Meniti jejak dengan pena - Ririn Khairunnisa
Di usia yang sudah memasuki fase remaja ini, ada banyak hal yang selalu
mengusik hati dan pikiran. Tentang bagaimana orang-orang di sekitar
bersinar dengan segudang prestasinya. Dan tentang rasa rendah diri yang
kian menggerogoti kepercayaan diri untuk mencoba hal baru. Poster lomba menulis bertema budaya menggantung di papan pengumuman, Seruni jadi teringat dengan neneknya yang suka sekali menenun pakaian
menggunakan alat tenun tradisional. Seruni menatap poster lomba di depannya dengan perasaan tak karuan. Jantungnya berdegup kencang. Di dalam lubuk hati paling dalam, ingin
sekali dirinya mengikuti perlombaan itu. Namun, rasa tidak percaya diri kini
kembali mencekiknya. Bagaimana jika ia gagal? Itu pasti akan sangat
memalukan. Dengan langkah gontai, ia pergi meninggalkan tempat itu
dengan hati penuh keraguan. "Run!" teriak Aida tak jauh dari tempatnya berdiri. "Ada masalah apa? Lesu sekali kelihatannya." Aida merangkul pundak
Seruni dengan wajah penuh tanya. Tidak biasanya Seruni berdiam diri di
tempat yang sama untuk waktu yang cukup lama. Ditambah dengan bahasa
tubuhnya yang tampak gelisah. Seruni menghela napasnya kemudian berkata, "Bagaimana menurutmu jika
aku ikut lomba menulis?" Wajah Aida tampak berseri mendengarnya. "Ikut saja, itu pasti akan menjadi
suatu pengalaman yang menyenangkan." Tentu saja ia merasa senang
dengan temannya itu ketika ingin mengikuti lomba menulis yang sedari dulu
sudah menjadi hobinya. "Memangnya kamu mau menulis tentang apa?" tanya Aida penasaran, dengan senyum yang masih terpatri di wajahnya.
"Aku mau menulis cerita dengan tema budaya, misalnya tentang nenekku
yang suka sekali menenun pakaian menggunakan alat tradisional, perempuan hebat dalam keluargaku yang selalu dibanggakan Mama karena
hasil tenunnya yang begitu indah. Aku merasa cerita itu akan menarik dan
bermakna. Aku ingin orang-orang juga bisa ikut merasakan bagaimana suara
alat tenun itu terdengar dan setiap motif kain yang diwariskan secara turun
temurun mempunyai makna tersendiri." Aida terdiam takjub mendengarnya. "Itu sungguh luar biasa, Run. Kamu
bisa memperkenalkan budaya menenun pakaian pada khalayak ramai agar
bisa dikenal oleh banyak orang." Bahu Seruni merosot ke bawah. "Tapi, kalau gagal bagaimana?" Mata Seruni terlihat berkaca-kaca. Ingin sekali dirinya ikut tapi ketakutan
akan kegagalan selalu menghantuinya yang membuatnya semakin tak
percaya diri. Aida kemudian memegang kedua bahu Seruni. "Kamu tidak akan tahu jika
belum mencobanya. Gagal atau menang dalam suatu perlombaan itu hal
yang biasa dan wajar terjadi. Tapi, yang harus kamu tahu, mencoba untuk
memulai itu artinya kamu sudah menang. Menang melawan ego sendiri dan
berani mengambil tindakan. Lagipula kamu memang hobi menulis, kan?
Dan cerita yang ingin kamu tulis itu sangat bagus, Run. Memperkenalkan
cara menenun pakaian menggunakan alat tradisional yang dimana sekarang
sudah ada mesin yang menggantikannya. Akan disalurkan kemana hobimu
jika kamu sendiri tidak percaya dengan kemampuan dirimu sendiri. Dan
bagaimana kamu akan tahu jika dirimu punya nilai tapi enggan untuk
melangkah. Hanya namamu saja yang run tapi, kamu sendiri bahkan tidak
bergerak sedikitpun dari tempatmu berdiri."
"Jangan ragu untuk mencoba hal yang kamu inginkan. Bayangkan, jika
semisalnya para penulis terkenal juga ragu untuk mengeluarkan potensi
yang dimilikinya. Mungkin, kita tidak akan bisa melihat bagaimana sastra
ditulis seindah itu, kita juga tidak akan pernah tahu bahwa setiap aksara
memiliki makna sedalam itu." Aida tersenyum lalu mengeluarkan sebuah pulpen dari dalam tasnya. "Ambil pena ini dan mulailah menulis. Perkenalkan pada semua orang
perempuan hebat dalam keluargamu itu." Seruni menatap pena tersebut dengan berlinang air mata. Ia menundukkan
kepalanya hingga bulir kristal itu luruh dari tempatnya. "Aku tidak yakin, Aida. Ada begitu banyak orang hebat yang pastinya juga
ikut dalam lomba ini dan karyaku tidak ada apa-apanya dibanding mereka,"
jawab Seruni, masih enggan untuk mencoba. Perasaan rendah diri dan tidak
yakin dengan kemampuan diri sendiri sungguh dalam ia rasakan. Kembali ia
lirik poster itu hingga air matanya mengalir kian deras. "Run, setiap orang hebat yang kita lihat pasti juga mengalami masa sulit
sebelum dia bisa bersinar seperti sekarang. Mereka sudah banyak merasakan
sakit dan pahitnya sebuah kegagalan. Tidak apa jika dirimu merasa jauh
tertinggal dengan mereka. Tapi, apakah kamu hanya akan berdiam diri dan
menatap iri melihat mereka yang terus bersinar? Run, langkah kecil yang
kamu ambil hari ini akan sangat berharga untuk kamu di masa depan. Lakukan hal yang ingin kamu lakukan selagi bisa. Jangan menyia-nyiakan
kesempatan yang datang saat ini sebelum kamu menyesal nantinya." Aida
menepuk bahu Seruni dengan pelan, bermaksud untuk memberikan
semangat pada gadis itu. "Memang kalau gagal akan seburuk apa nantinya? Memang menurutmu
gagal sehina itukah? Ingat, Run, gagal itu bukanlah akhir dari segalanya, melainkan jenjang untuk bisa berproses lebih baik lagi. Gagal mengajarkan
kita untuk senantiasa belajar dari kesalahan dan bagaimana kita bisa
memperbaikinya. Masa muda memang harus banyak diisi dengan kegagalan
agar di masa depan kita tidak mengulangi kesalahan yang sama. Aku juga
pernah gagal, Run, dan dari kegagalan itulah aku belajar bahwa mencoba
kadang tidak seburuk itu dan jika kita tidak memulainya, cerita kita tidak
akan pernah ada." Seruni tersenyum lalu mengangguk. Setidaknya, sedikit nasehat dari Aida
mampu menumbuhkan sedikit keberanian dalam dirinya. "Makasih, ya, Aida atas motivasinya," kata Seruni sembari mengambil
sebuah pena dari tangan Aida. Ia menggenggam pena itu dengan erat dan
membuktikan jika dirinya tidak akan berdiam diri dan hanya akan menjadi
penonton kesuksesan orang lain, dan tentunya lewat goresan tintanya itu, akan ia perkenalkan budaya yang selama ini masih dilestarikan oleh
neneknya. Ia juga akan mencoba melangkah dan menunjukkan nilai dirinya. Jika semua manusia mempunyai kelebihan, dirinya juga pasti memiliki
kelebihan itu, setidaknya ada satu kelebihan yang ia miliki yang dapat ia
gali untuk tumbuh lebih besar. Seruni mengangkat genggaman tangannya ke atas lalu berkata, "Aku akan
kembali dengan membawa kemenangan. Kamu harus melihatku membawa
piala itu," ucap Seruni dengan semangat yang menggebu-gebu. Melihat hal itu, Aida tertawa kencang, kemudian berujar, "Baiklah akan
kutunggu dirimu membawa piala kemenangan itu. Tapi, tetap sisihkan ruang
ikhlas jika kamu tidak mendapat apa yang kamu inginkan, ya." Seruni
mengangguk dan tersenyum tulus. Ia kemudian menatap Aida dengan raut wajah yang mulai tampak serius. "Terimakasih karena sudah mendukungku. Terimakasih sudah memberikan
sebuah pena ini padaku, aku akan menulis karya yang indah sebagai hadiah
untukmu. Terimakasih banyak Aida untuk nasehat dan penanya, aku akan
berlatih menulis hingga aku benar-benar siap untuk mengikuti perlombaan." Aida tersenyum manis kemudian mengangguk. Kini, Seruni akan mencoba meniti jejaknya dengan menulis dan mencoba
memperkenalkan budaya bangsa yang kian memudar ditelan zaman lewat
tulisannya. Meski langkahnya masih dipenuhi keraguan, setidaknya lewat
aksara ia bisa meninggalkan jejak proses yang kelak akan bermakna dalam
perjalanan hidupnya. “Untuk Nenek, perempuan hebat yang menginspirasi, dan untuk budaya
yang tak boleh padam.”
Komentar
Posting Komentar