Pacu Jalur, atau yang akrab disebut Pacu Jalua oleh masyarakat setempat, adalah pesta rakyat yang menjadi kebanggaan kabupaten Kuantan Singingi. Berupa lomba mendayung perahu Panjang dan dilaksanakan Setiap tahun. Ribuan warga dan pengunjung tumpah ruah di Tepian Narosa, tempat di mana suara sorak penonton berpadu dengan deru dayung para pelayu—sebutan bagi para pendayung perahu jalur—yang berpacu di aliran Sungai Kuantan. Festival ini bukan sekadar perlombaan perahu, melainkan wujud kebersamaan dan semangat gotong royong yang telah mengakar kuat dalam budaya masyarakat Kuansing.
Setiap jalur yang ikut berpacu merupakan cerminan semangat dari berbagai kecamatan di Kuantan Singingi, bahkan ada pula yang datang dari luar daerah. Setiap perahu diberi nama khas yang menjadi lambang kebersatuan dan kebanggaan bagi para pelayu. Dengan irama dayung yang serempak, mereka berlomba dengan penuh semangat dalam ajang Pacu Jalur, memperebutkan hadiah yang bisa mencapai ratusan juta rupiah—bahkan beberapa ekor sapi turut menjadi bonus bagi para pemenang. Namun, lebih dari sekadar hadiah, kebanggaan atas nama kecamatan dan kehormatan daerah menjadi tujuan utama bagi setiap peserta.
Konon, beberapa jalur diyakini memiliki unsur magis yang dapat meningkatkan peluang kemenangan. Para pelayu bukan satu-satunya yang berperan di atas perahu; ada pula mereka yang dipercaya menjaga dan memberi kekuatan
gaib bagi sang jalur. Mereka dikenal sebagai dukun jalur atau pawang jalur. Meski tidak menjadi keharusan dalam setiap pembuatan jalur, kehadiran pawang telah menjadi tradisi turun-temurun untuk mempersakti jalur sebelum berlaga. Tak jarang, satu jalur dibantu oleh lebih dari satu pawang, Karena dipercaya semakin banyak pawang, semakin kuat pula tuah yang menyertai jalur tersebut.
Lalu, ada pula tarian khas yang belakangan ini viral di media sosial, dikenal dengan istilah “aura farming” dan dibawakan oleh sosok yang akrab disebut penari coki. Mereka adalah anak-anak yang mewakili setiap kecamatan untuk menari di depan jalur daerahnya. Gerak mereka yang lincah dan penuh semangat dipercaya dapat menyalurkan energi positif sekaligus menjaga keseimbangan jalur saat berlomba. Lebih dari itu, penari coki juga memiliki peran simbolis: mereka akan bersujud syukur ketika jalur mereka menang, atau meloncat dari jalur sebagai ungkapan sukacita dan kebanggaan atas kemenangan yang diraih.
Pemilihan anak-anak sebagai penari coki tentu tidak dilakukan sembarangan. Ada sejumlah hal yang menjadi pertimbangan penting, seperti mental yang kuat, bobot badan yang ringan, kemampuan berenang, serta keseimbangan tubuh saat berdiri di atas jalur. Seorang penari coki harus mampu menjaga posisi di ujung perahu panjang, dengan pijakan selebar hanya sekitar 25 cm—sebuah tantangan besar yang menuntut keberanian dan konsentrasi tinggi. Dengan mental yang teguh, mereka tampil di hadapan ribuan penonton, menari di ujung jalur dengan penuh keyakinan. Dari sanalah kita dapat menyaksikan sosok anak coki, atau dalam bahasa lokal disebut juga togak luan dan tukang tarik, yang menjadi bagian penting dalam memeriahkan Festival Pacu Jalur.
Selain anak coki yang menari di bagian depan jalur, ada pula sosok penting yang disebut timbo ruang sang pemimpin atau kapten jalur. Ia duduk di bagian tengah perahu, menjadi pengatur irama dayung sekaligus penjaga semangat para pelayu. Dengan suara yang lantang dan penuh wibawa, timbo ruang memandu setiap kayuhan agar tetap seirama dan kuat menuju garis akhir. Tak hanya itu, ia
juga bertugas menguras air yang masuk ke dalam jalur, menjaga agar perahu tetap ringan, stabil, dan melaju cepat di derasnya arus Sungai Kuantan.
Tidak hanya berperan secara teknis, timbo ruang juga memiliki makna filosofis yang mendalam. Ia mencerminkan jiwa seorang pemimpin dan semangat persatuan yang besar. Dengan wibawa dan suara yang tegas, ia memandu jalur menembus derasnya arus Sungai Kuantan, membawa perahu menuju kemenangan. Timbo ruang adalah pusat kekompakan, penggerak semangat, dan penyala api perjuangan bagi para pelayu. Lebih dari itu, ia menjadi sosok yang dapat memikul tanggung jawab atas jalurnya menjadi simbol bahwa keberhasilan adalah hasil dari kerja sama, keselarasan, dan kepemimpinan yang bijaksana.
Tak kalah penting dari peran lainnya, ada sosok tukang onjai yang menjadi bagian vital dalam tradisi Pacu Jalur. Ia berada di bagian belakang perahu, menggerakkan tubuhnya dengan ayunan ritmis gerakan yang disebut ma onjai dalam Bahasa local untuk memberikan daya dorong agar jalur melaju lebih cepat dan tetap seimbang di tengah arus sungai. Selain menjaga arah jalur agar tetap lurus, tukang onjai juga memegang makna filosofis: ia mencerminkan keseimbangan antara adat dan agama, menjadi penuntun agar perahu tidak hanya stabil di air, tetapi juga selaras dengan nilai-nilai kehidupan masyarakat Kuantan Singingi.
Lalu, terakhir namun tak kalah pentingnya, ada sosok pengayuh atau pelayu mereka yang menjadi tenaga utama penggerak jalur. Para pelayu dikenal memiliki fisik yang kuat dan ketangkasan yang terlatih, hasil dari latihan panjang dan disiplin yang tinggi. Beberapa hari atau bahkan bulan sebelum festival dimulai, di tepian Sungai Kuantan sudah terdengar suara tegas mereka saat berlatih: melatih kekuatan, kelembutan dalam kayuhan, dan kekompakan yang menjadi kunci kemenangan. Setiap gerakan mereka berpadu dengan irama yang dikomandoi oleh timbo ruang, serta ayunan tubuh dari tukang onjai di bagian belakang jalur. Dalam satu perahu jalur, biasanya terdapat 50 hingga 60 pelayu yang mengayuh serempak—membawa jalur mereka melaju penuh semangat dan gemilang hingga mencapai garis akhir.
Ketika lomba dimulai, suasana di Tepian Narosa berubah menjadi lautan semangat dan sorak sorai. Air Sungai Kuantan beriak hebat, terbelah oleh deretan jalur yang meluncur cepat seperti anak panah. Suara teriakan pelayu, komando timbo ruang, dan hentakan tubuh tukang onjai berpadu menjadi irama yang menggetarkan dada siapa pun yang menonton. Dari kejauhan, tampak jalur-jalur
panjang itu melaju gemilang, berhiaskan warna-warna mencolok dan bendera kebanggaan kecamatan masing-masing. Setiap kayuhan menjadi simbol perjuangan; setiap percikan air adalah bukti semangat yang tak pernah padam.
Saat jalur mencapai garis akhir, gemuruh penonton semakin riuh. Sorak gembira, tabuhan gendang, dan pekikan kemenangan berpadu di udara Kuantan yang panas dan penuh euforia. Jalur yang berhasil menembus garis finish lebih dulu bukan hanya meraih kemenangan, tapi juga kehormatan dan kebanggaan bagi daerah yang diwakilinya. Di atas jalur, para pelayu mengangkat dayung dengan sorot mata berkilau; wajah mereka basah oleh keringat dan air sungai, namun penuh rasa syukur. Di momen itu, Pacu Jalur bukan sekadar lomba melainkan perayaan atas kerja keras, persatuan, dan semangat hidup masyarakat Kuantan Singingi.
.png)
0 Komentar