Oleh Fadhila Rahmadhani
Di sebuah kampung kecil bernama Sarinadi, yang terletak di kaki bukit dengan suasana pedesaan yang masih asri dan tenang. Rumah-rumah kayu tua berjajar rapi di sepanjang gang sempit, dikelilingi oleh hutan kecil dan sawah yang menghijau. Di kampung ini, tradisi dan budaya lama masih tersisa meski mulai terlupakan oleh sebagian warganya. Saat musim kemarau mulai berganti hujan. Pagi hari yang sejuk, siang yang cerah, serta malam yang hening menjadi saksi perjuangan Laras menjaga aksara tradisi. Pergantian waktu antara musim kemarau hujan menuju melambangkan pergeseran zaman dan harapan akan pembaruan yang membawa generasi muda. Dengan latar waktu dan tempat tersebut, suasana kampung Sarinadi yang damai namun menyimpan kekayaan budaya menjadi latar kehidupan dan memperkuat pesan pelestarian bahasa serta tradisi.
Laras duduk termenung di beranda rumah kayu yang sudah menua. Mentari pagi mengintip di sela dedaunan, menorehkan bayang-bayang halus di atas catatan buku tua yang ada di pangkuannya. Buku usang itu merupakan warisan dari Kakek Darmadi, juru tulis aksara tradisi yang kini tinggal kenangan di kampung Sarinadi. Sejak kecil, Laras sudah akrab dengan rangkaian aksara yang memuat cerita rakyat, doa-doa kuno, dan syair penghantar tidur. Namun, sejak maraknya teknologi baru, aksara tradisi semakin jarang digunakan. Generasi muda kampung lebih tertarik pada gawai dari pada cerita yang tertulis pada daun lontar atau kertas buram.
Laras mendesah pelan. Ia merasa sedang berdiri di antara dua arus - arus memori keluarga dan arus perubahan zaman yang tak terbendung. Ia ingin menjaga warisan, tetapi sering merasa ragu. “Apakah ada gunanya mempertahankan sesuatu yang semakin lupa dicintai?”
Suatu pagi, Laras memberanikan diri mengunjungi Pak Dirga, penjaga naskah lama di surau tua. “Pak, apakah arti aksara ini?” tanyanya, menunjuk baris yang sulit
terbaca. Pak Dirga tersenyum, menghela napas lelah. "Itu doa permohonan selamat, Laras. Setiap aksara punya jiwa, setiap kata punya tuah." Laras mencatat dengan cermat, menyadari bahwa belajar aksara tradisi bukan sekedar memahami bentuk huruf, melainkan memahami jejak perjalanan hidup, kisah, dan pengharapan.
Tiba-tiba, Pak Dirga mengajak Laras menampilkan naskah tertua di kampung itu. Di sela-sela tumpukan naskah, Laras menemukan cerita tentang seorang tokoh perempuan bernama Ratri yang menyelamatkan desanya dari banjir besar. Cerita itu ditulis dengan aksara berlekuk indah, kata-katanya tegas dan menyentuh hati. “Orang tua dahulu berpesan, siapa yang melupakan aksaranya, perlahan akan kehilangan jati dirinya,” ujar Pak Dirga. Kalimat itu menggema dalam benak Laras sepanjang malam.
Pada malam yang sama, Laras berdiskusi dengan ibunya. “Mengapa Ibu ingin aku belajar aksara tradisi, sementara yang lain lebih suka mengetik di ponsel?” Ibunya menoleh lembut, “Karena suatu saat, Laras akan sadar, akar itu penting meski tumbuhnya perlahan. Melalui kata-kata lama, kita mengenali asal dan tujuan.”
Keesokan harinya, Laras memulai langkah nyata. Ia mengunjungi balai desa dan mengusulkan lomba membaca cerita kuno beraksara tradisi. Awalnya, usulan itu ditertawakan. "Siapa yang mau? Zaman sudah berubah," kata seorang pemuda. Namun, Laras tidak gentar. Ia menyusun strategi, mengajak beberapa guru untuk membantu memperkenalkan tradisi huruf-huruf melalui media digital dan permainan interaktif. Perlahan, rasa ingin tahu tumbuh.
Hari lomba diadakan, suasana berubah menjadi momen yang penuh semangat dan haru. Anak-anak dengan kostum sederhana dan wajah berbinar bergiliran maju membaca aksara tradisi yang telah mereka pelajari dengan tekun. Para orang tua dan remaja saling memberi sorak dan tepuk tangan, merasa bangga melihat generasi muda mulai mengenal akar budaya yang selama ini hampir terlupakan.
Suasana semakin hidup ketika seorang anak laki-laki yang masih duduk di bangku sekolah dasar mengangkat tangan dengan percaya diri, "Bolehkah saya menulis
cerita saya sendiri dengan aksara ini?" Teriakan takjub terdengar dari penonton. Laras tersenyum hangat dan mengangguk, memberi lampu hijau.
Anak itu pun maju ke depan dengan kertas dan pena, menulis kalimat sederhana tentang harapannya untuk kampung Sarinadi agar tetap lestari dan masyarakatnya tetap bangga dengan warisan budaya mereka. Tulisan tangan anak itu penuh semangat dan sedikit goyah, namun suara pembacaannya lantang dan jelas.
Salah satu juri, seorang sesepuh wanita yang sudah ahli dalam aksara tradisi, tersenyum haru. Ia berkata kepada penonton, "Melihat semangat para peserta hari ini, saya yakin warisan ini akan terus hidup, tumbuh, dan berkembang."
Lomba itu tidak hanya menguji kemampuan membaca dan menulis, tetapi juga membangkitkan rasa cinta dan kebanggaan terhadap budaya tradisi. Laras melihat banyak anak-anak yang mulai berani menulis cerita mereka sendiri, menciptakan jembatan antara masa lalu dan masa depan.
Di akhir lomba, hadiah bukanlah yang utama, melainkan kesempatan untuk berperan serta menjaga dan mewariskan warisan nenek moyang. Semua pulang dengan hati penuh harapan dan tekad untuk melestarikan tradisi aksara, menjadi bagian dari perubahan yang menghormati akar budaya.
Tidak hanya lomba, Laras dan teman-temannya membentuk komunitas belajar aksara. Tengah menjelaskan pentingnya aksara tradisi dengan penuh semangat. Datanglah seorang sahabatnya bernama Arif, yang terkenal kritis dan skeptis. Arif, duduk di bangku belakang, tiba-tiba mengangkat satu jari seolah hendak ingin memberikan pendapat.
"Maaf, Laras, tapi bukankah kamu terlalu memaksakan? Orang lain ingin maju, bukan tenggelam di masa lalu," kata Arif sambil mentransfer tipis dan menyilangkan tangan dengan sikap dingin. tatapan tajamnya menusuk ke arah Laras seperti menantang keberanian.
Laras mengernyitkan alisnya, menahan keinginan membalas. Ia mengusap-usap pelan buku catatannya, lalu berkata dengan suara tenang, "Aku percaya bahwa akar budaya harus dijaga. Tapi aku juga mengerti masa depan penting. Itu sebabnya aku mencoba menggabungkan tradisi dengan teknologi."
Arif menggeleng pelan. “Kamu bilang mengerti, tapi ini hanya alasan agar mimpi lamamu tetap hidup di dunia yang sudah berubah.” Ia mencondongkan badan ke depan, menatap mata Laras lebih intens. “Coba pikir, siapa yang peduli dengan aksara usang ketika ada dunia maya yang jauh lebih cepat dan keren?”
Laras merasa sesak. Ia membalas dengan lembut, “Bukan soal keren atau tidak, Arif. Ini tentang jati diri, tentang siapa kita sebenarnya.” Ia diam sejenak, lalu menatap ke belakang dengan tajam. “Tapi kalau ada yang lebih suka menghancurkan daripada melestarikan, itu hakmu.”
Arif tertawa kecil, suaranya dingin dan menusuk. "Aku bukan menghancurkan, aku membangun. Jangan buat aku jadi musuhmu, Laras. Tapi kalau kamu tetap begitu keras kepala, mungkin kita memang tak akan pernah sejalan."
Ketegangan muncul dari gestur sederhan, mengulangi penuh tantangan, senyuman sinis, lengan yang disilangkan, dan sentuhan pada buku dengan ekspresi pelan pelan paruh. Dialog mereka seolah menari racun yang semakin membekas di antara hati. Sejak saat itu, sikap Arif menjadi semakin dingin dan sinis, sementara Laras sering mempertimbangkan untuk memikirkannya. Ketegangan kecil itu mencuat di berbagai pertemuan, mengubah kehangatan menjadi renggang, dan persahabatan menjadi garis batas yang tegang.
Setelah rapat panjang yang penuh ketegangan, Laras berdiri di tengah balai desa, menantikan keputusan akhir. Semua menatap ke arahnya, lalu ke arah Arif yang duduk di barisan depan dengan wajah serius.
Pimpinan desa akhirnya mengumumkan bahwa dana pelestarian budaya akan dipotong secara drastis. Laras merasa dunia seolah runtuh dalam sekejap. Arif
berdiri dan berkata, “Ini keputusan terbaik. Kita harus mengikuti zaman, bukan melawan arus.” Laras memikirkannya, namun tiba-tiba seorang warga tua bangkit dan membuka sebuah kotak kayu tua yang sudah lama terkunci. Ia mengeluarkan sebuah gulungan naskah berisi aksara tradisi yang selama ini disimpan rahasia oleh keluarganya.
“Ini adalah warisan nenek moyang kita yang sesungguhnya,” katanya dengan suara bergetar. "Tapi ada satu hal yang belum kalian tahu. Arif, selama ini, kaulah yang menjaga naskah ini dalam diam, bukan?"
Semua terkejut, termasuk Arif yang membeku. Ia mengakui bahwa sejak kecil ia mengajarkan menjaga naskah itu, tetapi memilih menyembunyikannya karena takut warisan itu justru akan membelenggu kemajuan desa.
Laras menatap Arif dengan mata berkaca-kaca. “Mengapa kamu tidak pernah mengatakan yang sebenarnya?” Arif menjawab pelan, “Aku takut kau akan menolaknya… aku takut kita akan semakin terpisah.”
Momen itu menyatukan mereka dalam keheningan. Warisan budaya bukanlah beban atau sesuatu untuk dilupakan, melainkan jembatan yang menghubungkan masa lalu dengan masa depan.
Dengan kejadian yang tak terduga, desa Sarinadi memutuskan untuk menggabungkan pelestarian naskah kuno dengan teknologi digital yang dikembangkan Laras, sebagai simbol persatuan dan harapan baru. Konflik ini menjadi pijakan bagi perubahan. Laras sadar bahwa pelestarian budaya bukan sekedar mempertahankan masa lalu, tapi juga bagaimana menghidupkan warisan itu di masa kini dan masa depan. Ia memupuk harapan bahwa suatu hari, jejak aksara tradisi akan menyatu dengan arus zaman, tanpa kehilangan keasliannya.
Tradisi Aksara mungkin hanya terjadi dari segala perubahan besar, namun ia mampu menjadi penahan identitas di tengah arus zaman. Selama ada yang merawat, jejak itu takkan pernah hilang.
.png)
0 Komentar