Menyulam Cerita Terakhir - Shalsa Billa Siregar



Menyulam Cerita Terakhir, Di balik Bayang Ibu

Langit sore itu mendung layaknya hati duka yang kini mulai mengepul di dalam

lara. Di rumah kayu sederhana dengan hamparan rumput indah rasanya tak

mampu menghibur dirinya barang sedetik pun, Prana duduk di depan rumahnya

dengan nafas tertahan, memaksa dirinya untuk tabah atas kejadian yang kini

menimpa dirinya. Tangannya gemetar memegang erat buku catatan yang mulai

kusam, tiap helainya seolah begitu berharga seperti sisa-sisa napas terakhir yang

tertinggal dari seseorang yang berarti dihidupnya.

Ibunya, wanita yang menjadi rumah untuk bahasa pertamanya, rumah dari setiap

kata indah yang keluar dari mulutnya dan rumah untuk setiap cerita panjang yang

telah ia rangkai sepanjang hidupnya. Namun, garis takdir seolah tak sejalan

dengannya, memutuskan sulaman cerita mereka berdua begitu cepat. Ibunya, telah

berpulang sehari sebelumnya.

Prana mencoba mengingat kilas balik kepergian ibunya semalam, Suara ibunya

yang lirih tatkala maut menghampiri. Tubuh lemahnya yang mencoba menahan

sakit ketika ruh diambil dari raganya. Tapi di tengah kesakitan yang begitu

dahsyat menerpa dirinya, bibir mungilnya bergerak seakan ingin menyampaikan

pesan kepada putranya.

"Di dalam itu, ada cerita terakhir kita, Nak. Cerita yang belum selesai kusulam.

Lanjutkanlah. Karena di sanalah Ibu akan terus ada." ucapnya sembari menunjuk

laci di kamar.

Selepas mengucapkan kalimat tersebut, Ibunya meninggal dunia. Prana sakit luar

biasa, perasaannya tak tergambarkan lagi. Keluarga disekeliling ibunya juga

menangis meratapi kepergian ibunya.


Prana menghampiri laci meja yang ditunjuk oleh ibunya dengan langkah pelan,

membuka laci itu dengan hati yang berat, seberat bayang kehilangan yang

menyelubungi tubuhnya. Di dalamnya, terdapat sebuah kotak yang berisi buku

puisi tulisan ibunya yang tersimpan rapi, beberapa lembar kertas, dan sebuah buku

bersampul lusuh berjudul: “Prana Cinta Kasih Yang Tak Pernah Usai

Dikisahkan”.

Di balik halaman pertama, ada tulisan tangan ibu:

“Sastra bukan sekedar kata dan tulisan. Ia adalah jejak. Jika kelak tubuhku tak

lagi berada disisi mu, baca lalu kenanglah aku dalam cerita ini”

Prana membuka lembaran berikutnya, membaca tulisan milik ibunya. Tangisnya

semakin pecah ketika membaca kalimat itu.

“Prana hadiah terbaik hidupku, ketika ibu tau akan kehadiran dirimu disebagian

tubuhku, tak pernah sekalipun aku tidak bersyukur, Anakku Prana”

Prana menitikkan air mata. Ingatannya melayang ke masa kecil, saat Ibu

membacakan kisah Putri Tujuh, dan hikayat tua dari tanah Melayu. Di kamar yang

tengah penuh dengan isak tangis kehilangan. Prana memeluk erat buku-buku

tersebut layaknya memeluk jiwa sang ibu.

Kini, ia sadar. Itulah akar. Sebuah awal menjadikan Ibunya senantiasa hidup

walaupun sekarang Ibunya tidak berada disisinya. Prana yakin setiap sulaman

cerita bersama Ibunya akan selalu tertulis tak lekang dimakan waktu.

Hari-hari setelah kepergian Ibu, Prana mulai menulis. Ia duduk di bawah pohon

waru yang rindang, membuka setiap halaman cerita ibu, lalu menyulamnya

menjadi bab baru. Ia tak hanya menyalin, tapi juga menambah dengan kenangan,

dengan pengamatan, dengan suara hatinya sendiri.


Ia menulis tentang Ibunya yang menolak untuk dilupakan. Tentang puisi-puisi

indah yang dibuat ibunya saat menatap indah tentang sesuatu hal. Tentang tradisi

yang pelan-pelan tenggelam di balik layar ponsel, tentang bahasa ibu yang kini

hanya tinggal gema.

“Aku menulis agar ibuku tak pernah benar-benar pergi,” tulisnya suatu malam, di

halaman terakhir buku yang ia tulis.

Cerita itu ia beri judul: "Menyulam Cerita Terakhir, Di Balik Bayang Ibu."

Tak lama, buku itu tersebar. Dikirimkan ke majalah sastra, dibacakan dalam

forum budaya, bahkan dijadikan materi belajar di sekolah setempat. Banyak yang

tersentuh. Banyak pula yang mulai membuka kembali lembaran-lembaran warisan

budaya mereka sendiri.

Prana awalnya tidak percaya buku yang ia tulis tentang Ibunya, akan menyentuh

banyak orang. Cerita yang ia rangkai bersama Ibunya, begitu banyak menyentuh

hati para pembaca. Tentu berkat Ibunya yang sangat pandai merangkai kata tiap

kata pada tulisannya yang menjadi kunci keberhasilan buku ini.

Prana memang tak mencari tepuk tangan. Ia hanya ingin bayang-bayang ibunya

tetap menyinari langkah dirinya dan orang-orang yang membaca bukunya. Agar

kita tak berjalan buta dalam gemerlap, lupa bahwa cahaya pertama berasal dari

cerita-cerita lama yang dibisikkan oleh seorang ibu di tepi ranjang.

Sore itu, angin kembali berhembus halus dan kini tidak mendung lagi. Prana

duduk dengan kotak dipangkuannya. Kini kotak itu tak lagi penuh rahasia, tapi

penuh warisan. Ia menatap langit, dan untuk pertama kalinya, ia tersenyum.

“Cerita Ibu tak akan jadi yang terakhir. Akan kuteruskan, akan kutanam, sampai

anak-anakku nanti bisa membaca siapa mereka dari cerita ini.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MOSI DEBAT SMA BULAN BAHASA 2019

MOSI YANG DILOMBAKAN DALAM DEBAT PRATIKUM SASTRA KE 27

(Hari Terakhir, Pengenalan Kehidupan Kampus Bagi Mahasiswa Baru )