Perahu jalur dibuat dari kayu Bonio, pohon tua yang dapat menjulang hingga 25–30meter dengan batang besar dan kokoh. Penebangannya tidak dilakukan sembarangan; masyarakat harus melaksanakan ritual adat dan doa keselamatan sebagai bentuk penghormatan kepada alam yang memberi kehidupan. Setiap pahatan di tubuh jalur bukan sekadar hiasan, melainkan lambang doa, kebanggaan, dan hubungan sakral antara manusia, alam, dan tradisi.
Seiring waktu, tradisi pacu jalur terus berkembang. Pada awal tahun 1900- an, setiap kampung di sepanjang Sungai Kuantan mulai mengadakan perlombaan jalur untuk memperingati hari-hari besar Islam. Pada masa penjajahan Belanda, lomba ini digelar untuk merayakan ulang tahun Ratu Wilhelmina. Setelah Indonesia merdeka, tradisi tersebut berlanjut sebagai peringatan Hari Kemerdekaan RI dan kini menjadi pesta rakyat yang meriah sekaligus daya tarik pariwisata budaya di Riau.
Di balik gemuruh sorak dan riuh tepuk tangan penonton, pacu jalur memancarkan nilai luhur kebersamaan dan gotong royong. Setiap perahu jalur diisi oleh 40 hingga 60 orang, dengan peran dan tanggung jawab yang berbeda namun berpadu dalam satu irama. Ada tukang tari, seorang anak yang menari lincah di ujung perahu dengan gerakan penuh semangat; tukang timba yang bertugas membuang air dari dalam perahu; tukang congcang yang menjadi komandan dan pemberi aba-aba; tukang pinggang yang mengatur arah laju; serta tukang onjai di bagian belakang yang menjaga keseimbangan perahu agar tetap melaju stabil di permukaan air.
Saat dentuman meriam terdengar, tanda perlombaan dimulai, Sungai Kuantan pun bergetar oleh semangat para pendayung. Tubuh-tubuh tegap bergerak serempak, mendayung dengan tenaga dan irama yang selaras. Tukang tari di ujung perahu menari dengan pakaian adat Melayu Teluk Belanga, tubuhnya meliuk mengikuti irama gendang dan sorak penonton. Pemandangan itu menggetarkan hati siapa pun yang menyaksikannya simbol keberanian, kebanggaan, dan semangat juang yang telah mendarah daging dalam diri masyarakat Kuantan sejak kecil.
Kini, Pacu Jalur menjadi identitas budaya masyarakat Kuantan Singingi yang mengangkat nama Riau ke pentas dunia. Tradisi ini bahkan telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia oleh UNESCO pada tahun 2014. Pada bulan Agustus 2025, ajang pacu jalur kembali digelar dengan meriah, dihadiri oleh Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka bersama ribuan penonton dari dalam dan luar negeri. Salah satu momen paling berkesan adalah ketika seorang anak bernama Dika, sang togak luan atau tukang tari, menampilkan gerakan yang begitu memukau hingga viral di berbagai media. Ia berhasil membawa kemenangan bagi kelompoknya dan membuat dunia kembali menoleh pada warisan agung masyarakat Sungai Kuantan, yang terus hidup dan mendunia melalui air, irama, dan semangat persaudaraan.
.png)
0 Komentar