Gadis remaja itu berniat ingin terjun ke laut bersama segala lara nya. Ia menangis sejadi jadinya dan akhirnya terjun ke laut lepas. Laut dalam itu seolah hendak akan memeluknya jauh masuk ke dalam lautan kelam. Ombak menggulung-gulung tinggi siap menyambut gadis itu. Namun, seseorang hadir menolong nya. Si nona ini malah terbangun serasa malam sudah tiba padahal belum, Gendis terbangun menghirup udara dan menemukan dirinya tergeletak di bibir pantai. Samar matanya melihat ada sosok gadis remaja sebaya dengan nya yang menatap ke arah laut. Tak lama gadis itu sadar dan menoleh ke belakang "kau sudah bangun?" gadis sebaya dengan nya itu tersenyum. "Jadi kau yang menolong ku?" Seraya nona itu hendak duduk dan terbatuk. "Untuk apa kau menolong ku? Harusnya kau biarkan aku mati di laut sana!" bentak nona itu. "Aku tidak ingin hidup! Aku benci hidup ku! Aku ingin mati! AKU INGIN MATI! AKU INGIN MATI" teriak nya sambil menangis. "KAU MENGGAGALKAN RENCANA KU! SEMUA NYA!" lanjut nona itu. "SEDIKIT LAGI LAUT KELAM ITU AKAN MEMELUK KU DENGAN KEMATIAN! LALU KENAPA KAU MENGGAGALKAN NYA?!" gadis belia itu berteriak lalu mendekat pada perempuan asing di seberang. Perempuan asing itu mundur beberapa langkah. "Aku tulus menolong mu". Gendis menghardik lawan bicaranya. "AKU NGGAK BUTUH BANTUAN MU!" timpal gadis belia itu lagi. Penampakan si nona itu sudah sangat teruk. Benar-benar serupa mayat. Badan nya dingin, hanya jantung nya yang menolak mati dan semakin membara. Ibarat nyawa kucing secara harfiah ada sembilan maka si nona ini nyawa nya tinggal delapan setengah saja.
Gadis belia itu mendekat. "Hey dengarkan aku dulu..."
"TIDAK! JANGAN SENTUH DIRI KU" bentak Gendis padanya. "Aku tidak menyentuh mu..."
Gendis tersadar dan menoleh ke belakang. Benar juga. "LANTAS APA MAU MU GADIS ASING? SOK MAU JADI PAHLAWAN IYA?" bentak Gendis kasar. Gendis membalik badan masih dengan niat yang sama untuk lompat dari tebing dan menghabisi dirinya sendiri, Ia memasang kaki hendak berlari namun gadis sebaya dengan nya itu membuka mulut dan berkata. "Ada banyak sekali di dunia ini yang belum kau jelajahi..." ombak melatar belakangi percakapan mereka beriak-riak berseru akan kebebasan. Awan mendung menari-nari bersiap akan mengeluarkan gunturnya. Gendis terperangah sekaligus termenung. Ego nya terbentur bak tebing yang terhantam ombak laut. Tetap tegar seperti pagar namun perlahan lahan terkikis. Memang benar ada banyak hal yang belum Gendis ketahui tentang dunia ini. Akan tetapi hidup di dunia pun rasanya sama saja seperti neraka yang terbakar, maka dari itu lebih baik mati, bukan?
Gendis mencoba membalas pedang perkataan yang di layangkan gadis sebaya nya. "Apa alasan mu memuntahkan kata-kata seperti itu?" lantas Gendis tertawa getir. "KAU TAU APA TENTANG DUNIA INI? LIHAT BAJU MU? APAKAH SAMA DENGAN KU? LIHAT SEPATU MU? APAKAH SAMA DENGAN DIRI KU YANG TELANJANG KAKI INI?" perkataan itu tumpah begitu saja seraya Gendis membandingkan pakaian yang melekat pada tubuh nya, sembari melihat apa yang terpasang di tubuh gadis belia sebaya diri nya. Gadis belia tersebut bak seorang putri. Menggunakan kemben berwarna merah muda, rok lilit berwarna coklat bata semerah tanah kuburan, dan memakai sendal emas. Sungguh demi langit dan alam semesta isinya, mereka berdua berbanding terbalik. Gendis hanya mengenakan baju bekas neneknya berwarna cokelat usang yang sudah robek terkikis zaman. Namun tertutup, aurat Gendis tertutup selain rambutnya.
"Aku tahu kau bersikap seperti ini karena... kau ingin menghilangkan sisi kemanusiaan pada dirimu, apa aku betul?" balas gadis belia itu tenang sekali seperti air laut di malam hari. Seolah-olah laut malam yang tenang itu perlahan-lahan naik bak suara dan bau laut yang membersihkan jiwa penuh amarah milik Gendis.
Lawan bicara Gendis bersabda. “Berikan aku waktu tiga hari untuk merubah pemikiran mu itu” ucapnya sembari mengulas senyuman manis.
Gendis tertawa bak kerasukan. Dirinya tertawa getir dan terdengar seperti petir. “HAHAHAHAHAHAHA.... kau pikir dirimu ini siapa? BAHKAN TUHAN SEKALIPUN TAK AKAN BISA MENGHENTIKAN KEINGINAN KU UNTUK MATI!” bentak Gendis pada lawan bicara nya. Sementara langit mencetus petir bak syair saling bertautan.
“Luangkan saja waktu mu tiga hari. Hanya tiga hari, Gendis...”
“Apa pula wanita asing ini... DARI MANA KAU TAHU NAMA KU?!” Hening. Hanya udara yang mengamuk mengisi keheningan bibir pantai kala itu. “Ikuti aku. Ayo” ajak lawan bicara Gendis.
Demi langit dan bumi, hati Gendis merah marah akan kehadiran gadis asing ini namun di sisi lain tubuh nya patuh akan titah gadis asing tersebut. Seperti sudah seharusnya patuh akan permintaan tersebut.
Gadis berpakaian bak putri itu menghentikan langkah tanpa membalikkan tubuh. “Tapi ada dua syarat yang harus kau patuhi jika ingin hidup berdampingan dengan diri ku...”
Hening. Pertanda Gendis pun mati penasaran akan syarat tersebut.
“Pertama, kau di larang keras menyentuh ku. Kedua, apa yang aku suruh maka kau harus patuh. Aku hadir disini agar kau tidak mengkayuh arus kehidupan ini sendirian....” lanjut perempuan asing itu. “Aku hanya ingin kau patuh”
“Ya terserah lah... atur saja...” balas Gendis sembari meludah ke sebelah kanan.
Di saat kaki kanan perempuan asing itu melangkah, entah ada angin apa kaki kanan Gendis pun turut melangkah. Dan, petualangan pun dimulai.
Sementara di sisi lain, pesuruh suruhan nenek nya Gendis sedang mencari dimana posisi Gendis berada. Anggap saja nama mereka berdua kana dan kiri. Bak orang tolol mencari keberadaan Gendis, yang ada mereka hanya mengikuti jejak langkah mereka sendiri di dalam hutan sana alias TERSESAT.
Mula-mula perempuan asing tersebut mencari titik posisi untuk membuat rumah berbahan pelepah pisang di tengah hutan. Kemudian bergeser perihal perut, perempuan asing itu mengajarkan Gendis cara membuat tombak dari batu untuk menangkap ikan dan lain-lain. Gendis bagaimana? Ia patuh. Bahkan tidak MENYENTUH sehelai bulu pun dari si perempuan asing saking patuhnya. Dan yang paling di sukai oleh Gendis dari perempuan asing ini adalah, dirinya di ajarkan memanah. Sejak kecil cita-cita Gendis adalah menjadi pemanah handal.
Bak ujian, hal terakhir paling akhir yang di lakukan si perempuan asing adalah memulihkan sisi kemanusiaan Gendis yang memudar. Gendis di ajarkan sopan santun dan etika, serta cara bersosialisasi di pasar oleh lawan bicara nya itu.
Di malam terakhir, dalam artian pada malam ketiga, mereka berdua merebahkan badan seusai membunuh waktu di pasar siang bolong. Perasaan Gendis? Benar-benar bersuka cita akan kehadiran si perempuan asing. Akan tetapi di sisi lain, setengah mati Gendis penasaran mengapa dirinya tak boleh menyentuh si perempuan asing itu? Apakah ada hal yang sengaja di tutup-tutupi dari Gendis? Perlahan tapi pasti, Gendis menyentuh tangan kiri si perempuan asing dan benar saja, dia tidak nyata. Namun... bagian bawah tubuh perempuan itu mulai menghilang. Gendis langsung tersadar dan merubah posisi menjadi duduk.
Perempuan asing itu pun tersadar dan berucap. “Yah, ketahuan....”
Gendis yang malang ini sesungguhnya ingin bunuh diri karna dirinya dikejar-kejar oleh pesuruh nenek nya agar dirinya dijual menjadi ronggeng. Tentu saja nona belia ini enggan. Saat dia lolos dari kejaran para pesuruh itu dia benar benar berniat untuk mati.
Buat apa dia hidup? Orang tua pun dia tak punya. Sudah mati di telan tanah. Dia bahkan tidak tahu bagaimana wajah orang tua nya apalagi ibu yang melahirkan nya. Hanya tersisa neneknya yang gila akan dunia. Saat dia bertemu gadis misterius itu, perlahan hidupnya berubah lebih berarti dan lebih pantas untuk diperjuangkan, Jika ada pilihan terjual atau DIJUAL maka lebih baik Gendis memilih untuk mengakhiri hidupnya. Gendis hilang akal dan berabalut kalut. Wanita yang sudah menemani nya beberapa waktu terakhir perlahan lahan menghilang bak di tiup angin. "Hey tenang lah tenang..." seraya ibu jari wanita itu mengusap halus air mata Gendis "... sebenarnya aku ini ibu mu... aku yang melahirkan mu... makanya kau merasa sangat familiar dengan ku bukan? Aku hadir dalam bentuk gadis belia karna aku mengandung dirimu persis pada saat umurmu yang sekarang, Gendis ku yang jelita”
“Berjanjilah pada Ibumu ini agar kau tetap hidup, masih banyak hal indah di dunia ini yang belum kau lihat. Jangan jadi seperti diri ku”
Gendis mengangguk pasti. "Baik, Ibu. Aku akan hidup untuk mu. Dan, suatu hari nanti, sayap ku pun akan tumbuh" balas Gendis pasti.
Seorang wanita lansia tersadar dari ombak lamunan nya. Si nona tersadar saat anak perempuan nya membangunkan diri nya dari lamunan, kemudian cucu perempuan nya memeluk kaki kurus lanjut usia milik nya. "Nenek ngga papah?" tanya cucu nya yang paling mungil. "Nggak apa apa sayang, hanya teringat masa lalu" ucap si nona dengan cangkang lanjut usia milik nya.
.png)
0 Komentar