Pungwe Oi... Si Lakon - Viona Narisa Uzira



 Viona Narisa Uzira

SMAN 2 Mandau


“Pungwe Oi... Si Lakon” 

Layar tersingkap dan senyum terukir di atas sebongkah kayu. Tetawak

ditabuh, tanda kakiku sudah harus melangkah. Lampu sorot menyinari, membiarkan tubuhku memanjang di atas lantai kayu. Aku melihat sekitar dari

lubang di topengku, tak seramai dulu. Riuhnya tak lagi memancing gelora. Pujiannya tak lagi semanis melako. Kakiku berderak pelan, menjejak alur yang

seharusnya sudah terpatri dalam otot dan nalar. Tapi, lakon yang telah kujalani

puluhan kali itu terasa asing. Ragaku sendiri menolak beranjak, seperti topengku

berat menahan rindu. Syair berkumandang memecah heningku, “Pungwe oi... Ilang wayak berita

nak timbul Awang,” saut sang penyair. Teringat aku pada masa itu. Gendang ditabuh sekali, sorak-sorai pemilik

ratusan pasang mata menyambut, bagai angin yang membuncah perahu sebelum

berlayar. Gendang ditabuh dua kali, kepalan tangan mengudara penuh harapan, dan mata menyala menanti keajaiban. Gendang terakhir ditabuh, dan hening

menyelimuti ruang. Semua mulut terkunci, mempersilakan sang lakon untuk hadir. Saat itu, setiap langkahku dituntun oleh irama yang telah hidup jauh sebelum aku. Tak ada ragu, tak ada lupa. Di mataku yang tersembunyi topeng, dunia hanya ada

di antara cahaya dan lantai kayu, dan para penonton hanya saksi dari dunia lain. Tapi, siapa mengenal yang dahulu, tentu tahu asal yang baru. Sudah

saatnya berpamitan dengan teater Mak Yong yang menjadi bagianku selama

bertahun-tahun. Mengajar Budaya Melayu Riau sepertinya lebih realistis daripada

melaksanakannya. Untaian cinta yang mengikatku pada sang seni harus rela

dilerai pikiran rasional. “Cinta memberimu harapan, tapi logika memberimu makan!” gema suara

istriku terdengar saat tak terasa aku sudah berada di ujung cerita “Putri Siput

Gondang” yang aku lakoni. Aku menunduk perlahan, membiarkan cahaya lampu

memeluk punggungku. Sang lakon dengan bangga menyampaikan salam hendak


berpulang, tapi jiwanya sudah tak sepenuhnya lagi milikku. Tepuk tangan

terdengar, pendek dan terpaksa. Tak sebanding nyaringnya suara di dalam

kepalaku. Mungkin aku memang sudah kehilangan akal. Dalam gemerlap cahaya dan

sorot mata penonton, pandanganku tertuju pada sudut ruangan, dan di sana, jelas

kulihat wajah ayah dan ibu. Mereka duduk diam, seperti menembus batas antara

dunia yang nyata dan yang telah pergi. Mataku terbelalak, wajah mereka begitu

nyata, tapi yang menusuk justru sorot kecewa yang tampak di mata mereka. Mereka yang dahulu menuntunku pada Mak Yong, yang mengajarkanku bahwa

panggung adalah rumah, dan cerita adalah darah. Kini, wasiat mereka

menggantung di hatiku, dan aku tak mampu memenuhinya. Kini, bukan lagi senyap panggung yang menemani, tapi senyap deret tugas, silabus, dan papan tulis kapur. Aku kini berdiri di depan kelas, memperkenalkan

apa yang dulu kusebut sebagai penyambung hidup: Budaya Melayu Riau, yang

bagi sebagian dari mereka tak ubahnya catatan kaki di buku sejarah. Namun, kilatan mata mereka tak sepenuhnya kosong. Tatapan itu menyimpan rasa ingin

tahu. Di antaranya, aku melihat sepasang mata yang menyala: Alya, murid kelas

sebelas yang selalu duduk di bangku paling depan. Saat itu, aku menjelaskan

tentang Kepulauan Riau dan sedikit menyelipkan teater Mak Yong dalam

kalimatku. “Pak, untuk pentas seni bulan depan, bagaimana kalau kita tampilkan

teater Mak Yong?” ucap Alya. Ada jeda panjang. Lalu gelak kecil, lalu diam lagi. “Bagus, Pak. Kita beda dari yang lain,” ucap Rehan, disambut gelak tawa

satu kelas. Kalimat mereka berhasil mengundang senyum di bibirku. Kali ini

sungguh-sungguh, bukan tawa palsu demi menunjang karierku. Aku mulai mengenalkan gerak, irama, cerita. Anak-anak menari dengan

tawa, kadang kikuk, kadang menertawakanku yang mencoba menunjukkan

langkah-langkah lama. Setidaknya mereka mau mencoba. Itu cukup.


Yang tak kuduga, Alya diam-diam merekam setiap kali kami latihan. Ia

mengunggah di media sosial dengan takarir sederhana ala generasi Z: “Ketika

kelasmu yang tak bisa serius malah menampilkan Mak Yong,” diikuti dengan

cuplikan lucu saat kami latihan. Dan entah bagaimana, video itu meledak. Penonton membanjiri akunnya, komentar datang silih berganti. Dari seniman, budayawan, atau dari mereka yang menonton untuk menertawakan kekonyolan

muridku. Dalam seminggu, Mak Yong menjadi bahan pembicaraan—bukan

sebagai warisan yang usang, tapi sebagai sesuatu yang hidup kembali dalam cara

pengenalan yang baru. Hari pertunjukan tiba. Aula sekolah penuh sesak. Suasana seperti dulu:

lampu sorot, gemuruh, harap. Tapi kini aku tak berdiri di tengah panggung. Aku

di belakang, menyelip di balik tirai, menyaksikan murid-muridku memanggil

kembali jiwa yang pernah kurasa hilang. Tepuk tangan menggelegar ketika tirai ditutup. Air mataku tumpah, bukan

karena sedih, tapi karena cinta yang dulu kupikir telah putus, rupanya hanya

berputar mencari jalan pulang. Sore itu, aku menerima pesan di gawai: sebuah tawaran untuk kembali

tampil di panggung megah seni daerah. Pada saat yang sudah tidak bisa kutebak, namaku kembali bergema dari

atas pentas. Sebuah tawaran untuk menampilkan lagi jiwa sang lakon. Aku sempat

goyah. Badan ini tak lagi selincah dulu, suara pun mulai melemah. Namun, ada

sesuatu dalam dada yang tak mampu kutolak, seperti utang yang harus dibayar

lunas. Aku melangkah. Langkah demi langkah, gerak demi gerak. Tak sempurna, tapi penuh. Di tengah lakon, saat aku menari dan bersyair, tubuhku tak sanggup

lagi menopang rangka. Dunia terasa pelan, lampu sorot memelukku terlalu hangat, napasku pendek. Namun, aku tetap melanjutkan, meski pandangan mulai kabur.


Di antara denting rebab dan suara penonton yang tertahan, aku tahu: ini mungkin

gerakan terakhirku. Ketika lakon usai, tirai ditutup. Penonton berdiri, memberi tepuk tangan

yang panjang dan penuh haru. Namun, aku tak keluar memberi salam. Tubuhku

rebah di balik panggung, topeng masih melekat di wajah. Orang-orang baru sadar ketika sang penyair berteriak. Alya berlari

mendekat, memangku kepalaku yang mulai dingin, lalu tersenyum. “Pak...” bisiknya, menggenggam tanganku yang masih menyimpan sisa- sisa kehidupan. Dalam pelukannya, aku menatap ke langit-langit panggung untuk terakhir

kalinya. Di sanalah aku melihat bayangan masa lalu—ayah dan ibuku menari

dalam cahaya, tersenyum menjemput. Aku tak sempat berkata apa pun. Aku membiarkan tubuhku padam dengan

sendirinya. Semua sudah selesai. Dengan tubuh rebah di lantai kayu, dan topeng

yang masih menempel di wajah, aku tahu: jiwa akan dijemput kembali ke tempat

seharusnya berada—dunia maupun akhirat.

Posting Komentar

0 Komentar