Pusaka Bahasa Di Ujung Cerita
oleh: Zakiyah
Di sebuah desa, lahirlah seorang anak dari keluarga sederhana bernama Zakia. Ia tumbuh dalam lingkungan masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai bahasa sebagai bagian dari warisan budaya. Sejak kecil, Zakia terbiasa mendengar ungkapanungkapan tradisional dan petuah bijak yang menjadi identitas daerahnya. Nilai-nilai tersebut membentuk kepribadiannya menjadi seseorang yang menghargai bahasa dan budaya lokal. Melalui pendidikan dan pengalaman, Zakia bertekad untuk melestarikan warisan budaya bahasa agar tetap hidup di tengah arus modernisasi.
Tahun demi tahun berlalu, kini ia bukan lagi sekadar mahasiswa perantau dari desa kecil, melainkan pribadi yang menapaki pusaran kota besar dengan langkah yang kadang goyah diterpa riuhnya ragam bahasa urban. Di kampus, suara bahasa nasional dan bahasa pengantar perkuliahan memenuhi koridor
koridor kelas, membuatnya larut dalam ritme yang terasa asing bagi telinganya dan samar di ingatan bahasa daerahnya. Malam-malam di asrama, ia kerap menatap layar ponsel, membaca kata-kata yang terasa jauh dari dirinya sendiri—kata-kata yang seolah kehilangan warna, tak seindah pantun yang dulu ia dengar di kampung halaman.
Dosen pembimbingnya, Bu Anindya, memberi tugas yang tampak sederhana namun sarat makna: menulis tentang warisan budaya daerah masing-masing. Namun, Zakia mengalami kegelisahan yang tak bisa ia sangkal. Kosakata bahasa daerahnya mulai memudar, begitu pula nuansa maknanya. Ia terjebak dalam plot-plot modern yang serba cepat, lupa bahwa bahasa adalah jembatan antara masa lalu dan masa depan. Rasa malu terhadap asal-usulnya perlahan menumpuk; ia takut identitasnya pudar di tengah arus globalisasi.
Pulang kampung menjadi pelarian sekaligus penyembuhan bagi Zakia. Liburan akhir semester memberi udara segar, angin desa yang sejuk, dan wajah-wajah yang menenangkan. Ia menghubungi orang tuanya, menyampaikan kegundahannya, lalu mendapat saran bijak: bertemu Pak Ali, tetua desa penjaga tradisi dan cerita lama. Pak Ali dikenal sebagai gudang kisah yang tersimpan rapat dalam ingatan, juga pemilik catatan-catatan tua beraroma tanah dan benih bahasa.
Di ujung jalan setapak menuju rumah Pak Ali, Zakia berhenti sejenak. Hembusan angin membawa aroma asam-manis dari kebun jeruk yang tumbuh di tepi pagar bambu. Di antara rimbun daun, terpancang papan kayu kecil bertuliskan aksara daerah—hurufhuruf tua yang seakan berbisik tentang masa lalu. Ada getar halus di dadanya; rasa rindu dan hormat yang tak sempat ia definisikan.
Ketika Zakia melangkah masuk ke halaman rumah, Pak Ali sudah menunggunya di teras dengan senyum hangat. Lelaki tua itu menepuk bahu Zakia tanpa banyak kata, seolah memahami beban yang tak terucap. Di ruang tamu yang sederhana, Pak Ali memperkenalkan sebuah benda berwarna cokelat tua: buku catatan kuno berkulit tebal, disimpan rapat di dalam lemari kayu yang berkeriut ketika dibuka. Bau kertas tua dan
debu masa lampau menyeruak ke udara, membawa Zakia seolah kembali ke zaman yang hanya ia dengar lewat cerita.
“Pusaka bahasa ini bukan sekadar kumpulan kata,” ujar Pak Ali pelan sambil membuka halaman yang mulai retak di tepinya. “Ia adalah jejak langkah nenek moyang kita. Setiap kosakata menyimpan cerita, setiap pantun menuturkan rahasia, dan setiap ujaran adalah pintu yang menghubungkan kita dengan jati diri yang hampir terlupakan.”
Zakia menyimak dengan saksama. Di hadapannya terbentang halaman halaman penuh tulisan tangan Pak Ali: cerita-cerita pendek dalam bahasa daerah, lengkap dengan terjemahan di sisi kanan. Ada pantun tentang musim panen yang riang, doa keselamatan bagi para pelaut desa, juga kisah malam yang dipenuhi cahaya lentera di tengah sawah. Setiap baris terasa hidup, seolah kata-kata itu bernafas dan mengembuskan aroma tanah, air, dan waktu.
Perlahan, Zakia mulai meresapi bagaimana setiap kata membentuk makna yang melampaui arti denotatif—ada getaran konotatif di balik warna, ritme, dan irama hidup desa. Ia menyadari bahwa bahasa bukan sekadar alat untuk berbicara, melainkan wadah bagi ingatan dan perasaan yang diwariskan turun-temurun.
Hari demi hari selama kunjungan itu, Zakia menghabiskan waktunya di bawah cahaya lampu minyak, menyalin teks-teks tua ke dalam buku catatannya. Ia menulis ulang dalam bahasa Indonesia yang lebih hidup, menjaga keutuhan makna tanpa menghapus roh bahasa leluhur. Setiap coretan menjadi bentuk penghormatan, seakan ia tengah menjahit kembali benang identitas yang sempat terurai.
Pak Ali tidak hanya mengajarinya kosakata, tetapi juga mengajarkan etika berbicara— tentang cara menghormati nada, menjaga ritus, dan memahami konteks saat mengundang kata-kata keluar dari mulut. Dari lelaki tua itu, Zakia belajar bahwa berbicara bukan sekadar mengeluarkan suara, melainkan menyalakan kembali ingatan yang nyaris padam.
Klimaks cerita datang ketika Bu Anindya memberikan tugas baru: menulis karya ilmiah tentang bagaimana warisan bahasa daerah menyatukan komunitas dan membentuk identitas nasional melalui budaya literasi. Zakia menatap lembar tugas itu lama-lama, merasakan getar yang berbeda—bukan
lagi kegugupan, melainkan semangat yang lahir dari pemahaman baru. Ia memutuskan untuk menulis dengan bahasa daerah sebagai inti narasi, memadukannya dengan analisis makna, referensi budaya, dan kerangka pemikiran semiotik yang pernah ia pelajari. Kini, ia tidak lagi menulis sebagai mahasiswa yang kehilangan arah, melainkan sebagai penutur bahasa yang menemukan kekuatan di antara kata-kata yang dulu ia anggap asing.
Dalam proses menulis itu, Zakia seperti mendengar kembali suara Pak Ali di benaknya—suara tua yang lembut namun tegas, mengingatkan bahwa setiap kata adalah warisan dan setiap kalimat adalah doa. Ia menulis bukan sekadar untuk memenuhi tugas, tetapi untuk menyambung napas tradisi yang hampir putus.
Beberapa minggu kemudian, saat naskahnya selesai, Zakia memutuskan untuk pulang dan berbagi hasil karyanya dengan anak-anak di desa. Ia mengadakan sesi kecil di balai pertemuan yang diberinya nama “Pusaka Bahasa Kita.” Di sana, ia menampilkan buku catatan kuno milik Pak Ali sebagai artefak yang hidup, membuka halamanhalamannya di depan kelas, dan membaca potongan cerita dengan suara penuh makna. Anak-anak duduk melingkar, menyimak, dan sesekali tertawa ketika Zakia mengajak mereka bermain pantun atau menebak arti kata.
Suasana sore itu hangat dan riuh. Di antara tawa anak-anak dan hembusan angin dari jendela bambu, Zakia merasakan sesuatu yang sederhana namun mendalam—bahwa bahasa daerah bukan hanya alat komunikasi, tetapi juga kunci untuk memahami sejarah, nilai, dan cara melihat dunia. Dalam pandangan mata anak-anak yang berkilat penuh rasa ingin tahu, ia melihat masa depan yang tidak lagi terputus dari akar. Bahasa kini bukan sekadar pelajaran, melainkan rumah tempat identitasnya pulang.
Pusaka bahasa di ujung cerita bukanlah benda mati, melainkan semangat yang menjadi napas bagi komunitas. Saat Zakia menutup kelas pertamanya dengan doa sederhana— doa dalam bahasa daerah yang dipanjatkan untuk kelangsungan warisan—ia menyadari bahwa dirinya bukan lagi sekadar perantara, melainkan penjaga pusaka. Bahasa yang dulu terasa asing kini menjelma rumah yang hangat, tempat ia belajar bahwa masa lalu tak pernah benar-benar pergi; ia hanya menunggu untuk ditemukan kembali.
Penutup kisah itu membawa Zakia kembali ke kota. Tugas kuliah yang ia kerjakan selesai dengan hasil memuaskan, tetapi yang jauh lebih penting, hatinya pulang dengan penuh makna. Di meja kamarnya, ia menulis kesan terakhir dalam bahasa daerah, menyisipkan refleksi sederhana: bahwa warisan bahasa memberi manusia kemampuan untuk bertahan, berakar, dan tumbuh di dunia yang terus berubah.
Malam terakhir sebelum keberangkatan, ia mengadakan kelas kilat di rumah orang tuanya. Ruang tamu berubah menjadi tempat belajar kecil; anak-anak duduk bersila, mendengarkan Zakia membacakan pantun, cerita pendek, dan kosakata yang ia temukan di buku catatan kuno peninggalan Pak Ali. Setiap tawa dan tepuk tangan anakanak menggema seperti mantra yang menghidupkan kembali roh bahasa di udara desa.
Malam itu, cahaya lampu minyak berpendar lembut di jendela. Desa itu seolah bernapas dalam satu irama bahasa yang sama—bahasa yang hidup, diwariskan, dan terus diukir dalam jiwa anak-anak bangsa. Di antara riuh rendah suara malam, Zakia tahu: pusaka sejati bukan sekadar tulisan di kertas, melainkan hidup yang berdenyut di antara kata-kata dan manusia yang menjaganya.
.png)
0 Komentar