankah tradisi ini lebih baik dikenal

daripada dilupakan?" Pak Taryo menggerutu, namun tak membalas. Sejak itu, benih ketidaksukaan di

hatinya mulai tumbuh. Hari-hari berlalu, dan walaupun banyak warga tetap

menjaga jarak, beberapa mulai terbuka. Anak-anak desa mulai mendekat, belajar

membaca dan menulis dari Wulan. Nisa dan Laras memperkenalkan teknologi

sederhana yang membantu pertanian dan kehidupan sehari-hari warga desa. Mereka tak hanya meneliti, tapi juga berbagi. Namun, karena mereka besar di kota, bahasa daerah menjadi tantangan terbesar mereka. Di sinilah Mbah Seno menjadi

guru. Ia rutin mengajarkan mereka kata-kata tua yang penuh makna, setiap sore

nya. "Terima kasih, Mbah," ujar Nisa di suatu sore yang hangat. "Sebentar lagi kami

akan kembali ke kota. Tapi kami akan menepati janji kami untuk membantu desa

ini menembus batas waktu dan zaman."

"Benar, Mbah," sambung Wulan, tersenyum. "Kami juga sudah mulai menulis

hasil penelitian kami didesa ini agar bisa dinikmati lebih banyak orang." Mereka tertawa bersama, tak menyadari ada seseorang yang menguping

pembicaraan itu: Pak Taryo. Mendengar percakapan itu, darahnya mendidih. Ia

mengira para mahasiswa ingin mengubah dan merusak tradisi, bukan

melestarikannya. Keesokan harinya, saat ketiganya hendak kembali ke kota, warga berkumpul

untuk mengantar. Namun, tiba-tiba Pak Taryo muncul dengan langkah cepat. Tanpa berkata-kata, ia merampas koper Nisa dan melemparkannya ke sungai. Semua terkejut. Teriakan pun pecah. "Apa yang kamu lakukan, Taryo?!" seru Mbah Seno marah. "Mereka hendak

pulang, kenapa kamu masih mengganggu?!"

"Karena aku ingin segala sesuatu yang ada di desa ini biar lah di sini, mereka

datang bagai kertas kosong dan harus pulang seperti itu juga! Dan Mbah malah

mendukung, aku mendengar semua percakapan kalian kemarin sore!" balas Pak

Taryo lantang, mencoba menghasut warga yang hadir. Namun tak satu pun dari mereka berani menentang Mabh Seno. Mbah Seno

melangkah maju, menatap Taryo dalam-dalam. "Taryo... sudah 80 tahun aku hidup di desa ini. Sejak kecil aku diajarkan menjaga

adat dan budaya. Tapi tahukah kau? Menjaga tidak berarti menutup. Menjaga

artinya memastikan ia tetap hidup, bahkan ketika kita sudah tiada." Sunyi menyelimuti kerumunan. "Anak-anak muda desa ini pergi ke kota. Mereka tak kembali. Siapa lagi yang

akan melanjutkan semua ini jika bukan mereka yang peduli? Mahasiswa- mahasiswa inilah yang membantu menyimpan budaya kita, menerjemahkannya, agar nanti saat cucu kita membaca atau mendengarnya kembali, mereka tahu asal- usul mereka." Pak Taryo diam. Tanpa sepatah kata, ia berlari ke hilir sungai mencari koper yang

telah ia buang. Untungnya, koper itu tersangkut di ranting pohon. Dengan tubuh

basah kuyup, ia membawa koper itu kembali kepada Nisa.


"Maafkan saya... saya salah menilai kalian. Saya hanya takut semua yang des aini

miliki hilang. Tapi saya sadar... saya justru hampir menghilangkan upaya kalian

yang ingin menyelamatkan desa ini." Nisa mengambil koper itu dan tersenyum lembut, "Tidak apa-apa, Pak. Ini semua

hanya salah paham. Kami pun paham betul bagaimana rasanya mencintai tempat

yang menjadi rumah seumur hidup."

"Tapi semua dokumen kalian..."

"Sudah tersimpan kok di ponselku," jawab Laras sambil tertawa lega. "Seperti

inilah Pak contoh, salah satu fungsi teknologi adalah menyelamatkan hal-hal

penting hehe." Akhirnya, mereka pun berpamitan. Suasana haru menyelimuti. Anak-anak

menangis, warga melambaikan tangan, dan Mbah Seno menatap mereka pergi

dengan senyum penuh harapan. Di jalan pulang, Mbah Seno berbisik pada angin yang berembus pelan, “Selama

masih ada yang ingin mencintai dan melestarikan budaya, maka budaya ini akan

terus hidup. Meskipun bukan dari darah desa ini, mereka adalah penjaga warisan

kita yang sesungguhnya.” Budaya tidak harus mati bersama waktu. Ia bisa hidup dalam cerita, dalam tulisan, dan dalam teknologi. Karena sejatinya, melestarikan budaya bukan tentang

menolak perubahan, tapi memastikan bahwa jati diri tetap ada di tengah

perubahan itu sendiri.

Posting Komentar

0 Komentar