Ombak di muara berdentang, memukul tiang-tiang jembatan kayu seperti mengetuk pintu rumah lama. Hamzah berdiri di sana, tangan penuh dengan debu tinta, menatap papan nama yang kusam: “Balai Pantun Zainab.” Catnya mengelupas, tetapi huruf-huruf itu masih teguh, seolah menahan hembus angin asing yang saban tahun datang membawa kata-kata baru dan lupa yang lama. Nenek Mandakilun sudah tiada. Sejak sepuluh hari yang lalu, kampung seperti menahan napas. Bukan hanya karena kedukaan, tetapi karena sesuatu yang tidak terlihat: suara pantun yang dahulu mengisi malam telah lenyap. Dulu, setiap selesai Isya, nenek duduk di bangku rotan kesukaannya, jari-jarinya memegang kipas dari kertas bekas obat nyamuk, dan suara pantun mengalun seperti meniup lampu-lampu pelita agar tak padam. Anak-anak duduk bersila. Orang dewasa pun menyimak sambil pura-pura tidak terharu. Sekarang semuanya telah lenyap yang ada hanya anggin malam menusuk tulang sehingga orang-orang kampung lebih baik mendiam diri di rumah.
Hamzah menelan ludah. Di sakunya ada kunci kecil yang diwariskan nenek, dibungkus kain segitiga beraroma minyak alang-alang. Surat kecil menyertainya: “Pintu hanya akan terbuka bila kata kembali bernyawa.”. Hamzah memutar kunci itu pada gembok yang sudah karatan. Sekali, dua kali.. klik suara gembok kebuka. Pintu kayu mengerang. Bau kayu tua yang bercampur kapur barus dan sedikit debu menyambutnya. Di dalam, rak-rak bambu bersandar, penuh buku catatan dan gulungan kertas. Di tengah, ada sebuah peti tua yang menarik mata seakan-akan memanggil dengan warna emas dengan ukiran pucuk rebung dan seekor serindit kecil di sudutnya.
Hamzah mendekati peti dan duduk bersila sebagaimana ia dulu duduk di depan nenek. Ia menatap ukiran serindit itu; burung kecil itu tampak seolah sedang memerhatikan. Ia lalu membuka penutup peti. Di dalamnya ada naskah. Bukan satu atau dua, melainkan puluhan. Kertasnya kekuningan, beberapa sudah ditambal
dengan kain. Di sampul-sampul itu tertulis halus: Pantun Petuah, Pantun Rantau, Gurindam Alam, Mantera Ombak. Hamzah mengelus permukaan kertas, dan jantungnya tiba-tiba berdebar ganjil campuran rindu dan takut. Ia mengambil naskah Mantera Ombak. Di halaman pertama, tertera sebait pantun yang pernah ia dengar ketika kecil, tapi kini terasa seperti pesan yang menunggu dibacakan:
Kelip-kelip di hujung tanjung,
Bersinar redup sebelum subuh;
Jika kata tak lagi disanjung,
Pulai di muara patah tumbuh.
Hamzah menutup mata, mencoba mengingat suara nenek saat melantunkan pantun “nadanya kalau tidak salah naik sedikit di akhir baris pertama, turun di baris kedua, lalu menguat di baris ketiga, dan melembut di baris keempat”. Saat mengingat lantunan ia teringat saat umurnya baru delapan atau sembilan tahun, “pantun hanya hiasan,” katanya pada dirinya sendiri dulu, “untuk acara seremonial dan karangan sekolah.” Ia tertawa getir mengingat keangkuhan mudanya. Sebuah angin lembab masuk dari celah jendela, mengangkat sedikit lembaran kertas. Di balik halaman yang terangkat, ada catatan tangan nenek: “Jangan sekadar hafal, pahami. Pantun itu doa yang berpantun. Doa menyimpan niat, niat menyimpan jalan.” Di luar, suara anak-anak tertawa mengejar layang-layang. Di tengah tawa itu, ada nada lain, lirih, seperti suara seseorang berbalas pantun dari kejauhan. Hamzah menajamkan telinga. Suara itu datang dari arah muara. Ia keluar. Matahari bergeser, cahayanya memantul pada riak air. Suara itu lebih jelas:
Paku dulang bertabur intan,
Intan sebutir di laman rumah;
Jika pulang jangan tinggalkan,
Jejak bahasa di pasir masrah.
Masrah kata aneh itu menohok. Ia tidak pernah mendengar “masrah.” Barangkali kata lama, kata kampung tua yang tak sempat singgah di kamus. Hamzah melangkah ke tepi muara, dan di situlah ia melihatnya: sebatang papan kecil terapung, diikat pada pasak kayu. Papan itu bertulis halus, seperti tangan nenek, “Balaslah, Hamzah.”. Tenggorokan Hamzah kering. Ia ingin lari, atau menertawakan kebetulan. Namun angin membawa aroma laut dan daun pandan. Tiba-tiba sebuah susunan kata menyelinap di lidahnya bukan hafalan, tapi seakan
pernah suatu ketika dia dengar.
Layang terbang berpotang-panting,
Talinya cemas memanggil arah;
Jika pulang kupilih bising,
Biar bahasa tumbuh di darah.
Air bergoyang pelan, seperti membenarkan. Di kejauhan, suara perempuan adakah itu suaranya? kembali menyeru, “Masrah: tanah yang diingat, meski tak dipetakan.” Hamzah terperanjat. Kata itu tidak ia temukan dalam perbendaharaan kota. Masrah. Ia mengulang pelan, merasai teksturnya di lidah. Tanah yang diingat. Tiba-tiba ia paham: “bahasa menjaga tempat yang tak lagi ada di peta kampung yang pindah, muara yang bergeser, rumah yang runtuh semuanya bisa pulang melalui kata.” Ia kembali ke balai. Di peti, di bawah naskah pantun, ada selembar kain putih dengan guratan hitam: Gurindam Dua Belas Salinan Zainab. Hamzah tidak pernah memperhatikan gurindam; ia terlalu sibuk dengan hirup-piruk masa kini. Namun ketika ia membaca halaman gurindam: “Barang siapa mengenal dunia, tahu yang tipu segala.” Ia menelan ludah. Ia bukan takut pada dunia, tapi pada kefakirannya sendiri di hadapan kata.
Malam turun di balai, Hamzah menyalakan pelita. Bayangan huruf-huruf seakan akan menari di dinding. Ia kemudian mendengar ketukan pelan di pintu. Ketika dibuka, tampak tiga anak kecil dengan kaki berlumur pasir. “Abang Hamzah,” kata yang tertua, “besok ada orang kota datang katanya mau merekam ‘tradisi yang
tersisa’. Kalau tak ada yang berpantun, mereka bilang tradisi selesai. Kami tak tahu pantun. Abang tahu?”. Hamzah memandangi mereka lama-lama. Dalam benaknya, suara nenek membacakan bait-bait yang dulu ia abaikan. Ia mengangguk pelan. “Datanglah esok selepas Asar. Kita belajar berbalas.”. Anak-anak itu tersenyum. “Kalau kami pandai, pantun tak habis ya, bang?”. “Pantun tidak habis,”
jawab Hamzah, “kalau engkau membaginya.”. Setelah mereka pulang, Hamzah kembali ke peti. Ada lembaran yang belum ia sentuh: Pantun Perahu. Di halaman terakhir tertulis, “Apabila arus kuat dan tiang lemah, belajarlah dari kata-kata; di sanalah tali diikat.” Di bawahnya, ada baris tambahan yang seperti ditulis lebih baru, barangkali saat nenek sakit: “Jika aku tiada, jangan biarkan pintu diam. Kuncinya di suara bukan di gembok.”
Esoknya, balai pantun lebih ramai dari biasanya. Orang kota datang dengan kamera dan mikrofon. Mereka ingin merekam, merangkum rapi dalam durasi tiga menit. Hamzah memandang anak-anak, memandang para ibu yang membawa kuih, para bapak yang berdiri di luar sambil pura-pura tak peduli. Ia merasakan keringat di telapak tangannya. “Mulailah,” kata salah satu petugas, “apa saja yang khas di sini.” Hamzah menatap kamera, lalu memalingkan wajah pada anak-anak. “Bukan untuk kamera,” katanya pelan, “untuk kita sendiri.” Ia membuka naskah Pantun Petuah. “Kita berbalas, ya?” tanyanya. Anak-anak mengangguk. Hamzah memulai:
Padi menguning di tepi kota,
Burung tempua hinggap di puri;
Pantun bukan lama semata,
Ia bekal pulang ke diri.
Anak paling kecil mencoba membalas, ragu-ragu:
Air terjun bersuara deru,
Gemericik pagi berlalu-lalu;
Kalau pantun abanglah guru,
Biar kami hidupkan selalu.
Orang-orang tertawa kecil, bukan mengejek, tapi bangga. Kata-kata merambat seperti akar sagu yang mencari tanah. Hamzah menyambung, kali ini dengan pantun yang dulu nenek ajarkan untuk menenangkan anak yang takut laut:
Jika takut pada gelombang,
Belajarlah hidup tekun;
Bukan laut yang suka bimbang,
Hanyalah kita lupa pantun.
Angin mengelus daun pintu. Kamera merekam, tapi sorotnya terasa tak penting. Yang penting ialah bagaimana kata-kata menubuh di ruang itu mengajari mulut anak-anak menimbang rima, menekankan makna, merajut pengalaman. Di halaman selanjutnya, Hamzah melihat catatan kaki yang aneh: “Pantun Pembuka Pintu.” Ia berhenti, menatap anak-anak, lalu menoleh pada jendela yang menghadap muara. “Sebelum penutup,” katanya, “ada satu pantun untuk pintu.” Ia bangkit, berjalan ke pintu balai yang separuh terbuka. Ia membacanya dengan pelan:
Serindit hinggap di dahan akasia,
Mencuri pagi, menelan sunyi;
Jika bahasa kembali bernyawa,
Pintu terbuka, kampung berdiri.
Pintu itu terbuka penuh, bayangan air muara masuk kemudian orang-orang terdiam; bukan karena ada keajaiban besar hanya pintu yang terbuka. Namun di dada mereka, sesuatu yang lama tertahan melonggar. Seseorang berdehem yang lain mengusap mata. Kata-kata ternyata bisa membuka hal-hal yang kita sangka sudah tertutup bukan karena gembok diganti, tetapi karena makna dihidupkan. Petugas kota menurunkan kamera. “sangat otentik.” Tapi Hamzah tidak mendengar. Ia sibuk menjejak di kepala: masrah. Tanah yang diingat. Ia melihat anak-anak itu, lalu melihat rak naskah warisan yang tak boleh lagi tidur. Di malamnya, ia menulis bukan puji-pujian, bukan nostalgia. Ia menulis catatan: nama-nama jenis angin yang dipakai dalam pantun, nama bunga kampung yang dulu sering jadi rima penghabis, kata-kata yang hampir punah: masrah, ruyung, bajul, tating, tapang. Ia merekam suara orang tua di kampung berpantun, bukan untuk memenangi dokumenter, melainkan untuk memastikan suara itu masih bisa dipelajari lima belas tahun lagi. Lalu ia menulis sebuah gurindam di halaman kosong, sebagai ikrar:
Jika lahir kata tanpa akar,
Keringlah jiwa, retaklah sabar;
Jika kata berakar di bumi,
Di situlah rumah, di situlah kami.
Beberapa bulan kemudian, balai pantun punya murid tetap. Mereka berbalas bukan karena disuruh, melainkan karena terasa menyenangkan. Hamzah membiarkan anak-anak mencipta pantun dari pengalaman baru tentang telepon genggam, tentang sepeda listrik, tentang tugas sekolah lalu mengikatkannya pada rima lama agar yang baru tak mencabut yang lama. Pantun menjadi jembatan, bukan pagar.
Suatu sore, Hamzah menatap papan nama di depan balai. Ia mengambil kuas dan mengecat ulang huruf-hurufnya. Di bawah “Balai Pantun Zainab” ia menulis kecil: “Masrah: Tanah yang Diingat.” Saat cat masih basah, seekor serindit hinggap sebentar di pasak kayu, menoleh, lalu terbang ke arah ombak. Hamzah tersenyum. Ia tahu, warisan tidak hanya tinggal di lembar naskah. Ia ada di mulut yang berani melafal, di telinga yang sudi mendengar, dan di tangan yang sedia menulis kembali. Bahasa dengan pantun, gurindam, dan petuahnya bukan museum yang dingin, melainkan lampu kecil yang setia menyala di tepi muara. Selama ada yang mau menyalakan, jejaknya tetap tampak, meski ombak datang seribu kali.
.png)
0 Komentar