Kegemilangan Sang Jalur Dalam Sorak Sorai di Tepian Narosa - Darryl Arfa Haziq

 


Kegemilangan Sang Jalur Dalam Sorak Sorai di Tepian Narosa
Karya: Darryl Arfa Haziq

Pacu Jalur, atau yang akrab disebut Pacu Jalua oleh masyarakat setempat,  adalah pesta rakyat yang menjadi kebanggaan kabupaten Kuantan Singingi. Berupa lomba mendayung perahu Panjang dan dilaksanakan Setiap tahun. Ribuan warga  dan pengunjung tumpah ruah di Tepian Narosa, tempat di mana suara sorak  penonton berpadu dengan deru dayung para pelayu—sebutan bagi para pendayung  perahu jalur—yang berpacu di aliran Sungai Kuantan. Festival ini bukan sekadar  perlombaan perahu, melainkan wujud kebersamaan dan semangat gotong royong  yang telah mengakar kuat dalam budaya masyarakat Kuansing. 

Setiap jalur yang ikut berpacu merupakan cerminan semangat dari berbagai  kecamatan di Kuantan Singingi, bahkan ada pula yang datang dari luar daerah.  Setiap perahu diberi nama khas yang menjadi lambang kebersatuan dan kebanggaan  bagi para pelayu. Dengan irama dayung yang serempak, mereka berlomba dengan  penuh semangat dalam ajang Pacu Jalur, memperebutkan hadiah yang bisa  mencapai ratusan juta rupiah—bahkan beberapa ekor sapi turut menjadi bonus bagi  para pemenang. Namun, lebih dari sekadar hadiah, kebanggaan atas nama  kecamatan dan kehormatan daerah menjadi tujuan utama bagi setiap peserta. 

Konon, beberapa jalur diyakini memiliki unsur magis yang dapat  meningkatkan peluang kemenangan. Para pelayu bukan satu-satunya yang berperan  di atas perahu; ada pula mereka yang dipercaya menjaga dan memberi kekuatan 

gaib bagi sang jalur. Mereka dikenal sebagai dukun jalur atau pawang jalur. Meski  tidak menjadi keharusan dalam setiap pembuatan jalur, kehadiran pawang telah  menjadi tradisi turun-temurun untuk mempersakti jalur sebelum berlaga. Tak  jarang, satu jalur dibantu oleh lebih dari satu pawang, Karena dipercaya semakin  banyak pawang, semakin kuat pula tuah yang menyertai jalur tersebut. 

Lalu, ada pula tarian khas yang belakangan ini viral di media sosial, dikenal  dengan istilah “aura farming” dan dibawakan oleh sosok yang akrab disebut penari  coki. Mereka adalah anak-anak yang mewakili setiap kecamatan untuk menari di  depan jalur daerahnya. Gerak mereka yang lincah dan penuh semangat dipercaya  dapat menyalurkan energi positif sekaligus menjaga keseimbangan jalur saat  berlomba. Lebih dari itu, penari coki juga memiliki peran simbolis: mereka akan  bersujud syukur ketika jalur mereka menang, atau meloncat dari jalur sebagai  ungkapan sukacita dan kebanggaan atas kemenangan yang diraih. 

Pemilihan anak-anak sebagai penari coki tentu tidak dilakukan  sembarangan. Ada sejumlah hal yang menjadi pertimbangan penting, seperti mental  yang kuat, bobot badan yang ringan, kemampuan berenang, serta keseimbangan  tubuh saat berdiri di atas jalur. Seorang penari coki harus mampu menjaga posisi di  ujung perahu panjang, dengan pijakan selebar hanya sekitar 25 cm—sebuah  tantangan besar yang menuntut keberanian dan konsentrasi tinggi. Dengan mental  yang teguh, mereka tampil di hadapan ribuan penonton, menari di ujung jalur  dengan penuh keyakinan. Dari sanalah kita dapat menyaksikan sosok anak coki,  atau dalam bahasa lokal disebut juga togak luan dan tukang tarik, yang menjadi  bagian penting dalam memeriahkan Festival Pacu Jalur. 

Selain anak coki yang menari di bagian depan jalur, ada pula sosok penting  yang disebut timbo ruang sang pemimpin atau kapten jalur. Ia duduk di bagian  tengah perahu, menjadi pengatur irama dayung sekaligus penjaga semangat para  pelayu. Dengan suara yang lantang dan penuh wibawa, timbo ruang memandu  setiap kayuhan agar tetap seirama dan kuat menuju garis akhir. Tak hanya itu, ia 

juga bertugas menguras air yang masuk ke dalam jalur, menjaga agar perahu tetap  ringan, stabil, dan melaju cepat di derasnya arus Sungai Kuantan.


Tidak hanya berperan secara teknis, timbo ruang juga memiliki makna  filosofis yang mendalam. Ia mencerminkan jiwa seorang pemimpin dan semangat  persatuan yang besar. Dengan wibawa dan suara yang tegas, ia memandu jalur  menembus derasnya arus Sungai Kuantan, membawa perahu menuju kemenangan.  Timbo ruang adalah pusat kekompakan, penggerak semangat, dan penyala api  perjuangan bagi para pelayu. Lebih dari itu, ia menjadi sosok yang dapat memikul  tanggung jawab atas jalurnya menjadi simbol bahwa keberhasilan adalah hasil dari  kerja sama, keselarasan, dan kepemimpinan yang bijaksana. 

Tak kalah penting dari peran lainnya, ada sosok tukang onjai yang menjadi  bagian vital dalam tradisi Pacu Jalur. Ia berada di bagian belakang perahu,  menggerakkan tubuhnya dengan ayunan ritmis gerakan yang disebut ma onjai  dalam Bahasa local untuk memberikan daya dorong agar jalur melaju lebih cepat  dan tetap seimbang di tengah arus sungai. Selain menjaga arah jalur agar tetap lurus,  tukang onjai juga memegang makna filosofis: ia mencerminkan keseimbangan  antara adat dan agama, menjadi penuntun agar perahu tidak hanya stabil di air, tetapi  juga selaras dengan nilai-nilai kehidupan masyarakat Kuantan Singingi. 

Lalu, terakhir namun tak kalah pentingnya, ada sosok pengayuh atau pelayu  mereka yang menjadi tenaga utama penggerak jalur. Para pelayu dikenal memiliki  fisik yang kuat dan ketangkasan yang terlatih, hasil dari latihan panjang dan disiplin  yang tinggi. Beberapa hari atau bahkan bulan sebelum festival dimulai, di tepian  Sungai Kuantan sudah terdengar suara tegas mereka saat berlatih: melatih kekuatan,  kelembutan dalam kayuhan, dan kekompakan yang menjadi kunci kemenangan.  Setiap gerakan mereka berpadu dengan irama yang dikomandoi oleh timbo ruang,  serta ayunan tubuh dari tukang onjai di bagian belakang jalur. Dalam satu perahu  jalur, biasanya terdapat 50 hingga 60 pelayu yang mengayuh serempak—membawa  jalur mereka melaju penuh semangat dan gemilang hingga mencapai garis akhir. 

Ketika lomba dimulai, suasana di Tepian Narosa berubah menjadi lautan  semangat dan sorak sorai. Air Sungai Kuantan beriak hebat, terbelah oleh deretan  jalur yang meluncur cepat seperti anak panah. Suara teriakan pelayu, komando  timbo ruang, dan hentakan tubuh tukang onjai berpadu menjadi irama yang  menggetarkan dada siapa pun yang menonton. Dari kejauhan, tampak jalur-jalur 


panjang itu melaju gemilang, berhiaskan warna-warna mencolok dan bendera  kebanggaan kecamatan masing-masing. Setiap kayuhan menjadi simbol  perjuangan; setiap percikan air adalah bukti semangat yang tak pernah padam. 

Saat jalur mencapai garis akhir, gemuruh penonton semakin riuh. Sorak  gembira, tabuhan gendang, dan pekikan kemenangan berpadu di udara Kuantan  yang panas dan penuh euforia. Jalur yang berhasil menembus garis finish lebih dulu  bukan hanya meraih kemenangan, tapi juga kehormatan dan kebanggaan bagi  daerah yang diwakilinya. Di atas jalur, para pelayu mengangkat dayung dengan  sorot mata berkilau; wajah mereka basah oleh keringat dan air sungai, namun penuh  rasa syukur. Di momen itu, Pacu Jalur bukan sekadar lomba melainkan perayaan  atas kerja keras, persatuan, dan semangat hidup masyarakat Kuantan Singingi. 

Pacu Jalur bukan sekadar festival atau hiburan rakyat. Ia menyimpan makna  yang mendalam, filosofi yang tak terhingga, dan semangat yang menggema di  langit Kuantan Singingi. Tradisi ini menjadi cermin dari kehidupan  masyarakatnya—tentang kebersamaan, kerja keras, dan kebanggaan akan tanah  kelahiran. Lebih dari sekadar perlombaan di atas air, Pacu Jalur telah menjadi  simbol nyata dari semboyan yang sejak lama menjadi cita-cita bersama: “Basatu,  Nagori Maju.”



Posting Komentar

0 Komentar