Leluhur dalam Aksara
Mentari pagi di ufuk timur Pekanbaru menyapa lembut jendela kamar Risa. Namun, pikirannya
sudah jauh melayang, menembus ruang dan waktu, kembali ke tanah leluhurnya di Minangkabau. Di
tangannya tergenggam sebuah buku usang bersampul batik cokelat, warisan dari mendiang neneknya.
Bukan sekadar buku biasa, di dalamnya terukir aksara-aksara indah yang membentuk cerita-cerita
lisan, petuah bijak, dan sejarah nagari.
Risa, seorang mahasiswa Sastra Indonesia di Universitas Riau, tengah bergelut dengan tugas akhir.
Kegelisahannya bukan karena kekurangan ide, justru sebaliknya. Kekayaan warisan budaya Indonesia
terlalu melimpah, membuatnya bingung dari mana harus memulai. Namun, buku dari neneknya itu
seolah menjadi kompas penuntun.
Malam itu, di bawah rembulan yang bersinar samar, Risa membuka kembali halaman demi
halaman buku itu. Setiap guratan tinta terasa hidup, memanggil kenangan akan cerita-cerita yang dulu
sering didongengkan neneknya. Ada kisah tentang Sitti Nurbaya dan Samsulbahri yang tragis namun
abadi, tentang Malin Kundang yang durhaka, dan tentang semangat gotong royong yang mengakar
kuat dalam kehidupan masyarakat Minang.
Ia teringat akan indahnya pantun yang sarat makna, tentang silek yang bukan hanya gerakan fisik
namun juga filosofi hidup, dan tentang rendang yang bukan sekadar masakan namun juga simbol
kebersamaan. Semua itu adalah warisan tak ternilai, identitas yang mengalir dalam darahnya.
Namun, Risa juga merasakan keprihatinan. Generasi muda semakin asing dengan warisan
budayanya sendiri. Globalisasi dan modernisasi seolah mengikis akar tradisi, menggantikannya
dengan budaya instan yang seragam. Ia melihat teman-temannya lebih fasih menyanyikan lagu-lagu
barat daripada lagu daerah, lebih tertarik pada tarian modern daripada tari piring atau tari saman.
"Ini tidak bisa dibiarkan," gumam Risa dalam hati.
Ia merasa terpanggil untuk melakukan sesuatu, untuk menghidupkan kembali warisan budaya yang
mulai terlupakan.
Inspirasi itu datang tiba-tiba, sekuat dentuman gong dalam upacara adat. Risa memutuskan untuk
menjadikan ragam warisan budaya Minangkabau sebagai fokus utama tugas akhirnya. Ia ingin
menulis sebuah novel yang tidak hanya menyajikan alur cerita yang menarik, tetapi juga menyelipkan
nilai-nilai luhur, tradisi unik, dan keindahan bahasa Minangkabau.
Maka, dimulailah perjalanan Risa menelusuri kembali jejak leluhurnya. Ia mewawancarai
tokoh-tokoh adat, mempelajari filosofi rumah gadang, mendalami makna setiap ukiran, dan mencatat
setiap detail upacara adat yang ia saksikan. Ia bahkan belajar memainkan saluang, alat musik
tradisional yang melantunkan melodi sendu namun memikat.
Setiap pengalaman itu ia tuangkan dalam goresan tintanya. Kata demi kata merangkai cerita
tentang seorang gadis Minang yang berjuang mempertahankan tradisinya di tengah arus modernisasi.
Ia menyelipkan pantun-pantun indah, menggambarkan keindahan alam Sumatera Barat, dan
menjelaskan makna di balik setiap ritual adat.
Proses penulisan itu tidaklah mudah. Risa harus berjuang melawan rasa malas, keraguan, dan
tuntutan akademik lainnya. Namun, semangatnya tak pernah padam. Ia selalu teringat akan pesan
neneknya, "Nak, warisan budaya adalah jati diri kita. Jangan biarkan ia hilang ditelan zaman."
Akhirnya, setelah berbulan-bulan berkutat dengan riset dan penulisan, novel Risa selesai. Ia
memberinya judul "Sungai Batanghari Berbisik", sebuah metafora tentang aliran tradisi yang terus
mengalir dari generasi ke generasi.
Saat presentasi tugas akhir, Risa tidak hanya memaparkan isi novelnya, tetapi juga membacakan
beberapa kutipan yang menggambarkan kekayaan budaya Minangkabau. Ia bahkan menyanyikan
sebait lagu daerah dengan iringan petikan gitar.
Para dosen dan teman-temannya terkesima. Mereka baru menyadari betapa kaya dan beragamnya
warisan budaya Indonesia, khususnya Minangkabau. Novel Risa bukan hanya sekadar karya fiksi,
tetapi juga sebuah jendela yang membuka mata mereka terhadap identitas bangsa yang sesungguhnya.
Setelah lulus, Risa tidak berhenti berkarya. Ia terus menulis, mengangkat berbagai tema budaya
dari seluruh penjuru Nusantara. Cerita-cerita pendeknya dimuat di berbagai media, dan novel
pertamanya menjadi best seller. Ia menjadi salah satu suara muda yang lantang menyuarakan
pentingnya pelestarian warisan budaya melalui sastra.
Di suatu sore, Risa kembali duduk di beranda rumah neneknya di Bukittinggi. Ia memandang
hamparan sawah yang menghijau dan Gunung Singgalang yang menjulang gagah. Di tangannya
tergenggam kembali buku usang itu. Ia tersenyum, menyadari bahwa goresan tinta sastra mampu
menjadi jembatan yang menghubungkan masa lalu, masa kini, dan masa depan. Warisan budaya
bukan hanya sekadar artefak atau tradisi lisan, tetapi juga jiwa bangsa yang abadi, yang terus hidup
dan berkembang dalam setiap aksara yang dituliskan. Dan Risa, melalui karyanya, telah menjadi
bagian dari upaya mulia untuk menjaga dan melestarikan identitas bangsa Indonesia.
0 Komentar