Nelva Trimafia - Langkah Kecil Menuju Papan Tulis Impian
Langit pagi diujung desa tampak malu-malu menyapa, seolah tahu bahwa hari ini
adalah awal perjuangan panjangku. Aku, Nelva, gadis sederhana dari keluarga petani karet,
menyimpan satu mimpi yang terus tumbuh sejak aku duduk dibangku SD: menjadi seorang
guru.
Sejak kecil, aku sering duduk dipojok kelas, mengamati ibu Yuni menulis di papan
tulis sambil menjelaskan pelajaran dengan penuh semangat. Bagiku, menjadi guru bukan
sekedar pekerjaan, melainkan pangglan hati. Aku ingin menjadi guru seperti ibu Yuni
menyalakan harapan dihati anak-anak desa kami yang sering dipadamkan oleh
keterbatasan.
Namun, jalan menuju mimpi itu tidak mudah.
Ayah dan Ibu bukan orang yang berada. Ayah bekerja sebagai petani dan penyadap
getah karet. Setiap hari, sebelum matahari terbit, ia sudah berjalan ke kebun dengan
membawa pisau kecil toreh dan ember kecil. Di tengah kabut pagi dan dingin Yang
menusuk, Ayah menoreh batang demi batang pohon karet dengan sabar. Tangannya yang
kasar dan penuh luka tak pernah mengeluh.
“Ayah harus cepat, biar getahnya ngucur bagus,” katanya suatu pagi saat aku ikut
menemaninya ke kebun.
Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri bagaimana Ayah menyusuri barisan
pohon, kakinya sering terperosok ke tanah becek. Tapi wajahnya tetap tenang. Meskipun
tubuhnya Lelah, matanya menyala penuh harapan.
Pernah, di tengah sunyi kebun, Ayah bercerita bahwa ada yang pernah
meremehkannya, menganggap anak petani seperti aku tak akan bisa kuliah. Tapi ayah
menatapku sambil tersenyum dan berkata, “Ayah Cuma jawab, ‘suatu hari, anakku akan
jadi guru. Biar mereka tahu, meski ayah kerja di kebun, tapi anak ayah bisa berdiri di depan
kelas.’”
Kalimat itu menancap kuat dalam hatiku. Sejak hari itu, setiap kali aku merasa letih
belajar atau ingin menyerah, bayangan Ayah menoreh di pagi buta menjadi suntikan
semangat. Aku tahu, aku tidak boleh mengecewakan perjuangannya.
Masuk SMA adalah tantangan besar, Biaya masuk, seragam, dan transportasi ke
sekolah membuat ayah harus menoreh lebih banyak kebun orang lain, sementara ibu jualan
gorengan dari pagi hingga malam. Aku membantu mereka sebisa mungkin, sambil menjaga
nilai agar tidak turun.
Sempat terlintas untuk mengubur cita-citaka, mencari kerja selepas SMA, dan
membantu meringankan beban. Tapi setiap kali melihat senyum Ayah dan Ibu saat aku
menunjukkan rapor dengan nilai bagus, aku tahu harus tetap maju.
Akhirnya, usahaku berbuah. Aku diterima di Universitas Riau dengan beasiswa
penuh dijurusan pendidikan. hari itu, aku pulang membawa surat penerimaan. Ayah terdiam
saat membacanya. Meski wajahnya tampak datar, sorot matanya tak bisa menyembunyikan
Bahagia yang meluap. Senyumnya mungkin tak lebar, tapia ada hangat, hangat yang hanya
bisa dimengerti oleh anak yang tahu, bahwa dibalik cueknya, Ayah sedang sangat bangga.
Kini, aku sedang menjalani masa kuliah. Hidup jauh dari rumah memang tidak
mudah, tapi aku terus melangkah. Setiap pagi, aku membayangkan diriku bediri di depan
kelas, memegang spidol, dan berkata, “Selanat pagi, anak-anak!”
Langkahku mungkin kecil, tapi penuh arti. Aku tahu, aku sedang menanam benih
perubahan. Bukan hanya untuk diriku, tapi juga untuk anak-anak di desa nanti. Dan suatu
hari, aku akan Kembali. Mengajar di sekolah tempat mimpiku dimulai, dan menunjukkan
bahwa mimpi bisa jadi nyata jika diperjuangankan.
Komentar
Posting Komentar