Pacu Jalur, Riak yang Mendunia - Maria Joyceline Wisnu Putri


Pacu Jalur, Riak yang Mendunia
Karya: Maria Joyceline Wisnu Putri

        Pacu Jalur merupakan warisan budaya yang tumbuh dari denyut kehidupan  masyarakat di tepian Sungai Kuantan, Riau. Dalam bahasa setempat, pacu berarti  berlomba, sedangkan jalur adalah perahu panjang yang menjadi kebanggaan dalam  setiap perlombaan. Tradisi ini berakar sejak abad ke-17, ketika jalur tidak hanya menjadi alat perlombaan, tetapi juga sarana transportasi utama bagi masyarakat  sungai untuk mengangkut hasil bumi. Bagi para bangsawan, jalur adalah simbol  kehormatan dan kebesaran, dihiasi dengan ukiran-ukiran indah yang penuh makna. 

Perahu jalur dibuat dari kayu Bonio, pohon tua yang dapat menjulang  hingga 25–30meter dengan batang besar dan kokoh. Penebangannya tidak  dilakukan sembarangan; masyarakat harus melaksanakan ritual adat dan doa  keselamatan sebagai bentuk penghormatan kepada alam yang memberi kehidupan.  Setiap pahatan di tubuh jalur bukan sekadar hiasan, melainkan lambang doa,  kebanggaan, dan hubungan sakral antara manusia, alam, dan tradisi. 

Seiring waktu, tradisi pacu jalur terus berkembang. Pada awal tahun 1900- an, setiap kampung di sepanjang Sungai Kuantan mulai mengadakan perlombaan  jalur untuk memperingati hari-hari besar Islam. Pada masa penjajahan Belanda,  lomba ini digelar untuk merayakan ulang tahun Ratu Wilhelmina. Setelah Indonesia  merdeka, tradisi tersebut berlanjut sebagai peringatan Hari Kemerdekaan RI dan  kini menjadi pesta rakyat yang meriah sekaligus daya tarik pariwisata budaya di  Riau.

Di balik gemuruh sorak dan riuh tepuk tangan penonton, pacu jalur  memancarkan nilai luhur kebersamaan dan gotong royong. Setiap perahu jalur diisi  oleh 40 hingga 60 orang, dengan peran dan tanggung jawab yang berbeda namun  berpadu dalam satu irama. Ada tukang tari, seorang anak yang menari lincah di  ujung perahu dengan gerakan penuh semangat; tukang timba yang bertugas  membuang air dari dalam perahu; tukang congcang yang menjadi komandan dan  pemberi aba-aba; tukang pinggang yang mengatur arah laju; serta tukang onjai di  bagian belakang yang menjaga keseimbangan perahu agar tetap melaju stabil di  permukaan air. 

Saat dentuman meriam terdengar, tanda perlombaan dimulai, Sungai  Kuantan pun bergetar oleh semangat para pendayung. Tubuh-tubuh tegap bergerak  serempak, mendayung dengan tenaga dan irama yang selaras. Tukang tari di ujung  perahu menari dengan pakaian adat Melayu Teluk Belanga, tubuhnya meliuk  mengikuti irama gendang dan sorak penonton. Pemandangan itu menggetarkan hati  siapa pun yang menyaksikannya simbol keberanian, kebanggaan, dan semangat  juang yang telah mendarah daging dalam diri masyarakat Kuantan sejak kecil. 

Kini, Pacu Jalur menjadi identitas budaya masyarakat Kuantan Singingi  yang mengangkat nama Riau ke pentas dunia. Tradisi ini bahkan telah ditetapkan  sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia oleh UNESCO pada tahun 2014. Pada  bulan Agustus 2025, ajang pacu jalur kembali digelar dengan meriah, dihadiri oleh  Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka bersama ribuan penonton dari dalam dan  luar negeri. Salah satu momen paling berkesan adalah ketika seorang anak bernama  Dika, sang togak luan atau tukang tari, menampilkan gerakan yang begitu memukau  hingga viral di berbagai media. Ia berhasil membawa kemenangan bagi  kelompoknya dan membuat dunia kembali menoleh pada warisan agung  masyarakat Sungai Kuantan, yang terus hidup dan mendunia melalui air, irama, dan  semangat persaudaraan.


Posting Komentar

0 Komentar