LEGENDA SUNGAI KEMBUNG - Tina Murdiati
Desa Tanjung Kudus gempar. Seorang mahasiswa tenggelam di sungai
Kembung dan seorang temannya ikut terjun dan menyelam ke dasar sungai untuk
mencari.. Tuk Salim, tetua kampung menolong dengan kekuatan batinnya.
Senja kali ini di desa Tanjung Kudus tampak lebih anggun menyambut
kedatangan Arif dan kawan-kawannya. Rombongan mahasiswa dari kota
Pekanbaru yang ingin melakukan penelitian di desa Tanjung Kudus.
“Jadi tujuan kami berkunjung ke desa Tanjung Kudus ini untuk
melaksanakan tugas kuliah yaitu menggali informasi tentang sastra lama yang ada
di desa Tanjung Kudus ini. Seperti yang kita ketahui,desa Tanjung Kudus memiliki
berbagai kearifan lokal dan pantang larang yang masih dijaga dan dipelihara oleh
masyarakat. Kami sebagai generasi muda sangat tertarik untuk mempelajarinya.”
Arif berkata dengan sopan.
“Kami juga ingin membangkitkan kembali sastra lisan yang ada di kampung
ini. Kami akan menemui para tetua kampung dan mengunjungi tempat-tempat yang
memiliki legenda untuk di dokumentasikan. Hasil akhirnya nanti adalah
dokumentasi dalam bentuk buku cerita rakyat dan video dokumenter. Jadi cerita
legenda yang ada di kampung Tanjung Kudus ini bisa terus lestari dinikmati oleh
tidak saja anak cucu namun juga orang banyak. Semoga bisa menjadi daya tarik
desa Tanjung Kudus.” Rudi menambahkan dengan penuh semangat.
“Kita tahu sastra lisan memberikan banyak pembelajaran dan pesan moral
yang dapat kita aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari sehingga kita memiliki
keseimbangan dalam menjaga alam dan menjaga kehidupan dengan sesama
makhluk Allah.” Kepala Desa menerangkan potensi desa dengan bijaksana.
“Saya bukan menentang kedatangan nak Arif dan kawan-kawan, tapi perlu
kita ingat di kampung kita ini banyak pantang larangnya jadi mohon untuk tetap
dipatuhi. Mintalah izin terlebih dahulu kepada penunggunya sebelum memulai
kegiatan kalian. Kami tidak akan pernah lupa kejadian tiga tahun yang lalu dimana
seorang pemuda dari kota tenggelam di sungai Kembung dan tidak pernah kembali
sampai saat ini karena melanggar pantang-larang.” Pak Osman yang merupakan
tetua kampung menjelaskan dengan wajah gusar.
“Satu lagi, hati-hati dengan Tuk Salim. Biasanya ia menolak orang-orang
yang ingin membukukan cerita legenda yang keluar dari mulutnya. Orangtua itu
penuh misteri.” Katanya lagi. Nada suaranya bergetar.
Arif dan kawan-kawannya saling berpandangan penuh tanya namun para
tetua kampung sudah paham perang dingin yang terjadi antara Tuk Salim dan pak
Osman. Sudah berkali-kali pak Osman minta izin untuk membukukan cerita
legenda yang ada di desa Tanjung Kudus ini tapi Tuk Salim tidak menyetujuinya.
Baginya sastra lisan biarlah tetap menjadi sastra lisan.
Senja telah berlalu. Pertemuan singkat itu telah usai. Arif dan kawan-
kawannya kembali ke home stay yang telah mereka sewa. Di ruang tamu, mereka
masih sempat berbincang-bincang kembali tentang rapat tadi.
“Kalian percaya dengan apa yang dikatakan pak Osman tadi? Kita harus
minta izin dulu sebelum membuat video? Minta izin sama siapa? Ha...ha... ha...
Aku tak habis pikir dengan pikiran orang kampung. Ada-ada saja.” Rudi tertawa
sambil menutup mulutnya khawatir mengganggu pemilik rumah ini.
“Husss, tidak boleh seperti itu,” Arif mengingatkan kawannya agar tidak
anggap sepele dengan ucapan tetua kampung tadi.
“Ini sudah zaman modern lho gays. Sudah zaman digital. Siapa saja boleh
mengabadikan apa saja yang ada di tempat umum, bebas,’ Rudi kembali
membantah ucapan Arif.
Arif sebagai ketua dalam kelompok kecil mereka berusaha mengingatkan
Rudi agar menghormati pantang larang yang ada, “Di mana bumi di pijak, di situ
langit di junjung.” Katanya mengingatkan lagi.
Malam berlalu cepat dengan pekatnya hingga pagi menjelang. Pagi ini Arif
dan teman-temannya akan menemui Tuk Salim yang tinggal di tepi sungai
Kembung. Kedatangan mereka disambut ramah oleh Tuk salim dan cucunya yang
bernama Atan. Atan masih duduk di kelas dua SMA tapi dia ramah dan supel.
Arif dan kawan-kawannya takjub melihat pemandangan dan suasana rumah
Tuk Salim yang berada di pinggir sungai. Rumah panggung dengan kayu bakau
sebagai tiangnya terlihat kokoh walaupun tampak tua. Halaman rumah berhadapan
langsung dengan sungai Kembung yang terkenal keramat. Airnya tenang dengan
riaknya yang puitis. Airnya berwarna merah kehitaman. Kanan-kiri sungai berbaris
pohon bakau. Mereka tumbuh dengan subur.
“Sudah berapa tahun tinggal di sini Tuk?” Tanya Raina tak sabar ingin
melanjutkan cerita. Sementara Uday masih memegang kamera untuk merekam
kegiatan mereka. Zaid sebagai asisten Uday tetap berdiri di samping Uday,
sedangkan Aminah sebagai pengarah sesekali memberi kode aba-aba kepada Arif
dan Raina yang berada di samping nara sumber mereka.
“Atuk lahir di sini. Jadi Atuk asli orang sini. Leluhur Atuk merupakan
pendiri kampung. Dulu penduduk kampung banyak yang tinggal di tepi sungai,
menjadi nelayan dan membuat ikan asin. Tapi sekarang mereka banyak yang pindah
dan bertani. Atuk tetap bertahan di sini karena Atuk ingin menjaga sungai Kembung
ini sampai akhir hayat Atuk. Atuk senang kalian mau tahu legenda yang ada di sini.
Legenda sungai Kembung ini terkenal dengan penunggunya yaitu seekor buaya
putih. Buaya putih ini akan muncul jika ada hal-hal buruk yang terjadi di desa ini
seperti jika ada yang berbuat mesum di sekitar sungai Kembung atau ada yang
berkata sesumbar tidak percaya dengan pantang larang di sini.. Buaya putih itu
selalu menampakkan dirinya untuk mengingatkan kami agar selalu berbuat baik,
menjaga lingkungan dan tidak sombong.” Tuk Salim berkata dengan suara pelan.
Kemudian ia melanjutkan kembali, “Sebenarnya buaya putih itu merupakan
jelmaan dari seorang pendekar sakti di masa dulu, namanya pendekar Langit. Ia
mengadu kesaktiannya dengan seorang pemuda desa untuk memperebutkan
seorang gadis cantik anak seorang tetua kampung yang tinggal di tepi sungai. Untuk
menunjukkan kesaktiannya, ia membabat habis pohon-pohon bakau yang ada di
tepi sungai dalam sekejap mata. Namun karena kesombongannya, ia dapat
dikalahkan oleh pemuda desa itu. Pendekar Langit sangat malu. Ia meminta Dewa
untuk mengutuknya menjadi buaya putih penunggu sungai ini. Pemuda yang
memenangkan pertandingan dan gadis cantik itu sangat menyayangkan keputusan
akhir pandekar Langit karena mereka telah memaafkan kesalahannya. Kemudian
...” Tuk Salim berhenti bercerita. Suaranya semakin pelan.
Rudi berjalan mendekati tepi sungai. “Apa iya buaya putih itu ada? Ini
sudah zaman modern, tidak ada lagi kepercayaan tidak masuk akal seperti itu. Itu
hanya legenda.” Rudi tersenyum simpul dan bergumam dalam hati sambil terus
mengambil video pemandangan pohon-pohon bakau. Ia merekam tarian pohon
bakau diiringi suara angin berbisik. Ia juga merekam akar-akar bakau yang tampak
kokoh menyimpan pesan-pesan kehidupan.
Ia meninggalkan teman-temannya dan Tuk salim yang masih mengobrol
ringan sambil menikmati kue yang disajikan. Kemudian ia mengarahkan
kameranya ke bawah untuk mengambil video riak sungai yang puitis, tenang
dengan warna yang kemerahan. Namun tiba-tiba, dari lensa kamera ia melihat
bayangan putih yang berada di bawah permukaan air.bergerak. Sesaat nafasnya
berhenti, hampir saja kamera yang dipegangnya terlepas. Ia memandang langsung
ke permukaan sungai tapi bayangan putih itu sudah lenyap.
“Ah, pasti hanya ilusi,” gumam Rudi dalam hati. Ia menjadi semakin
penasaran. Perasaan takut seketika hilang menjadi keberanian dan kesombongan.
Digantungkannya kamera di tiang rumah. Ia kembali memandang ke air sungai
yang tenang mencari bayangan putih yang melintas tadi namun tiba-tiba,
“Tolongggggg!” Rudi terjatuh ke dalam sungai.
Arif dan teman-temannya terkejut dan berlari ke arah suara sambil berteriak
memanggil nama Rudi. Anak-anak perempuan mulai menangis.
Tuk Salim terlihat tenang dan berkata, “Ia telah menemui takdirnya.” Sesaat
ia terdiam kemudian melanjutkan “Namun jika engkau tulus nak, susullah
temanmu, bantu dia melawan takdirnya.” Katanya lirih sambil memegang tangan
Arif yang sedang berdiri terpana menatap sungai.
Arif terkejut karena Tuk Salim tiba-tiba sudah ada di dekatnya namun ia tak
sempat berpikir panjang lagi. Keselamatan Rudi lebih utama. Ia terjun ke sungai.
Berbekal keterampilannya berenang, ia menyelam ke dasar sungai. Entah di
kedalaman berapa meter, ia menemukan Rudi bersama buaya putih menuju sebuah
istana di dasar sungai. Jelas terlihat istana itu berdiri megah.
Arif berusaha menarik Rudi ke permukaan namun ternyata tidak mudah
karena Rudi sudah terpengaruh buaya putih. Di tepi sungai, warga berdatangan
berusaha memberi pertolongan. Tuk Salim berdoa dengan khusuk membantu Arif
yang sedang berjuang di dasar sungai. Sesekali Arif muncul ke permukaan untuk
mengambil oksigen dan kembali lagi menyelam.
Tuk Salim masih terus berdoa. Di akhir doanya ia bermohon, “Ya Allah,
jangan ada lagi legenda kedua di sungai Kembung ini.”
Komentar
Posting Komentar