Pembelaan - Anggi Saputra

 


PEMBELAAN 

Anggi Saputra 


Langit malam itu berwarna merah. Bukan oleh senja, tetapi dari nyala bara  yang melahap rumah-rumah, seolah kota itu sedang menggelegak di tengah  malam buta. Api-api kecil berkumpul, merangkak menjadi kobaran, membakar  semua yang berani bertahan. Di tengah kepulan asap yang menyesakkan, suara  Arya terdengar, lirih namun keras, menggema di lorong-lorong kumuh, tempat  para buruh dan pedagang kecil berkumpul untuk berjuang, bertahan hidup. 

"Jika mereka bisa membakar rumah kita, mereka tak bisa membakar suara  kita," katanya, pada malam yang menyimpan ribuan bisik ketakutan. 

Arya berdiri di ujung jalan, memandangi kobaran api yang tak kunjung  padam. Di balik asap itu, kota yang ia cintai merintih. Ia bisa mendengar ratapan  mereka yang hidupnya bergantung pada kerasnya tanah dan peluh yang diperas di  pabrik-pabrik. Ia tahu, malam itu, dalam setiap puisi yang ia lantunkan, ada  sebongkah nyawa yang menjerit meminta pembebasan. 

Di sisinya, Santi, seorang perempuan dengan mata tajam seperti bara,  menggenggam tangannya. “Arya, jika suara itu memanggilmu, jangan berpaling.  Tapi ketahuilah, aku ada di sini. Aku adalah tanah tempatmu pulang.” 

Santi. Nama yang ia ucapkan setiap kali ketakutan menghampiri.  Perempuan dengan darah yang sama liarnya, mata yang selalu menyala oleh  kemarahan dan keteguhan yang tak pernah lekang. Di pelukan Santi, Arya menemukan damai. Namun malam itu, damai adalah sebuah ilusi yang tak  mungkin digapai. Mereka berdiri berdua, menyaksikan kota yang berkobar, suara suara yang membelah malam dengan teriakan tak berdaya.

“Suara mereka, Ya... Mereka butuh kau,” kata Santi dengan lirih. 

Itulah yang mengantar Arya pada jalan dari banyak suara-suara yang  terpenjara, lidah bagi mereka yang disumpal. 

*** 

Kehidupan Arya tidak selalu gelap. Ia pernah menjadi anak muda penuh  harap, berjalan dengan langkah ringan, tertawa di jalanan bersama teman temannya. Tapi kota yang ia kenal telah berubah menjadi tempat yang  mengekang, di mana suara-suara dibungkam dengan tamparan dan ancaman, dan  perlawanan dibalas dengan penindasan. Hari-harinya bukan lagi tentang cita-cita  atau angan-angan. Semua berubah menjadi perjuangan, sebuah perjalanan tanpa  kepastian, namun dengan satu tujuan: kebebasan. 

Arya bukanlah anak orang kaya, bukan pula pemilik kekuasaan. Ia  hanyalah seorang buruh yang tahu rasanya diinjak, direndahkan. Ia lahir di tengah  hiruk-pikuk pasar, di antara suara pedagang dan derit becak, tumbuh bersama  debu-debu yang beterbangan di jalanan kota. Hidupnya adalah rentetan  kesederhanaan, namun di dalam dadanya, ada bara yang tak pernah padam. Bara  yang kian menyala setiap kali ia melihat ketidakadilan. 

“Arya, kapan kau akan berhenti?” tanya Santi suatu malam, ketika mereka  sedang duduk di tepi rel kereta, tempat mereka biasa menghabiskan senja yang  menyusut, memandangi matahari tenggelam di balik gedung-gedung pabrik. 

Arya hanya tersenyum. “Aku berhenti saat suara-suara mereka berhenti  memanggil. Saat kota ini tak lagi punya yang harus diperjuangkan.” 

“Dan kapan itu akan terjadi?” desak Santi, suaranya parau, antara harapan  dan ketakutan yang tak pernah ia ucapkan dengan jelas. 

Arya menatapnya, tersenyum getir. “Entahlah, Santi. Mungkin aku tak  akan pernah berhenti.”

Santi tahu bahwa hidup mereka tidak akan pernah sama lagi. Arya telah  memilih jalan yang tak bisa lagi ia tinggalkan. Sebagai istri, Santi bisa saja  merengkuhnya, memohon padanya untuk berhenti. Namun sebagai perempuan  yang mengerti kerasnya hidup, ia tahu bahwa permintaannya hanya akan sia-sia.  Arya bukan sekadar suami baginya; ia adalah bara dalam api perjuangan yang tak  mungkin padam. 

*** 

Pada malam-malam yang penuh ketegangan, ketika teriakan dan ancaman  menjadi hal biasa, Arya terus menulis. Kata-katanya menjadi lebih tajam, penuh  amarah dan hasrat untuk bebas. Ia menulis tentang jalanan yang dipenuhi oleh  langkah-langkah berat para buruh, tentang kota yang semakin sesak oleh  kekuasaan yang membungkam, tentang para petani yang bertaruh nyawa demi  sesuap nasi. Bagi Arya, puisi bukan sekadar kata-kata. Ia adalah jeritan, suara  yang tak akan pernah bisa dibungkam. 

Suatu hari, ketika ia sedang tenggelam dalam sajak-sajaknya, seorang  teman mendekatinya, tersenyum mengejek. “Kau pikir puisi bisa mengubah apa,  Ya? Kata-kata hanya akan hilang, larut bersama angin.” 

Arya menatapnya dengan tatapan penuh keyakinan. “Kata-kata adalah api,  kawan. Mereka tidak akan pernah padam, bahkan setelah kita semua pergi.” 

Temannya terdiam. Dalam diam itu, Arya tahu bahwa kata-katanya telah  menyusup ke dalam hati kawannya, menanamkan benih-benih keyakinan yang  mungkin suatu hari akan tumbuh menjadi kekuatan. Sebab Arya percaya,  perubahan tidak datang dalam sekejap. Ia adalah proses, sebuah perjalanan yang  membutuhkan keberanian untuk melangkah tanpa mengetahui akhir. 

*** 

Pada suatu malam, di tengah rembulan yang terbit malu-malu, Arya dan  Santi duduk berdua di pinggir kota. Mereka menatap jauh ke dalam malam, 

berbincang tentang harapan dan ketakutan yang semakin hari semakin tumbuh di  antara mereka. 

“Suara-suara itu memanggilku, Santi,” ucap Arya, suaranya bergetar  antara keyakinan dan keraguan yang jarang ia tunjukkan. 

Santi menghela napas panjang. “Aku tahu. Tapi aku ingin kau tahu satu  hal: jika suatu hari kau tak kembali, aku akan tetap di sini. Aku akan menjaga  suara-suara itu, menyimpan kata-katamu dalam hatiku.” 

Arya menggenggam tangan Santi, merasakan kehangatan yang hanya ia  temukan dalam pelukan perempuan itu. “Kau adalah rumahku, Santi. Meski nanti  aku harus pergi, aku akan selalu pulang padamu, pada cinta yang kau simpan  untukku.” 

Malam itu, mereka berdua duduk dalam diam, membiarkan angin  membawa doa-doa mereka ke langit. Di balik kebisuan itu, Santi menyimpan  harapan yang samar, bahwa mungkin suatu hari, Arya akan berhenti. Namun di  lubuk hatinya, ia tahu, harapan itu hanyalah ilusi. Arya adalah puisi yang hidup,  sebuah suara yang tak mungkin dibungkam. 

*** 

Hari demi hari berlalu, dan ketegangan semakin memuncak. Arya bersama  rekan- rekannya terus menyuarakan perlawanan. Mereka turun ke jalan,  meneriakkan kata-kata yang tak lagi bisa dibendung. Arya berada di barisan  depan, suaranya menggelegar di tengah kerumunan yang penuh amarah. 

Namun, setiap perlawanan selalu diiringi dengan ancaman. Pada suatu  malam, aparat mulai memburu mereka yang dianggap sebagai pengganggu  ketenangan. Arya tahu bahwa waktunya semakin sedikit, namun ia tak berhenti.  Bersama Santi, mereka berpindah-pindah, bersembunyi dari satu tempat ke tempat  lain, menghindari mata-mata yang mengintai.

Di sebuah rumah tua di pinggiran kota, mereka menemukan perlindungan  sementara. Malam itu, Arya menulis surat untuk Santi. Sebuah surat yang ia tulis  dengan tangan gemetar, seolah-olah ia tahu bahwa ini mungkin adalah kata-kata  terakhir yang bisa ia titipkan pada perempuan yang ia cintai. 

“Santi, jika suatu hari aku tak kembali, jangan pernah berhenti percaya  bahwa kata- kataku akan tetap hidup. Mereka adalah nyala api yang akan terus  berkobar di hati-hati mereka yang mencari kebebasan. Aku hanyalah tubuh, Santi.  Namun kata-kataku adalah roh yang tak akan pernah mati.” 

Namun, surat itu tak pernah sampai ke tangan Santi. Pada suatu malam  yang dingin, Arya menghilang tanpa jejak. Ia lenyap bersama sajak-sajaknya,  menjadi bayang-bayang yang tak pernah pulang. Santi menunggu, dengan hati  yang penuh luka. 

Sampai hari ini, Santi tetap ada di sana, di tempat mereka pernah berjanji  untuk selalu pulang. Ia menatap langit, mengenang wajah Arya, dan dalam  diamnya, ia tahu bahwa suara suaminya masih hidup. Suara yang tak pernah  pudar, menjadi barisan sajak yang terus bergaung dalam hati-hati mereka yang  berani melawan. 

~~~


Posting Komentar

0 Komentar