Pagelaran Wayang Kulit dalam Acara Pentas Seni - Syahreva Ashaqi


Pagelaran Wayang Kulit dalam Acara Pentas Seni
Karya: Syahreva Ashaqi 


 Wayang kulit, seni pertunjukan bayangan yang lahir dari pesantren-pesantrenJawa abad ke-10, ternyata telah menapaki perjalanan panjang sebelummenghiasi pentas-pentas modern. Awalnya ia berfungsi sebagai media dakwah Wali Songoyang memadukan nilai-nilai Islam dengan cerita-cerita wayang berlatar epik India. Lambat laun, keraton-keraton Jawa menyerapnya menjadi bagian dari upacara adat; Sunan Pakubuwono II bahkan menata pakem gamelan khas Surakarta agar iringannya pas dengan ritme gerak wayang. Dari istana, wayang merambah desa- desa lewat dalang keliling yang membawa lakon ke pasar malamhingga pelataranrumah warga. Teknik pembuatannya pun berkembang: daun lontar diganti kulit kerbau yang lebih lentur, lampu teplok digantikan blencong minyak tanah, danlayar putih sederhana kini dihias renda motif batik. Boleh dibilang, setiap tahapsejarah wayang adalah rekaman adaptasi manusia Jawa terhadap perubahan zamantanpa melepas jati diri. 

Perkembangan wayang kulit tak lepas dari dinamika politik dan teknologi. Pada masa kolonial, pemerintah Hindia Belanda mencatat pertunjukan wayangsebagai “inlandse tooneel” dan memajakinya, namun justru membuat dalang semakin kreatif menyelipkan kritik sosial dalam goro-goro. Setelah kemerdekaan, wayang menjadi simbol persatuan: jargon “bhinneka tunggal ika” diilhami olehpepatah kuno “kono kono wayang, siji ing dalang” yang menegaskan beragamtokoh dalam satu kendali dalang. Di era Orde Baru, wayang dimanfaatkan untukkampanye pembangunan, lalu memasuki televisi nasional pada 1980-an sehinggajangkauannya meluas hingga pelosok. Dewasa ini, digitalisasi memungkinkanwayang kulit diproyeksikan secara virtual, tetapi nafasnya tetap hidup karena komunitas seniman tetap memelihara pakem asli. Dari candi Prambanan hingga

gedung kebudayaan di kota-kota besar, wayang terus berkibar sebagai bukti bahwa tradisi mampu berdialog dengan modernitas tanpa kehilangan esensi. 

Makna wayang kulit bagi bangsa Indonesia melampaui ranah hiburan; ia adalah katalog moral, kosmologi, dan estetika yang tersusun rapi dalamsatu pakeliran. Setiap tokoh menggambarkan sisi kepribadian manusia—Arjuna sebagai cipta, Bima sebagai karsa, Nakula sebagai rasa, Sadewa sebagai karya—sehingga penonton diajak menelisik diri sendiri lewat bayangan kulit. Struktur pewayangan yang berpusat pada pertarungan dharma melawan adharma menanamkan nilai keadilan kolektif, sementara adegan gebyar gunungan saat pertunjukan usai mengingatkan bahwa semua konflik akan kembali ke titik nol, di mana kesadaran universal menguasai diri. Di samping itu, wayang menjadi penanda lokalitas; dialek Surakarta yang lembut berbeda dengan logat Cirebonyang renyah, menegaskan kekayaan bahasa Nusantara. Karena itu, ketika seoranganak menonton wayang, ia tak sekali melihat cerita, melainkan menyerap ruh“gotong royong budaya” yang menjadikan Indonesia meskipun berpulau-pulautetap satu dalam keberagaman. 

Ilmu yang diserap dari pementasan wayang kulit bersifat interdisipliner danmenyentuh berbagai lapisan kehidupan. Di bidang seni, penonton belajar komposisi visual kontras antara sila wayang yang kaku dan gerak tangan dalangyang lembut mengejawantahkan harmoni lawan bentuk. Di ranah literasi, lakon lakon epik seperti Parwa dan Ramayana menjadi perpustakaan bergerak yangmengajarkan retorika, struktur narasi, dan kiasan Jawa yang penuh sindirian halus. Dalam dimensi etika, adegan Bima mencari “tirta pawitra” di hutan Tilamaya menanamkan pentingnya pengorbanan dan keteladanan; penonton diajak memahami bahwa kebenaran sering kali harus diraih melalui proses, bukan warisan. Bahkan aspek manajemen pun tersirat: sang dalang harus mengoordinasi pengrawit, sinden, dan panitia panggung, sehingga secara tidak langsung ia menjadi studi kasus kepemimpinan tim yang efektif. Tak heran jika banyak tokohlintas disiplin dari pengacara hingga insinyur—mengaku menemukan inspirasi

pertama mereka saat duduk bersila di bawah terpal, menatap layar putih yangbercahaya temaram. 

Harapan kolektif terhadap wayang kulit di masa depan sederhana namunmenantang: agar ia bukan hanya tersimpan dalam museum digital atau diburukolektor, melainkan terus hidup di tengah masyarakat sebagai seni yang merakyat. 

Pemerintah daerah dapat menjadikannya kurikulum wajib di sekolah dasar, bukanhanya sebagai ekstrakurikuler, melainkan mata pelajaran yang diujikan secara praktik—sehingga anak-anak mengetahui perbedaan irama ketawang dan lancaransebelum mereka menguasai aplikasi musik. Komunitas seniman perlu membukaruang kolaborasi dengan kreator kontemporer: wayang kulit bertemu EDM, lakonwayang diadaptasi menjadi serial podcast, atau kulit wayang yang diukir menjadi motif jaket streetwear. Ujungnya, ketika generasi alfa menonton wayang, merekatak melihatnya sebagai warisan kuno melainkan “budaya keren” yang bisa diunggah ke media sosial. Jika langkah-langkah ini terus dijalankan, bukan mustahil suatu hari nanti dalang muda akan naik panggung bukan karena paksaanpelestarian, melainkan panggilan hati yang berbisik: “Aku harus bercerita, karenacerita inilah yang menjaga jati diri bangsaku.”


Posting Komentar

0 Komentar