Pesona Tari Inai: Jejak Sakral Pengantin Melayu Riau
Karya: Wildan Khazi Khadavi
Di bawah cahaya redup pelita minyak, aroma bunga rampai mengambang
lembut di udara. Di tengah ruang yang diselimuti kain kuning keemasan, denting
lembut gambus dan pukulan rebana mulai terdengar pelan, berirama seperti napas
malam yang teratur. Dari sisi ruangan, tampak seorang perempuan berbalut kain
songket indah berjalan perlahan. Gerak tubuhnya lembut, matanya menunduk,
jemarinya lentik menari di atas nyala lilin. Itulah Tari Inai, tarian sakral
masyarakat Melayu Riau yang kini menjadi salah satu warisan budaya tak benda
yang paling memikat sekaligus nyaris punah.
Tari Inai berasal dari masyarakat Melayu Riau, terutama di wilayah pesisir
seperti Rokan Hilir, Siak, dan Bengkalis. Kata inai sendiri merujuk pada pewarna
alami yang digunakan untuk menghias kuku tangan dan kaki, biasanya berwarna
jingga kemerahan. Dalam tradisi Melayu, inai melambangkan kesucian,
keindahan, dan kesiapan seorang perempuan untuk memasuki kehidupan baru
sebagai istri. Maka tak heran jika Tari Inai selalu hadir dalam upacara berinai,
yaitu malam sebelum akad nikah, saat pengantin perempuan dihias dan didoakan
oleh keluarga serta para tetua adat.
Namun, Tari Inai tidak sekadar hiburan menjelang pernikahan. Ia adalah
simbol peralihan hidup. Setiap gerakan tangan, setiap langkah kaki, setiap denting
alat musik mengandung doa dan makna. Dalam kepercayaan lama, gerakan yang
melingkar di sekitar nyala lilin dimaksudkan untuk mengusir roh jahat, agar
pengantin selamat dalam menempuh bahtera rumah tangga. Lilin-lilin yang
menyala menjadi lambang penerang jalan hidup, sementara bunga-bunga yang
ditebarkan di sekitarnya melambangkan harapan, kesuburan, dan cinta yang mekar
sepanjang masa.
Tari Inai biasanya dilaksanakan di rumah pengantin perempuan pada
malam berinai besar (malam puncak sebelum pesta pernikahan). Tempat
pelaksanaan dihias dengan dominasi warna kuning keemasan, warna kebesaran
dalam adat Melayu yang melambangkan kemuliaan dan kehormatan. Di tengah
ruangan, diletakkan pelaminan berhias sulaman dan kain songket, serta beberapa
lilin yang menyala di atas wadah logam. Di sekelilingnya, duduk para penari
perempuan berpakaian adat lengkap. Mereka biasanya berjumlah genap, empat
hingga delapan orang, tergantung adat daerahnya. Musik pengiring dimainkan
oleh kelompok kecil pemusik, menggunakan alat-alat tradisional seperti gambus,
rebana, biola Melayu, dan kadang ditambah gendang panjang. Irama yang
dimainkan tidak menghentak, tetapi lembut, mengalun seperti zikir menciptakan
suasana yang khidmat dan penuh rasa hormat. Tarian dimulai ketika pemuka adat
atau mak andam menyalakan lilin dan memberi isyarat pada penari untuk
memulai.
Gerak dalam Tari Inai tidak sembarangan. Setiap jentikan jari dan langkah
kaki merupakan simbol. Tarian ini dikenal dengan gerak yang halus dan tertib,
sesuai dengan karakter masyarakat Melayu yang menjunjung tinggi sopan santun.
Penari bergerak berputar di sekitar lilin, dengan posisi tangan setinggi dada atau
kepala, mengikuti ritme lembut irama musik. Terdapat beberapa gerakan khas
dalam Tari Inai yang sarat makna. Mulai dari gerak menyulam inai, gerak
menyebar bunga rampai, gerak merenung cahaya, gerak menyentuh bumi, dan
gerak menyapa langit. Setiap gerakan dilakukan perlahan, teratur, dan disertai
pandangan mata yang halus. Tidak ada hentakan keras, tidak ada lompatan tinggi.
Semua mengalun lembut, seolah tubuh penari melayang di antara asap dupa dan
cahaya lilin. Penari Tari Inai mengenakan busana adat Melayu berwarna cerah
biasanya merah, kuning, atau hijau muda. Warna kuning menjadi yang paling
sering digunakan karena dianggap sebagai warna raja-raja Melayu, lambang
kemuliaan dan kebahagiaan. Bahan kain yang digunakan adalah songket tenun
dengan motif khas Melayu, dihiasi benang emas yang berkilau di bawah cahaya
lilin. Kepala penari ditutup dengan sanggul berhias bunga tanjung, melati, atau
bunga cempaka. Di dada terpasang pending atau bros emas, sementara di tangan
mereka memakai gelang dan cincin yang disesuaikan dengan tata busana adat.
Rias wajahnya lembut, menonjolkan keanggunan alis dan senyum halus, tidak
berlebihan. Semua unsur riasan bertujuan memperlihatkan keindahan alami
perempuan Melayu yang lemah lembut, sopan, dan penuh pesona.
Tari Inai bukan sekadar seni pertunjukan. Ia adalah cerminan pandangan
hidup masyarakat Melayu Riau yang menjunjung tinggi kesopanan, kesucian, dan
kehormatan. Melalui Tari Inai, nilai-nilai seperti bakti kepada orang tua, kesiapan
mental menuju kehidupan rumah tangga, serta penghormatan terhadap adat dan
agama diajarkan kepada generasi muda. Di masa lalu, Tari Inai juga menjadi
media sosial yang mempererat hubungan antarwarga. Ketika ada pesta
pernikahan, masyarakat sekitar berkumpul, saling membantu menyiapkan tempat,
musik, dan perlengkapan. Saat tarian dipentaskan, semua duduk bersama,
menyatu dalam suasana kebersamaan dan kebahagiaan. Bagi perempuan Melayu,
belajar Tari Inai bukan hanya belajar menari, tetapi juga belajar bersikap. Gerak
yang halus melatih kesabaran, cara berjalan mengajarkan keanggunan, dan makna
doa di dalamnya menumbuhkan keimanan. Maka, Tari Inai dianggap sebagai
bentuk pendidikan moral dan spiritual yang terselubung dalam keindahan gerak.
Seiring waktu, arus modernisasi mulai menggerus nilai-nilai lama. Banyak
masyarakat Melayu kini lebih memilih hiburan modern dalam pesta pernikahan.
Tarian Inai yang dulu wajib dipentaskan menjelang akad nikah kini hanya tampil
di beberapa daerah, seperti di Kecamatan Rimba Melintang, Rokan Hilir, atau di
beberapa sanggar budaya di Siak dan Pekanbaru.. Beberapa generasi muda tidak
lagi mengenal makna tarian ini. Mereka melihatnya hanya sebagai “tarian
tradisional”, tanpa mengetahui bahwa di balik setiap gerak terkandung doa dan
filosofi yang dalam. Penari-penari tua yang dahulu menjadi pewaris pengetahuan
kini banyak yang telah wafat, sementara regenerasi berjalan lambat. Tak jarang,
Tari Inai hanya tampil dalam festival budaya, bukan lagi dalam upacara adat yang
sebenarnya.
Keindahan Tari Inai tidak terletak pada kemegahan panggung atau
kerumitan gerak, melainkan pada rasa yang ditimbulkannya. Ia mengalun lembut
seperti doa, menyentuh ruang batin siapa pun yang menyaksikan. Saat penari
berputar mengelilingi lilin, sinar nyala api menari di wajah mereka, menciptakan
bayangan yang indah dan magis. Penonton seolah dibawa masuk ke dunia di mana
waktu berjalan lambat, di mana setiap detik adalah keheningan yang penuh
makna. Ada sesuatu yang mistis namun menenangkan dalam tarian ini. Ketika
tangan penari menunduk dan perlahan mengusap udara, seakan ada pesan lembut
yang disampaikan: bahwa hidup harus dijalani dengan hati-hati, penuh doa, dan
rasa syukur. Dalam setiap gerakan, terasa perpaduan antara estetika tubuh dan
spiritualitas jiwa.
Tari Inai adalah gambaran paling jernih tentang jiwa masyarakat Melayu
Riau: lembut, beradat, dan religius. Ia bukan sekadar gerak tubuh, melainkan
bahasa batin yang menyampaikan nilai-nilai kehidupan. Dalam tarian itu,
terkandung kisah cinta, doa, dan penghormatan kepada Tuhan serta leluhur. Ia
lahir dari rahim adat yang tua, tumbuh dalam napas spiritual, dan kini berjuang
bertahan di tengah derasnya arus globalisasi. Menyaksikan Tari Inai sama halnya
dengan menyaksikan sejarah yang hidup tentang perempuan Melayu yang anggun,
masyarakat yang beradat, dan budaya yang mengajarkan makna kesucian hidup.
Jika lilin-lilin di sekeliling penari itu padam, mungkin begitu pula cahaya yang
menerangi jati diri budaya Riau. Maka, menjaga Tari Inai berarti menjaga cahaya
itu tetap menyala. Bukan hanya untuk dikenang, tetapi untuk terus ditarikan,
didendangkan, dan diwariskan kepada generasi berikutnya. Sebab dalam setiap
jentikan jari penari, dalam setiap kilau cahaya lilin, tersimpan doa panjang agar
budaya Melayu Riau tak pernah hilang dari pelukan zaman.
.png)
0 Komentar