Putri Lanjung - Putri Hidayanti Nasution



Putri Lanjung

Oleh: Putri Hidayanti Nasution


Matahari mulai turun ke arah barat membuat sinar di bumi perlahan menghilang.

Seorang wanita paruh baya tengah sibuk menyalakan lampu teplok untuk

menerangi sekitaran rumahnya. Rumah sederhana yang berada di pinggiran kota

Siak, lebih tepatnya desa Lanjung. Rumah yang hanya terbuat dari papan kayu yang

sudah lapuk, dengan atap genteng yang telah lama mengelupas dan membiarkan air

hujan menetes lembut ke dalam ruangan. Lantai tanah yang bewarna cokelat

kehitaman akibat jejak waktu dan langkah kaki yang tak terhitung. "Mak, di mano

Aminah? Apo dio tak pogi ke dusun seboang hari iko?" Suci muncul tiba-tiba,

seperti angin yang berhembus tanpa tanda, mengejutkan Mak Farida, sosok yang

akrab disapa Mak Ida. Mak Ida menarik napas panjang, mengusap dadanya

perlahan untuk meredakan debar yang timbul, lalu dengan lembut menepuk lengan

Suci. "Tak elok diko mangojutkan owang tuo, Uci." ucapnya sambil tersenyum

kecil, menyembunyikan rasa terkejutnya di balik guratan wajah yang penuh

ketenangan. "Aminah tengah tido di biliknyo." jawab Mak Ida dengan suara yang

tenang seperti aliran sungai di pagi hari, sembari melanjutkan pekerjaannya yang

sederhana.

Ia memiliki seorang putri tunggal bernama Aminah, buah hatinya yang tersisa

setelah sang suami berpulang ke pangkuan Ilahi saat mencari kayu di hutan

belantara. Sejak hari nahas itu, Mak Ida memikul beban hidup seorang diri,

membesarkan Aminah dengan segenap cinta dan pengorbanan yang tak terbilang.

Layaknya bunga yang mekar di tengah padang, Aminah tumbuh menjadi seorang

gadis yang menawan. Namun, di balik senyum bangga yang terukir di wajah Mak

Ida, tersimpan setitik kekhawatiran yang menggelayut. Hatinya kerap berbisik,

takut suatu hari nanti Aminah, permata hatinya, akan pergi meninggalkan sang ibu

seorang diri. Pikiran itu bagai awan gelap yang mengancam langit cerah

kehidupannya. Mak Ida menggelengkan kepala, berusaha menghalau bayangan

kelam yang menari-nari di benaknya.


"Minah! Bangun, kito harus segoo pogi ke dusun seboang. Tapi diko nak mencai

kalung tu?" Suci memanggil dengan suara setengah berbisik, mencoba

membangunkan Aminah yang masih terlelap di balik selimut lusuhnya. Aminah

menggeliat pelan, matanya masih berat untuk terbuka. "Nanti ajo, abis magrib."

jawabnya sambil menguap kecil, suaranya serak namun lembut.

Suci mendengus kecil, lalu menatap langit yang mulai temaram. "Iko la magrib,

Minah! Diko belum sembahyang? kalau bukan sekaaang, bilo lagi kito nak pogi?"

desaknya dengan nada cemas. Mendengar itu, Aminah tersentak. Matanya yang

semula berat kini terbuka lebar. Ia segera bangkit dari pembaringannya, menyadari

waktu tak lagi berpihak padanya. Dengan tergesa-gesa, ia bersiap agar tak

terlambat. Aminah dan Suci tiba dengan cepat, seolah waktu tak pernah

menghalangi langkah mereka. Beberapa hari lalu, Aminah terpesona oleh

keindahan sebuah kalung yang dijajakan oleh seorang pedagang. Sayangnya, saat

itu ia tak memiliki cukup uang untuk membelinya. Kini, dengan tekad bulat, ia

kembali untuk mendapatkan kalung yang telah menarik perhatiannya.

"Pak, di mana kalung dengan batu putih yang saya lihat kemarin?" tanya Aminah

kepada pedagang sambil mengamati sekeliling, mencari-cari kalung yang terlintas

dalam ingatannya. "Oh, kalung itu baru saja dibeli oleh seorang pemuda." jawab

pedagang dengan nada tenang. "Kemana arah pemuda itu?" desak Aminah, rasa

ingin tahunya membara, karena hatinya sangat mendambakan kalung tersebut. "Di

sana, pemuda berbaju biru itu." ujar sang pedagang sambil menunjuk seorang pria

yang tengah melangkah pergi.

Dengan langkah cepat, Aminah menghampiri pemuda itu. "Permisi, maaf, apakah

kau membeli kalung dari pedagang di sana?" tanyanya, suaranya lembut namun

penuh harap. Pemuda itu menoleh, menatap Aminah dengan bingung. "Ya, memang

aku membelinya. Ada apa?" jawabnya singkat. Saat pandangan mereka bertemu,

waktu seolah berhenti. Aminah terpaku pada wajah pemuda itu, ketampanannya

seperti lukisan yang hidup, membuat hatinya bergetar tanpa kendali. "Aku sangat


menginginkan kalung itu. Aku bersedia membayar dua kali lipat harganya." ucap

Aminah dengan nada penuh tekad. Pemuda itu tersenyum tipis, matanya

memancarkan kehangatan yang tak terduga. "Kau tak perlu membayar untuk

memilikinya. Menikahlah denganku!" katanya dengan suara yang tenang namun

tegas, membuat dunia Aminah berguncang. Aminah terdiam, hatinya bimbang

namun tersihir oleh keberanian dan ketulusan pemuda itu. Dengan suara nyaris

berbisik, ia berkata, "Baiklah."

"Tunggu! Apo diko dah gilo, Minah? Diko nak menikah dengan seseoang yang baru

ajo diko jumpai?" seru Suci dengan nada panik, mencoba menyadarkan sahabatnya.

Namun Aminah tak menjawab. Ia hanya mengikuti pemuda itu yang kini

mengajaknya pergi ke kota. "Ikutlah denganku," ucapnya lembut namun penuh

keyakinan. Ini adalah pertama kalinya Aminah merasakan cinta yang begitu kuat.

Ia tahu hatinya telah memilih, dan ia percaya bahwa keputusan ini bukanlah

kesalahan.

Suci hanya bisa memandang sahabatnya pergi bersama pemuda itu. Dengan

langkah berat, ia kembali ke desa dan menceritakan semuanya kepada Mak Ida.

Suasana menjadi tegang di rumah kecil mereka. "Tapi iko dah malam. Kito akan

nyusul Aminah esok pagi." ucap Mak Ida dengan nada cemas namun bijak. Suci

pun mengangguk dan pulang dengan hati yang gelisah.

Ketika pagi tiba, sinar matahari menerobos celah-celah dinding rumah Mak Ida

yang sudah tua. Dengan hati penuh kekhawatiran, Mak Ida bersiap-siap untuk

perjalanan ke kota bersama Suci. Sepanjang perjalanan, ia terus memanjatkan doa

agar Aminah baik-baik saja. Mak Ida tiba di kota, membawa harapan yang penuh

dan cinta yang tak pernah surut. Ia datang untuk menemui Aminah, putrinya,

sebelum pernikahan berlangsung. Namun, harapannya untuk membawa Aminah

pulang ke desa kandas oleh jawaban dingin yang menusuk hati. “Pulanglah, nak!

Macam mano mungkin diko menyoahkan hidupko kepado seseoang yang baru diko

jumpai? Diko bahkan tak tau dari mano io berasal.” ujar Mak Ida dengan suara yang


bergetar, mencoba meraih hati anaknya yang terasa jauh. Namun Aminah hanya

menggeleng pelan, lalu berkata dengan nada penuh penghinaan, “Tak la, Mak.

Minah tak akan balek ke desa tu. Hidup di siko jauh lebih baek. Desa tu hanyo

kumuh dengan rumah loak dan aee sungai bewarno cokelat tu. Sangat

manggolikan”.

Mak Ida tertegun, seolah dunia runtuh di hadapannya. “Astaghfirullah, Aminah!

Desa tulah yang membosokan diko, tompat diko belajo adab dan kasih sayang. Kini,

hanyo karano seoang jantan, diko menghina tanah kelahiran ko sendiri?” Suaranya

pecah oleh tangis yang tak mampu ia tahan. “Memang begitu kenyataannyo, Mak.”

jawab Aminah tanpa sedikit pun rasa bersalah. Air mata Mak Ida jatuh membasahi

wajahnya yang penuh guratan usia. Anak yang ia besarkan dengan cinta kini

berubah menjadi sosok asing yang tak lagi mengenali akar dirinya.

Tiba-tiba suasana berubah tegang. Seorang wanita muncul entah dari mana,

langkahnya cepat dan penuh amarah. Tanpa banyak kata, ia menampar wajah

Aminah dengan keras. “Dasar perempuan tak tahu malu! Kau berani menikahi

suami saya?!” teriak wanita itu dengan nada penuh luka. Aminah terperanjat,

matanya membulat dalam keterkejutan. Pemuda yang selama ini mengisi hatinya

telah bersumpah bahwa ia belum beristri. Namun kini kenyataan berdiri di

hadapannya seperti bayangan kelam yang tak bisa ia elakkan. “Siapa dia?” tanya

Aminah dengan suara yang bergetar, matanya menatap pemuda itu penuh tanda

tanya. “Dia istriku,” jawab pemuda itu tenang, seolah kata-kata itu tak membawa

beban apa pun. “Kami baru sebulan menikah”. Seperti petir yang menyambar di

siang bolong, kenyataan itu menghantam hati Aminah. Tanpa berpikir panjang,

tangannya melayang, menampar wajah pemuda itu dengan keras. “Kau sudah

beristri, tapi masih berani mengajakku menikah? Kau benar-benar tak tahu malu!”

serunya dengan kemarahan yang membakar setiap kata.

Mak Ida, yang menyaksikan semua itu, segera menarik tangan Aminah. Ia

membawa putrinya pergi menjauh dari kerumunan yang mulai berbisik-bisik.


Namun, kabar buruk itu telah terbang lebih cepat dari langkah mereka. Desa

Lanjung gempar dengan berita itu. Nama Aminah kini menjadi buah bibir wanita

yang dituduh merebut suami orang. Hari-hari berlalu dalam keheningan yang

menyakitkan. Aminah mengunci diri dalam kamar, menolak makan, bahkan enggan

berbicara dengan Mak Ida. Kesedihan dan rasa malu menggulungnya seperti ombak

besar yang tak henti menghantam. Suatu pagi, dengan langkah gontai, Aminah

mengambil handuknya dan berjalan ke sungai. Air sungai yang dingin menyentuh

kulitnya seperti biasa. Namun, saat ia masuk lebih dalam, tubuhnya terasa aneh.

Ketika ia melihat kulitnya, ia terkejut, bercak-bercak kudis kasar muncul di seluruh

tubuhnya. Panik, ia berlari pulang sambil menangis. “Mak! Kulit aku kenapo?

Tengok ni!” serunya sambil menunjukkan tubuhnya yang penuh kudis. Mak Ida

memandang putrinya dengan tatapan iba bercampur pilu. “Nak.” ucapnya lembut

namun tegas. “itu adolah akibat dari penghinaan ko kepado desa iko. Desa yang

tolah membesokan diko, kini lah teluko oleh kato-kato diko sendii.”

Aminah terisak keras, air matanya mengalir tanpa henti. “Mak, aku salah! Mohon

maafkan aku...Aku tak tahu apo yang merasuki”. Mak Ida menghela napas panjang

dan mengusap kepala anaknya dengan kasih sayang seorang ibu. “Mak dah

maafkan Minah sejak lama, nak. Tapi luko yang diko buek pado desa ni begitu

dalam hingga desa ni pun tak nak menerima ko seperti dulu”. Tangisan Aminah

semakin pecah. Penyesalan memenuhi hatinya seperti hujan deras di musim

penghujan. Namun dari penyesalan itu lahir sebuah tekad baru dalam diri Aminah.

Ia berjanji pada dirinya sendiri untuk berubah menjadi lebih baik. Ia mulai

membantu orang-orang di sekitarnya, memperbaiki nama baiknya sedikit demi

sedikit. Dalam kesunyian malam, Mak Ida selalu memanjatkan doa kepada Tuhan

agar memberi anaknya kesempatan kedua dan menghapus dosa-dosa masa lalunya.

Hidup terus berjalan, dan meski luka tak sepenuhnya sembuh, Aminah belajar

bahwa setiap kesalahan adalah pelajaran dan setiap penyesalan adalah awal dari

perjalanan menuju kebaikan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MOSI DEBAT SMA BULAN BAHASA 2019

MOSI YANG DILOMBAKAN DALAM DEBAT PRATIKUM SASTRA KE 27

(Hari Terakhir, Pengenalan Kehidupan Kampus Bagi Mahasiswa Baru )