Berdansa dalam Jurang Absurditas - Samantha Gloria

 


Berdansa dalam Jurang Absurditas 

Samantha Gloria

Langkah Pak Idi terbawa melalui derit pintu yang mengalun menuju lokasi  Bu Iyah. Kakinya baru berhenti setelah sampai di ruang tengah rumahnya. Sang  istri tengah sibuk mengayun buah hati dalam rengkuhannya sembari para tamu  melantunkan doa, sedang seorang ustadz berhati-hati memotong surai tipis si bayi. 

Bu Iyah menatap putrinya seumpama malaikat mengambil presensi tepat di  hadapannya. Enah namanya—baru tiba di dunia tujuh hari lalu, tapi sukses menjadi  semesta dari kedua orang tuanya semenjak ia dirajut penuh cinta dalam kandungan.  Ah, konsep agape memang begitu romantis untuk manusia yang mendamba kasih. 

Bak sebuah film, potongan-potongan memori tentang bagaimana Bu Iyah  dan Pak Idi memperjuangkan kelahiran sang sulung berputar dalam benak. Air mata,  darah, emosi yang membuncah—mereka merengkuh semuanya demi Enah. “Makasih, ya, udah lahir di keluarga ini, Nak,” bisik Bu Iyah. 

Aqiqah memakan waktu cukup lama; barangkali menggaungkan rasa  syukur pada Langit dan ribuan kemurahan-Nya sampai kiamat juga belum cukup.  Selepas para tamu angkat kaki dari kediaman mereka, Bu Iyah—masih senantiasa  menggendong bayinya—mendudukkan diri di sofa dan mengambil sedikit rehat. 

“Kamu kayaknya seneng banget, Sayang.” 

Lontaran kalimat dari Pak Idi praktis mengundang kedua iris milik Bu Iyah  yang sewarna kayu di hutan untuk singgah pada tatapannya sambil tersenyum  jenaka. 

“Iya, dong,” jawab Bu Iyah, “Akhirnya kita jadi orang tua.” 

XXX 

Di suatu pagi yang embunnya masih semanis cinta pertama setiap manusia,  Bu Iyah sudah diajak berpikir keras oleh dunia yang penuh misteri. Kantuknya  langsung hilang. Pasalnya, surat di genggamannya benar-benar mengundang ribuan  pertanyaan untuk mengudara di benak.  

‘Siklus kedua: Aqiqah untuk Enah hari ini, pukul 09.00.’

Sebagai manusia yang yakin kalau usianya belum masuk fase pikun, Bu  Iyah mempertanyakan maksud dari surat yang secara ajaib terletak di meja riasnya. Aqiqah untuk kelahiran Enah sudah selesai seminggu yang lalu, ia yakin pada  kebenarannya. Jadi, apa maksud surat ini?  

Namun, belum sempat Bu Iyah menyusun hipotesis, suara Pak Idi  membuyarkan lamunannya. 

“Sayang, belum siap-siap? Katanya mau ada Aqiqah buat Enah, ‘kan?” “Lho, bukannya udah, Kang? Minggu lalu, ‘kan, udah selesai.” Pak Idi yang memiringkan kepalanya karena bingung, “Minggu lalu Enah  baru lahir, Sayang. Kunaon ari anjeun teh?” 

Buru-buru Bu Iyah menggelengkan kepalanya. Ia tidak mungkin melupakan  kapan tepatnya tangisan pertama Enah menggaung ke dunia. Namun, keteguhan itu  runtuh juga saat pandangan Bu Iyah beralih pada kalender yang masih  menunjukkan tanggal 3 Mei. Aneh, seingatnya kemarin sudah tanggal 9 Mei.  Mungkinkah yang selama ini ada di ingatannya cuma ilusi? 

“… Iya, ya? Mungkin aku mimpi tadi,” simpul Bu Iyah dengan setengah  hati seraya beranjak dari kamar untuk mendapati Enah di kamar bayi. Pak Idi  menggelengkan kepalanya dengan tatapan yang tak bisa diartikan. 

Lalu, sosok mereka lenyap di balik pintu kayu yang sudah lapuk. XXX 

Tujuh hari setelah kejadian itu, Bu Iyah kembali terhenyak saat mendapati  dirinya menggenggam surat yang sama dengan yang dibacanya minggu lalu.  Namun, kali ini tertulis ‘Siklus ketiga’. Dunianya kembali terulang. 

Matanya berpendar ke ruangan yang lagi-lagi ramai oleh para tamu, yang  mengantri untuk memotong rambut buah hatinya sebagai bagian dari prosesi Aqiqah, dengan sang suami yang menggendong buah hatinya di ujung antrian. 

Ada sesuatu yang salah, Bu Iyah paham hanya sampai sana. Mengenai apa  yang mengganjal di hatinya, ia tidak tahu.  

“Kok bisa tanggalnya ngulang lagi?” batinnya penuh tanya.

Sayangnya, ia adalah seorang pengecut. Jadi, Bu Iyah memilih untuk  menelan sendiri kebingungannya dengan harapan jawabannya akan muncul ke  permukaan entah bagaimana, suatu saat nanti. Tak perlu ada yang tahu hal ini  karena dia pun tidak mengerti tentang konsep repetisi pada Aqiqah tanggal 3 Mei.  

… Harusnya aku seneng, ‘kan? Gak selamanya aku bisa ngadain Aqiqah buat Enah.” 

Butuh keberanian sebesar prajurit di medan perang bagi seseorang untuk  membuang segala ragu yang menggerogotinya. Namun, katakanlah Bu Iyah  merupakan komandan ketimbang prajurit biasa. Ia menelan semua tanya di benak  karena sekarang ia yakin bahwa yang ia butuhkan hanyalah merayakan putrinya.  

Benar, terus begini saja tak mengapa.  

XXX 

‘Siklus ke-32: Aqiqah untuk Enah, pukul 09.00.’ 

Surat di genggaman Bu Iyah hadir seperti biasa di pagi yang juga menjadi  biasa, dengan angka yang terus bertambah. Namun, seolah sudah berdamai dengan  segala tanda tanya di kepalanya, wanita paruh baya itu menjalankan semuanya  sepenuh hati. Bahkan, dalam beberapa siklus, ia menuliskan pengalaman Aqiqah  untuk Enah pada catatan kecil untuk membacanya di siklus berikutnya. 

Bu Iyah kini bersahabat dengan surat yang dahulu membingungkannya. Hari berganti menjadi tahun, namun keseluruhan hidup Bu Iyah merupakan  Aqiqah untuk Enah. Entah sampai kapan akan terus berulang, tapi ia tidak pernah  menyesali keputusannya untuk terus terjebak dalam perayaan ini. Manusia lain  mungkin tetap melanjutkan hidup sampai batas waktu yang dituliskan oleh takdir,  namun bagi seorang ibu sepertinya, mengurung diri dalam repetisi ini merupakan  anugerah.  

Walau semesta dimakan usia dan bumi kehabisan bahan bakar untuk terus  berputar pada porosnya, tapi tidak dengan cinta Bu Iyah untuk Enah. Walau mentari  menggantikan rembulan ribuan kali, ia akan selalu kembali pada 3 Mei demi  putrinya. 

“Jangan pernah berubah. Kita gini aja terus, ya,” lirih Bu Iyah.

XXX 

Derap kaki yang menggema menyeret Bu Iyah keluar dari lamunannya.  Seseorang dengan jas putih menelitinya dari ujung kepala sampai ujung kaki.  Namun, tak butuh waktu lama sampai ia sadar kalau tubuhnya terperangkap di balik  jeruji. 

Air muka Bu Iyah berubah dengan cepat. Geraman panik sontak mengudara  di langit-langit sempit yang dicat serba putih. Buru-buru ia cengkram jeruji itu  sambil menatap balik seseorang di seberang.  

Mana putri aing?!”  

Seseorang tersebut menolehkan kepalanya untuk bertatap-tatapan selama  beberapa detik sebelum akhirnya mencatat sesuatu di atas lembaran kertas dalam  genggamannya. 

“Pasien Bangsal Firdaus: Iyah Malati, 32 tahun. Gangguan sensori persepsi.”  Hanya itu yang keluar dari mulutnya. Mendengar kalimat tersebut dan  melihat lingkungan sekitar, Bu Iyah membuat sebuah hipotesis. Inirumah sakit jiwa. Tiba-tiba saja, tengkuknya terasa dingin. Seolah dunia tak lagi  menyuguhkan api sekecil apapun yang bisa menghangatkannya dari perasaan tidak  aman. Bu Iyah segera meringkuk sambil meracau. 

Henteu, henteu. Aing nteu gila.”  

Dalam sekejap, Bu Iyah merasa sebatang kara karena tak mendapati baik  Pak Idi maupun Enah di sampingnya. Ia tertawa dengan suara yang tak kalah  menyedihkan, mati-matian menepis semua tebakan yang tercipta tanpa izin di  kepalanya. Kemudian, air matanya menerobos keluar dari pelupuk mata dengan  deras. Tentu saja, semua pemikiran itu benar adanya.  

Selanjutnya, terdengar isak tangis yang semula pelan, sebelum akhirnya  beralih menjadi erangan putus asa yang lebih keras, lebih nyaring, dan lebih tragis.  Mungkin bumi akan ikut berduka kalau benar tanah punya telinga. Sakit, sakit, sakit.Namun, apa yang sakit? 

Bu Iyah meraba-raba sekujur tubuhnya, berharap mendapatkan jawaban atas  rasa sakit tak berdasar yang bersarang di entah-bagian-tubuhnya-yang-mana. 

Kemudian, teriakkannya yang melolong perlahan berhenti setelah otaknya  berhasil menemukan jawabannya. Yang kesakitan sampai membuatnya menderita;  yang kesakitan sampai memblokir semua pemikiran logis untuk bersarang di  kepalanya; yang kesakitan sampai membuatnya mau mati—adalah hatinya. 

Wanita itu tahu bahwa sang buah hati secara nyata berada di suatu tempat  yang jauh dari jangkauannya—di bawah timbunan tanah yang dihiasi batu nisan  berbunga indah, tepat tujuh menit setelah kelahirannya. Cinta tetap pada pucaknya,  tapi dunia mengambil apa yang diinginkan secara rakus; menetapkan apa-apa saja  yang harus tersisa di dunia. Pun ia meraung bak iblis yang kehilangan setengah  jiwanya, Enah tak akan pernah kembali ke pelukannya. Tidak ada lagi Enah. 

Bu Iyah tahu jelas, namun menolak untuk paham. 

Maka lengannya yang kurus terulur pada sesuatu yang tergeletak tak jauh  dari tempatnya meringkuk, merengkuh kertas bertuliskan banyak sekali siklus. “Enah masih hidup, Nak. Kita Aqiqah lagi besok. Siklus ke-77.”  Tangisan Bu Iyah yang meneriakkan rasa sepi akhirnya tergantikan oleh  tawa lirih. Penderitaannya tak akan berakhir, lukanya tak akan mengering; tapi apa  kuasa Bu Iyah selain untuk menawarkan senyum manis pada dunia yang  tergambarkan oleh mimpi yang tak tercapai? 

Nama yang tersemat pada mendiang anaknya merupakan doa yang langsung  terjawab, sebab Enah memiliki arti sebagai surga; namun, Bu Iyah, sejalan pula  dengan namanya yang berarti bahagia, akan terus abadi dalam fantasi berupa  komedi tragis bahwa ia dan suaminya berkesempatan untuk menikmati hidup  bahagia bersama Enah, putri semata wayang mereka.  

Jikalau menjadi gila berarti Bu Iyah bisa terus hidup dalam kepalsuan  bersama imajinasinya tentang Enah yang manis, sehat, dan bernapas, maka ia tak  akan pernah ingin disembuhkan. Lalu, mungkin mereka akan bertemu suatu saat  nanti di firdaus saat Langit mengakhiri derita yang dibersamai oleh terhentinya  detak jantungnya untuk selama-lamanya. 

Sampai saat itu tiba, Bu Iyah akan terus menunggu, menunggu, dan  menunggu; sambil berdansa dalam konsep imajinasi berupa repetisi yang absurd.


Posting Komentar

0 Komentar