Jejak Kata di Tanah Hening - Eka Putra Arnel Pane


Jejak Kata di Tanah Hening 
oleh: Eka Putra Arnel Pane

Matahari sore perlahan turun di balik perbukitan hijau, menumpahkan cahaya  jingga di sepanjang tepian sawah. Angin membawa aroma padi muda, bercampur  dengan suara gemericik sungai yang tak pernah berhenti bernyanyi. Di tepi desa,  tepat di teras rumah kayu yang sudah berumur puluhan tahun, duduklah seorang  pemuda bernama Saka. Tangan kanannya menggenggam sebuah buku lusuh dengan  sampul cokelat yang telah memudar. Buku itu peninggalan kakeknya, seorang  pencerita tua yang terkenal dengan sebutan Datuk Na'im. 

 Saka menatap halaman demi halaman. Di dalamnya tertulis cerita-cerita rakyat,  pantun-pantun lama, hingga peribahasa yang jarang sekali terdengar lagi di telinga  anak muda sekarang. Kata-kata itu tidak semua ia pahami. Ada istilah kuno yang  terasa asing, ada pula kalimat yang terdengar seolah berbicara dengan logat masa  silam. Meski begitu, Saka merasakan sesuatu yang menggetarkan dadanya setiap  kali membaca. Ia merasa seakan-akan sedang bercakap dengan suara yang  menyeberangi waktu. 

 “Apakah kata-kata ini akan hilang jika tidak ada yang meneruskannya?”  gumamnya. 

 Pertanyaan itu terus bergema di kepalanya. Sejak kecil, ia tumbuh dalam arus  deras modernitas. Teman-temannya lebih akrab dengan bahasa asing yang mereka  gunakan di media sosial daripada pantun nenek moyang. Malam-malam yang dulu  dipenuhi dongeng di setiap rumah kini digantikan dengan layar ponsel yang  bercahaya biru. Saka merasa seperti sedang berdiri di perbatasan: antara jejak lama  yang memudar dan dunia baru yang terus berlari. 

 Suatu pagi, Saka memutuskan berkunjung ke rumah Pak Candra, guru bahasa  sekaligus penjaga naskah tua di surau desa. Rumah itu sederhana, berdinding papan,  tetapi rak kayunya penuh dengan tumpukan buku dan catatan-catatan berdebu.  Aroma kertas tua bercampur dengan wangi kopi hangat menyambut Saka ketika ia  melangkah masuk.

 “Datang membawa buku Datukmu, ya?” tanya Pak Candra sambil tersenyum,  matanya menyipit seolah dapat menebak isi tas yang Saka bawa. 

 Saka mengangguk dan menyerahkan buku cokelat itu. “Saya ingin tahu, Pak.  Apa semua yang tertulis di dalamnya masih bisa dipahami? Banyak kata yang saya  sendiri tidak mengerti.” 

 Pak Candra membuka lembar demi lembar dengan hati-hati. Ia berhenti pada  satu halaman, lalu membaca sebuah pantun lama. 

 Suara Pak Candra bergetar, seolah bait yang dibacanya itu menyimpan beban.  “Saka, kata adalah jembatan. Tanpa kata, kita bisa kehilangan jalan kembali pada  asal.” 

 Saka terdiam. Ia merasa pesan itu bukan sekadar pantun, melainkan sebuah  peringatan. 

 Hari-hari berikutnya, Saka mulai menyalin ulang isi buku itu ke dalam tulisan  baru. Ia tidak sekadar menyalin, tetapi juga menambahkan penjelasan tentang arti  kata-kata kuno, makna pantun, serta kisah di balik cerita rakyat. Kadang ia merasa  kewalahan karena banyak istilah yang sulit dicari padanannya. Namun  semangatnya tak pernah surut. 

 Satu malam, ketika listrik padam dan desa diliputi gelap, Saka menyalakan pelita  minyak di kamarnya. Ia membaca dengan suara keras sebuah legenda dari buku  kakeknya. Di luar, terdengar suara langkah anak-anak yang penasaran. Mereka  berkumpul di teras rumah, mendengarkan cerita Saka yang mengisahkan tentang  putri yang menjelma burung demi menjaga kehormatan keluarganya. 

 Anak-anak itu terpesona. Mereka yang biasanya sibuk dengan gawai kini duduk  terpaku, matanya berbinar mendengar kisah yang penuh keajaiban. Saka menyadari  sesuatu: cerita-cerita itu tidak hanya menyimpan bahasa, tetapi juga menyimpan  daya magis yang mampu mengikat hati.

 Kabar tentang Saka yang suka membacakan kisah lama mulai menyebar. Pada  suatu sore, kepala desa mengundangnya untuk ikut dalam pertemuan adat. Di balai  desa, para tetua duduk melingkar. Mereka membawa naskah-naskah tua, beberapa  di antaranya sudah rapuh dimakan usia. 

 “Kami sudah lama khawatir,” kata kepala desa. 

 “Bahasa lama kita makin jarang digunakan. Jika tidak ada yang melanjutkan,  kata-kata itu akan mati bersama kami. Kamu, Saka, tampaknya punya niat untuk  menjaga.” 

 Saka terdiam, hatinya bergetar. Ia tak menyangka akan mendapat kepercayaan  sebesar itu.  

 Dengan suara mantap, ia menjawab, “Saya tidak bisa menjanjikan banyak, tapi  saya akan mencoba membuat kata-kata itu hidup kembali, setidaknya lewat tulisan  dan cerita yang bisa dipahami generasi sekarang.” 

 Para tetua mengangguk. Ada cahaya harapan di wajah mereka. 

 Minggu demi minggu, Saka menulis dan membacakan cerita. Ia juga  mengunggah sebagian tulisannya ke media sosial, menggunakan bahasa yang lebih  akrab dengan anak muda, tetapi tetap menyelipkan kata-kata kuno sebagai inti.  Lambat laun, beberapa kata lama yang nyaris terlupakan kembali disebut. Misalnya  kata “rindu dendam” untuk kerinduan yang dalam. 

 Di sekolah, guru-guru mulai meminta Saka membagikan kisah dalam kegiatan  literasi pagi. Siswa-siswa yang awalnya enggan membaca cerita tradisi kini mulai  penasaran, bahkan mencoba membuat pantun sendiri. Kata-kata lama yang tadinya  terasing kini hidup kembali dalam ruang kelas. 

 Suatu hari, Saka menerima pesan dari seorang pembaca di kota. Orang itu  mengaku terinspirasi menulis ulang legenda daerahnya sendiri setelah membaca 

tulisan Saka. Saat itu juga, Saka sadar bahwa jejak kata tidak berhenti di satu desa  saja. Ia bisa menyeberang, menembus ruang, dan mengikat hati banyak orang. 

 Tahun berganti. Buku warisan kakek kini sudah dicetak ulang dan dilengkapi  penjelasan. Saka memberi judulnya “Jejak Kata di Tanah Hening”. Dalam acara  peresmian di balai desa, ia berdiri di hadapan warganya dengan rasa haru. 

 “Cerita ini bukan hanya milik saya,” katanya, suaranya bergetar. 

 “Ini adalah warisan kita. Kata-kata yang ditinggalkan nenek moyang adalah  napas budaya. Jika kita menjaganya, maka kita menjaga jati diri kita sendiri.” 

 Tepuk tangan bergema. Di antara kerumunan, Saka melihat seolah kakeknya  tersenyum dari kejauhan, bangga karena jejak kata itu kini menemukan rumah baru. 

 Malam itu, di bawah langit penuh bintang, Saka menatap halaman terakhir  bukunya. Ia menuliskan satu kalimat sederhana: 

 “Bahasa adalah jejak yang tidak pernah hilang, selama ada yang mau berjalan  di atasnya.” 

 Dan dengan itu, Saka tahu bahwa perjalanan menjaga warisan budaya lewat kata  baru saja dimulai.


Posting Komentar

0 Komentar