SANG MUSAFIR PENERUS NEGER - Dewi Tri Mulyani



 SANG MUSAFIR PENERUS NEGERI


Dewi Tri Mulyani


Pita kenangan itu masih mencuat tanpa pemberitahuan. Menghantui setiap

kali kaki melangkah, seakan menjadi inspektur polisi yang selalu siaga mengawasi.

Perjalanan yang lambat laun membuatnya menyadari akan makna suatu kata yang

selama ini disematkan dalam namanya santri. Suatu gelar yang belum ia ketahui

arti, harapan, dan tanggung jawab di baliknya. Suatu kata yang pernah ia tanyakan

pada simbah kiai ketika sowan menghadap beliau di depan kediamannya.

Sore itu langit tampak cerah seakan mendung tadi siang bersembunyi di

balik mentari yang bersinar. Sudah delapan tahun ini Abdul mondok di pesantren

Salafiyyah yang diasuh oleh Kiai Mu’adz Thohir. Umumnya santri Kiai Mu’adz

memanggilnya Mbah Yai melihat usia simbah kiai yang hampir satu abad tersebut.

Simbah kiai bersender tenang di kursi goyang sambil melihat pemandangan sawah

yang penuh dengan tanaman padi yang menghijau.

“Atimu itu kenapa, dul?” ucap kiai tanpa memandang ke arah Abdul yang

kini duduk di lantai samping kursi beliau. Abdul menunduk sambil berdiskusi

dengan pikirannya. Kiai Mu’adz yang hanya melihatnya tersebut, sesekali

menghisap kembali rokok lintingan yang mulai memendek.

“Nak arep takon, monggo” ucap Kiai Mu’adz yang kini melirik ke arah

Abdul.

Abdul akui Kiai Mu’adz memang dikenal makrifah, bahkan kabar yang

tersebar Kiai Mu’adz dapat melihat masa depan dan masa lalu seseorang hanya

dengan menatapnya. Hal ini disebut karamah untuk para wali Allah.

“Mbah Yai, maaf sebelumnya jika pertanyaan saya kurang sopan. Hati saya

sedang tak damai, Mbah Yai. Saya melihat dunia ini lambat laun makin berubah

dan tak karuan. Selama ini saya dipanggil dengan nama santri, saya datang dari

pulau sebrang untuk menimba ilmu di pesantren, tapi saya tidak tahu santri itu

seperti apa? Peran saya sebagai santri itu apa dan untuk apa? Apa untuk mengaji

saja Mbah Yai? ucap Abdul mulai menyampaikan isi hatinya.


“Santri niku maknane jeru, Dul. Salah satunya dengan di pesantren para

santri diberi gambaran bagaimana menjadi rakyat, tetangga, pemimpin, dan

menjadi umat Nabi Muhammad yang selalu siap berjuang untuk meneruskan

dakwah beliau.” Kiai Mu’adz berhenti sejenak menatap Abdul dengan tatapan yang

tak mampu digambarkan.

“Sampaikan surat ini untuk Kiai Ghofur di Purwodadi sana, tapi aku

perintahkan awakmu menempuh perjalanan dengan berjalan kaki, jadilah musafir

ilmu, Le,” ucap Kiai Mu’adz sambil menyodorkan sepucuk surat yang berada di

dalam amplop putih. Abdul menerima surat itu dengan sedikit bingung, ia ingin

bertanya tapi urung melihat Kiai Mu’adz mengambil tongkat dan mulai bangkit dari

kursi.

Sejak hari itu perjalanan mencari Kiai Ghofur yang tak pernah ia tahu dan

kenal sebelumnya dimulai. Kakinya berhenti tepat ketika ia melihat ibu penjual nasi

uduk dan pecel dengan bakul yang ada di punggungnya. Abdul membeli 3 bungkus

nasi sebagai bekal perjalanan.

“Masnya ini siapa? Saya kok ndak pernah tahu di sekitar desa ini ya?”

Abdul yang mendengarnya tersenyum dengan manis. “Saya ini musafir,

kalau dawuh kiai saya dipanggil musafir ilmu” jawabnya dengan sopan.

“Masnya ini jangan-jangan santri ya?”

Intonasi suara ibu itu sedikit meninggi dengan tatapan yang tak begitu

ramah seperti sebelumnya. Abdul masih tersenyum sebagai jawaban bahwa apa

yang dikatakan ibu penjual pecel itu benar adanya, ia memang santri.

“Anak saya itu juga santri mas, keluar keringat saya membiayai dia di

pesantren bertahun-tahun. Pulang-pulang jemaah saja tidak, meringankan beban

orang tua juga tidak, ikut mengajar ngaji di desa juga tidak. Memangnya di

pesantren diajarkan adab atau tidak, Mas? Niat saya menaruh anak di pesantren ya

sebagai bekal agama anak saya. Saya kok rasanya sesal menaruh anak saya di

pesantren” ucap ibu itu yang kini menatapnya seakan meminta seluruh pertanyaan

dijawab oleh Abdul.


“Maaf sebelumnya bu, menurut ibu sendiri santri itu seharusnya seperti

apa?” tanyanya yang sejatinya pertanyaan itu ia tujukan pada dirinya sendiri. Ibu

penjual pecel itupun tersenyum kecut mendengar pertanyaan tentang santri oleh

santri sendiri.

“Santri itu penerus agama mas, dibekali akhlak yang baik, tahu akan hukum

Islam, tempat penentram bagi masyarakat. Tugas santri di pesantren itu belajar,

Mas, belajar bukan hanya tentang agama, sosial masyarakat kalau mau merenung

itu sebenarnya sudah diterapkan di pesantren. Ketika santri sudah keluar dari

pesantren tugasnya adalah menyampaikan, menjalankan apa yang selama ini ia

dapatkan di pesantren. Buktinya santri sekarang itu tidak ada yang seperti itu,

pulang atau boyong tidak melakukan apapun. Tidak ada cita-cita dalam hati mereka

untuk mengajar mengaji, dakwah pada masyarakat dan memperjuangkan asas-asas

Al-Qur’an pada masyarakat yang tidak memiliki kesempatan untuk merasakan

bagaimana pesantren itu.”

Abdul yang mendengar penuturan ibu penjual pecel itu hanya bisa

menunduk, sesekali menghapus air mata yang mulai jatuh.

Abdul kini tau mengapa Kiai Mu’adz menyuruhnya menempuh perjalanan

dengan berjalan kaki, karena dengan inilah ia bisa melihat langsung kenyataan yang

ada.

Selesai salat Jumat dan membaca amalan-amalan yang diberikan Kiai

Mu’adz padanya, Abdul keluar dengan menggendong tas yang ia letakkan di sudut

masjid.

“Subahanallah” ucap seorang bapak-bapak yang berada di belakang Abdul

yang sedang mengenakan sepatu.

“Assalamualaikum Pak” ucapnya dengan mengecup punggung tangan

bapak-bapak yang terlihat berkarisma tersebut. bapak itu hanya tersenyum lantas

duduk di sebelah Abdul sembari menggunakan sepatu hitamnya yang mengkilap.

“Karismamu layaknya santri, Mas,” ucapnya tanpa menoleh ke arah Abdul.


“Saya memang santri Pak, tapi entahlah, terkadang saya masih

mempertanyakan kesantrian saya” ucapnya menerawang jauh ke depan.

“Santri sau kata, banyak makna. Santri diartikan dengan banyak persepsi,

tergantung dilihat dari sudut pandang yang mana”

Abdul merasa tertarik dengan pemikiran bapak-bapak yang berada di

hadapanya itu.

“Maaf sebelumnya kalau saya lancang, tapi menurut Bapak santri itu apa?”

“Santri itu harus kuat, santri itu layaknya pejuang dengan segala macam

yang dia bisa. Misalnya, pemerintah sedang kacau jadi santri yang juga harus ikut

berpartisipasi dalam perpolitikan. Negara sedang diancam bahaya, jadilah santri

yang rela tumpahkan darah demi keamanan Indonesia, masyarakat sedang kacau,

jadilah penenang di sana. Santri itu harus berjuang di manapun dan kapanpun. Tapi

sayangnya, hal-hal tersebut tidak banyak ditularkan oleh Kiai kepada santrinya.

Terkadang miris melihat santri yang dulu menjadi tombak kemerdekaan kini

tumpul dimakan doktrin keagamaan. Padahal dalam agama sendiri juga diajarkan

cinta tanah air.”

Abdul hanya diam dengan kepala menunduk. Sekarang ia mendapatkan

sudut pandang yang berbeda lagi mengenai siapa itu santri, sudut pandang yang

berbeda dengan apa yang disampaikan ibu penjual pecel.

Suara kaki berat mulai terdengar mendekat. Beberapa orang dengan

seragam putih mulai masuk dengan menunduk. Abdul melihat jelas beberapa mobil

dengan plat warna merah mulai memadati tempat parkir masjid. Abdul menoleh

bapak-bapak yang ada di sampingnya.

“Saya ini santri dengan definisi saya”, ucap bapak-bapak yang kini

menatapnya dengan sebuah senyuman dan beranjak pergi.

“Beliau itu anggota perlemen penting di Indonesia, Mas” celetuk seorang

yang memakai baju putih yang melihat keherananku dengan sosok berkarisma

tersebut.


Dari ibu penjual pecel dan bapak-bapak tersebut aku mulai merenungkan

betapa tugas dan harapan pada santri terasa berat di punggung ini.

Tak terasa sudah satu bulan lamanya kaki ini melangkah tanpa henti.

Menyusuri jalan setapak, baik jalan raya maupun pedesaan. Dari sinilah Abdul

belajar betapa luasnya kekuasaan Allah, beberapa daerah belum terjamah akan

pendidikan keagamaan, perlunya dakwah nabi sampai ke pelosok desa dan kota.

Setelah berjalan hampir satu jam Abdul dapat melihat sebuah pesantren yang

bertempat di tengah-tengah sawah, dengan banyaknya pepohonan rindang yang

mengitarinya.


Abdul berhenti tepat di sebuah bangunan yang lebih besar dari pendopo-

pendopo kayu. Seorang santri dengan celana oblong warna hitam dan sabuk hijau


yang melingkar di pinggang menghampiri Abdul dengan sebuah senyum.

“Pangapunten, Mas, sampean sudah ditunggu Kiai Kakung,” ucap santri

tersebut. Abdul merasa heran dengan sambutan Kiai Ghofur tersebut, bukankah ia

datang tanpa pemberitahuan?. Mungkin Kiai Mu’adz yang menghubungi Kiai

Ghofur bahwa ia akan datang. Abdul hanya mengangguk mengikuti langkah santri

Kiai Ghofur tersebut.

Setelah melewati gerbang pesantren Abdul disuguhkan dengan banyaknya

rumah panggung yang berjejer rapi. Beberapa santri yang sedang memegang

nadhom, buku, majalah, koran, dan kitab kuning. Pemandangan yang tak jauh

berbeda dengan pesantren Mbah Kiai selama ini.

“Niku Kiai Kakung, Kiai Ghofur” ucap santri tersebut sambil menunjuk

dengan jari jempol pada seorang kakek tua seusia Mbah Kiai yang sedang

mengamati santri-santrinya berlatih ilmu bela diri. Abdul melangkah menuju Kiai

Ghofur yang sedari tadi sudah menatapnya dari kejauhan.

“Assalamualaikum Kiai”, ucapnya sopan mengecup punggung tangan Kiai

Ghofur. “Kula santri Mbah Kiai Mu’adz, Kiai. Nami kula Abdul Aziz, diutus untuk

menyerahkan surat ini kagem panjenengan” ucapnya memberikan amplop putih

tersebut.


Abdul masih menunduk, saat itulah ia melihat kaki Kiai Ghofur sudah

hilang jari-jemarinya. Dengan kikuk Abdul melirik badan Kiai Ghofur yang kurus

dengan baju warna hitamnya. Saat itulah ia melihat tangan kiri Kiai Ghofur sudah

tidak ada. Melihatnya membuat Abdul menyimpan berbagai pertanyaan di

benaknya.

“Kula, itu santri kiai Hasyim, saya ikut berjuang menumpas penjajahan

yang mengukung dan memenjarakan kami bangsa Indonesia dalam jurang

kenistaan dan penderitaan. Saya tidak peduli jika tangan saya hilang, jari-jari saya

terpotong. Saya bangga layaknya sahabat nabi ketika perang Mu’tah melawan

bangsa Romawi,” Kiai Ghofur berhenti sejenak menatap Abdul yang kini duduk di

sebelah beliau.

“Hatimu masih mencari apa itu santri, Le?”

“Inggih, Kiai”

“Santri menurut saya adalah penerus nabi, penerus akidah nabi. Miris

rasanya melihat santri sekarang ini, perkara haram sudah dianggap biasa, perkara

wajib sudah hilang tanduknya. Semangat kesantrian yang dibumbui dengan

perjuangan agama dan negara seakan terkikis dimakan zaman, santri itu harus

bangga dengan doktrin yang dipunya, tradisi yang dijaga, menjadi sentral untuk

siapapun dan kapanpun. Bukan menjadikan yang lain sebagai sentral. Santri itu

bukan hanya tentang tawaduk, bukan hanya tentang qonaah, tapi santri juga harus

berani, sopan, beradab sebagai warga negara yang baik, pemimpin yang baik,

murid, dan guru yang baik. Kalau dulu perjuangan saya ingin menghilangkan

penjajah dan mendirikan pesantren, mungkin masamu, perjuanganmu lebih berat

dengan melawan sesama santri yang saling mengkafirkan satu sama lain.”

Abdul hanya menunduk memikirkan apa yang dikatakan Kiai Ghofur

barusan. Dari beberapa arti yang disampaikan ibu penjual pecel, bapak pejabat

negara, dan Kiai Ghofur membuatnya tahu arti santri dari banyak persepsi dan sisi

yang berbeda, tergantung kepada siapa pertanyaan itu diajukan. Tapi dari ketiganya,

Abdul mengerti satu makna santri yang akan selalu ia junjung tinggi, santri adalah

pejuang. Lalu menurutmu apa itu santri?

Posting Komentar

0 Komentar