Puisi dari Teman Tuli - Novia Fahronnisya

 


Puisi dari Teman Tuli 

Novia Fahronnisya

Memasuki bulan September, hujan jadi lebih sering turun dari biasanya. Tak  jarang suara bulir demi bulirnya terhempas di atas genteng mengusik hening malam  setiap orang, tapi tidak dengan Ghania. Bila hujan turun, Ghania hanya bisa tahu  jika melihatnya secara langsung, entah ketika hujan itu sedang menyentuh tanah  atau saat sudah membentuk genangan di depan rumah. 

Sejak usia 6 tahun, Ghania divonis bisu dan tuli oleh dokter. Bukan hanya  suara hujan, tapi juga suara lembut Bunda dan suara tegas Ayah tak lagi mengalun  di telinganya. Jika bagi semua orang tangan adalah indra peraba maka bagi Ghania  tangan adalah suara. Dengan tangan, Ghania mengerti maksud lawan bicaranya.  Dan sebaliknya, dengan tangan pula, lawan bicara Ghania dapat memahami Ghania. 

Anehnya sejak dinyatakan bisu dan tuli, Ghania kecil justru tampak lebih  tenang menerima takdir menyedihkan yang menimpanya. Dia tetap menjalani hari hari seperti biasa, yang berbeda hanyalah mulutnya tak lagi berucap dan telinganya  tak bisa menyambut suara. Berbeda dengan kedua orang tuanya yang terus  menyalahkan diri mereka atas musibah yang menimpa si sulung. Butuh waktu enam  bulan bagi Ghania untuk mempelajari bahasa isyarat di tempat kursus yang dipilih  sang Ayah. Tak hanya Ghania, kedua orang tuanya turut mempelajari cara  berkomunikasi khas Teman Tuli tersebut agar tetap bisa saling memahami. 

Kini Ghania berstatus sebagai mahasiswa di Program Studi (Prodi)  Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Pendidikan Indonesia. Prodi  ini dipilih karena memang sastra telah menjadi bagian yang melekat di dalam  dirinya. Ghania setidaknya memiliki satu hobi yang masih bisa ia tekuni di tengah  keterbatasannya, yakni menulis puisi. Di dalam keheningan dunianya, dia masih  bisa menyaksikan, melalui, dan mengabadikan banyak peristiwa melalui beberapa  bait indah. Keseriusan Ghania dalam menyelami dunia puisi dapat dibuktikan  dengan banyaknya penghargaan yang dia peroleh sejak SD. Tahun lalu Ghania juga  sempat menduduki peringkat 1 dalam lomba puisi yang diadakan oleh kampusnya.  Tahun ini Ghania menjadi panitia dalam agenda Bulan Bahasa di Prodinya.

Untuk pertama kali Ghania menjadi penanggung jawab lomba menulis puisi,  artinya Ghania tak dapat berpartisipasi sebagai peserta pada lomba tersebut. Ia kecewa karena melewatkan kesempatan menjadi pemenang, tapi di sisi lain dia juga  senang karena diberi kepercayaan untuk merancang lomba tersebut. Mengingat keinginannya untuk tetap bisa berkompetisi masih besar, ia pun mencari cara agar  

bisa menciptakan gagasan yang belum pernah terpikirkan oleh semua orang. Kebetulan di ruang rapat tersebut ada teman dekat Ghania yang juga  memahami bahasa isyarat, Ganesha namanya. Pada kesempatan tersebut Ganesha  membantu Ghania untuk menyampaikan pendapatnya di depan banyak orang. “Terima kasih sudah memberikan saya kesempatan untuk berbicara.  Mungkin ini akan membutuhkan waktu yang lama karena keterbatasan saya dalam  menyampaikannya. Begini, saya dan teman-teman semasa di SLB ingin sekali  menikmati puisi dengan cara mendengarkan, tapi Tuhan menarik kemampuan  mendengar kami. Karenanya, kali ini tolong kabulkan harapan kami, harapan yang  mungkin nyaris mustahil untuk diwujudkan; yaitu adakan lomba Puisi Isyarat yang  diperuntukkan bagi Teman Tuli. Saya yakin ini bukan hanya mengobati keinginan  Teman Tuli dalam mengungkapkan isi hati dengan cara di luar kebiasaan, tetapi  akan menyadarkan Indonesia bahwa meski kami terbatas, kami juga berhak  mendapatkan kesempatan yang sama dalam berkarya.” Usai berbicara panjang  lmenyampaikan maksud dari Ghania, Ganesha tak dapat membendung air matanya.  “Sudah belasan tahun agenda ini diadakan, belum pernah ada yang berani  mengeluarkan gagasan hebat semacam itu. Saya selaku Ketua Pelaksana setuju  dengan ekspansi ini. Saya rasa teman-teman panitia lain juga demikian. Terima  kasih, Ghania dan Ganehsa“ Akhtar menyambut baik gagasan Ghania. Terlihat  senyum merekah dari wajahnya yang tegas dan bekharisma. 

Panitia saling memandangi satu sama lain dengan mata yang memancarkan  semangat. Seolah-olah mereka punya keyakinan yang sama bahwa ide ini akan  menjadi gebrakan yang mengejutkan jagad puisi. Tanpa berlama-lama, gagasan  cemerlang Ghania disepakati oleh seluruh panitia.

“Kalau begitu, kami meminta kesediaan Ganesha untuk menjadi  penanggung jawab lomba ini.” Ucap Akhtar sembari menutup rapat hari itu. Meski menjadi yang pertama, Ganesha berusaha menerima permintaan  tersebut dengan rasa percaya diri karena di sampingnya ada Ghania yang ia yakini  akan membersamainya dalam menjalankan Amanah besar itu. 

Beberapa menit kemudian rapat ditutup. Matahari yang sebentar lagi akan  menepi dari singgasananya mengisyaratkan panitia agar segera pulang. Satu persatu  berhamburan keluar sambil menenteng bekas kemasan makanan. Tak ketinggalan  Ghania yang kegirangan atas hasil rapat tadi juga bertolak ke rumahnya. 

Dua pekan pendaftaran dibuka, alhamdulillah sebanyak 27 peserta  mendaftar. Beberapa peserta merupakan siswa SLB, ada pula yang berasal dari  komunitas Teman Tuli Bandung. Namun, ada satu nama yang tidak asing bagi  Ganesha dalam daftar nama peserta tersebut, yaitu Ghania. 

Saat hari yang dinantikan tiba, panitia menjadi semakin sibuk. Seluruh  mahasiswa kompak mengenakan kostum tahunan mereka.. Tak ketinggalan Ibu  Bapak Dosen serasi mengenakan baju batik berwarna tosca yang turut meramaikan  sekaligus menjadi juri di berbagai lomba. Di berbagai sudut ruangan, para peserta  dan guru pembimbing beramai-ramai datang dan siap menjemput kemenangan.  

Puisi Isyarat menjadi lomba yang diadakan pada hari pertama. Tentu saja hal ini membuat Ganesha menjadi sibuk memimpin anggotanya. Panggung sudah  tertata rapi, kudapan di meja juri telah terhidang, dan eserta telah diberi nomor penanda urutan tampil mereka. Lomba baca puisi kali ini sedikit berbeda  dibandingkan lomba baca puisi pada umumnya. Tidak terdapat pengeras suara di  panggung. Teman Tuli tidak membutuhkan benda tersebut karena mereka hanya  perlu ketulusan hati untuk menyampaikan apa yang ada di hati mereka hingga bisa  sampai ke hati penonton dan juri. 

Adapun tema dari lomba Puisi Isyarat ini “Budaya tanpa Bersuara”, artinya  peserta diharapkan memilih puisi yang bertema budaya dan mengaitkan dengan  “dunia” mereka.

Enam peserta sudah menampilkan kemampuan terbaiknya dan berhasil  mengundang air mata penonton. Suasana yang mulanya antusias, seketika berubah  menjadi haru. Hingga tibalah nomor urut 7 dipanggil, Ghania membawakan puisi  berjudul “Patriarki: Racun Pembunuh Cinta”. 

Tepuk tangan penonton dan juri menutup penampilan Ghania. Tidak ada  yang menyangka bahwa gadis dengan tinggi badan 163cm itu membawa puisi yang  mengangkat Budaya Patriarki, berbeda dengan peserta lain yang membahas soal  budaya tarian, makanan, dan bahasa. Ganesha menyoroti bait terakhir puisi  tersebut, seolah-olah ada isyarat yang sedang temannya sampaikan. Namun, dirinya mencoba menampik prasangka itu segera dan kembali fokus pada kesibukannya. 

Hari di mana nama pemenang dibacakan, tak disangka Ghania menjadi  peserta terbaik dalam cabang lomba yang diusungnya sendiri. Namun, saat diberi  kesempatan naik ke atas panggung, Ghania mengejutkan semua orang dengan  memberanikan diri berbicara untuk pertama kalinya. Dan ternyata di kesempatan  itu orang tua Ghania juga datang untuk menyaksikan kemenangan putrinya. 

“Dalam kesempatan ini saya ingin menyampaikan sesuatu. Sebenarnya  tanpa perlu ada penjelasan, semua orang pasti terkejut mendengar saya bisa 

berbicara. Seperti apa yang dilihat, saya mampu berbicara dan mendengar dengan  normal. Alih-alih sudah sembuh, sebenarnya saya memang tidak pernah sakit. Yang  sempat sakit adalah jiwa dan hati saya. Saya ingin memanfaatkan kesempatan ini  dan memberanikan diri. Saya meminta kepada seluruh Ayah, muliakanlah wanita  yang kami panggil Ibu. Kebahagiaan kami ada pada Ibu yang bahagia. Adapun  kebahagiaan Ibu kami terletak pada cara Ayah menyayangi dan melindunginya.  Jangan pernah ada Ghania Ghania lain yang berpura-pura tuli hanya untuk  menutupi lukanya. Hiasi telinga kami dengan tuturan lembut Ayah kepada Ibu. Tanpa mengurangi rasa hormat kepada dewan juri, saya izin mengundurkan diri dari  perlombaan ini karena peserta lain lebih layak mendapatkan juara dan lebih sesuai  dari segi kriteria peserta. Saya sudah cukup puas berani melawan rasa takut  sehingga bisa menyampaikan pesan ini di hadapan hadirin semua. Dan bagi saya  inilah kemenangan yang saya cari selama ini”. Ucap Ghania dengan sedikit gemetar  dan diselingi tangis kecil di pipinya.  

Semua orang yang menyaksikan tak dapat banyak berkata dan masih  mencoba memahami apa yang terjadi walau sulit sekali. Namun, yang pasti kedua  orang Ghania menjadi orang yang paling berbahagia di sana karena mendapati  kenyataan bahwa anak mereka kembali seperti sedia kala. Ada yang menitikkan air  mata, tapi tak sedikit pula yang mematung saja. 

Hari berganti, suara hujan kini terdengar lagi. Sejak hari penuh keteganga itu berlalu, Ghania tak lagi menggunakan tangannya sebagai alat berbicara kecuali  jika bertemu dengan Teman Tuli. Semua orang di sekitarnya mulai menerima  Ghania yang baru dan tak pernah sibuk menanyakan hal-hal yang sebenarnya  membingungkan banyak orang. Rumah Ghania semakin berwarna, Ayah tak lagi  berkata kasar, Bunda tak juga pernah berduka. Yang ada hanya keluarga bahagia  yang dilengkapi merdunya tawa Ghania di sana. Telinga Ghania kini diwarnai  dengan kata-kata pujian Ayah kepada Bunda, juga sanjungan Bunda kepada Ayah.  Ghania sekarang sudah bisa menulis tentang nyanyian hujan. Sudah bisa membaca  puisi dengan suara. Dan sudah bisa menyatakan rasa sayang dengan tutur kata.



Posting Komentar

0 Komentar