Suara Jari Jemari - Dwica Harada

 

Suara Jari Jemari  

oleh: Dwica Harada  

Bandung sore itu tenang. Langitnya abu-abu muda, dan udara membawa aroma  tanah basah yang baru saja disiram gerimis. Di halaman kecil rumah komunitas Ruang  Isyarat, suara kehidupan terasa lembut. Tak ramai, tak gaduhhanya tawa kecil yang nyaris  tanpa suara, dan jari-jemari kecil yang menari di udara.  

Di tengahnya, Nala Humeiji duduk bersila di atas tikar pandan. Tiga anak di  depannya menatap penuh antusias: Aldo yang cerewet, Beben yang pendiam, dan Nadia  yang tak pernah berhenti tersenyum.  

“Selamat sore,” kata Nala pelan, 

lalu mengangkat tangannya, berisyarat satu per satu. Anak-anak menirukan. Gerak  mereka masih goyah, tapi di balik kekakuan itu ada semangat yang tak bisa  disembunyikan. 

“Bagus,” ujar Nala dengan gerakan tangan membentuk pujian. Ketiganya tertawa,  bukan lewat suara, tapi lewat mata yang berbinar.  

Setelah kelas selesai, Nala membereskan papan tulis kecil yang penuh coretan  huruf-huruf abjad isyarat. Di pojok ruangan, ada foto ibunya yang tersenyum foto yang  selalu ia letakkan di sana sebagai pengingat. Ibunya adalah seorang guru tunarungu di  sekolah luar biasa. Sejak kecil, Nala terbiasa dengan dunia yang lebih sunyi daripada  kebanyakan orang. Ia tahu arti gerakan tangan sebelum bisa membaca alfabet. Ia tahu cara  ibunya memanggil namanya lewat sentuhan ringan di bahu.  

Namun dua tahun lalu, dunia itu tiba-tiba terasa terlalu sepi. Kecelakaan kecil,  begitu kata orang. Tapi bagi Nala, itu seperti kehilangan bahasa pertama yang pernah ia  miliki. Sejak saat itu, ia merasa hampa seperti seseorang yang masih berbicara dalam  bahasa yang tak lagi punya lawan bicara.  

Sampai akhirnya, ia menemukan Ruang Isyarat, sebuah komunitas kecil di daerah  Dago Atas. Di sana, Nala kembali mengajar bahasa ibunya. setiap anak yang belajar di 

hadapannya adalah pengingat bahwa bahasa itu masih hidup, masih bisa diwariskan. Dan  selama itu terjadi, ibunya tidak benar-benar pergi.  

***  

Di sisi lain kota, Arlen Gamala menatap papan pengumuman kampusnya. Antara  poster seminar dan pelatihan teknik mesin, satu kertas kecil menempel di pojok bawah  

Relawan Bahasa Isyarat Ruang Isyarat Bandung”  

“ Belajar dan Berbagi Lewat Tangan yang Bicara.”  

Arlen menatap lama. Beberapa bulan terakhir hidupnya terasa datar. Ia mahasiswa  teknik mesin semester enam yang mulai kehilangan arah. Skripsi tertunda, praktikum  menumpuk, dan semua yang dulu terasa menantang kini terasa berat. Namun yang paling  mengganggunya adalah rasa asing terhadap diri sendiri. Ia sadar bisa memperbaiki mesin,  tapi tidak tahu bagaimana memperbaiki perasaan kehilangan yang diam-diam tumbuh  setelah kepergian ayahnya setahun lalu.  

Ayahnya dulu seorang guru SMK yang gemar berkata, “Kalau kamu ingin  memperbaiki dunia, mulai dari hal kecil yang kamu bisa.” Mungkin itu sebabnya Arlen  menyalin alamat di poster itu ke catatannya, tanpa berpikir panjang. Ia hanya ingin  melakukan sesuatu yang terasa hidup lagi.  

Entah kenapa, pandangannya berhenti lama di situ. Sudah lama ia merasa  kehilangan arah. Sejak ayahnya meninggal, dunia terasa seperti mesin yang terus berjalan  tanpa tujuan. Ia bisa memperbaiki logam dan mesin, tapi tidak tahu cara memperbaiki hati  yang kosong. Mungkin itu sebabnya ia datang ke alamat yang tertulis di poster itu. Tanpa  banyak Rencana,Tanpa tahu apa yang menunggunya.  

*** 

Rumah kecil di Dago Atas itu diselimuti udara dingin dan aroma cat kayu. Papan  bertuliskan Ruang Isyarat tergantung di depan pagar. Arlen berdiri sejenak, lalu mengetuk  pintu.  

“Selamat siang,” suara lembut terdengar dari balik daun pintu. Perempuan  berwajah teduh dengan  

rambut diikat sederhana membuka pintu. Ia menatap Arlen sekilas lalu tersenyum.  “Ada yang bisa saya bantu?”  

“Saya lihat poster relawan di kampus. Ini Masih bisa daftar kan teh?” teteh  begitu sapaan orang orang bandung kepada perempuan muda  

“oh masih a’, Masuk saja, saya bantu jelasin mekanisme nya didalem ya a’.”  Nala mempersilakan masuk ke ruangan yang penuh warna, dinding-dinding  dengan gambar alfabet isyarat, papan tulis kecil, dan beberapa mainan edukatif.  “Di sini, kami mengajar anak-anak tunarungu dasar komunikasi dan menulis,” jelasnya pelan.  

“Relawan biasanya membantu sebagai pendamping belajar atau fasilitator  kegiatan.”  

“Saya belum bisa bahasa isyarat sama sekali teh.”  

“atuh gak papa a’. Yang penting kamu mau belajar.” 

Arlen tidak tahu kenapa ia langsung percaya pada suara itu. Ada sesuatu dalam  tatapan Nala tenang tapi berakar dalam. Dan sejak hari itu, ia menjadi bagian dari Ruang  Isyarat.  

***  

Hari-hari berjalan pelan, seperti daun yang jatuh ke sungai dan mengikuti arus  tanpa tergesa. Setiap Sabtu, Arlen datang lebih awal, duduk di kursi plastik, dan belajar  gerakan dasar dari Nala. Awalnya kaku. Tangannya sering salah arah, dan Nadia tertawa  setiap kali ia keliru.  

“Hurufnya bukan begitu, Kak!” kata Nadia sambil mencontohkan dengan cepat.  “Wah, aku kalah jago nih,” jawab Arlen malu-malu. Nala ikut tersenyum. 

Tenang, semua orang pernah salah. Bahasa ini butuh kesabaran.” Pelan-pelan, Arlen mulai hafal gerakan. Ia belajar bahwa A dibuat dengan kepalan  tangan, B dengan telapak terbuka. Tapi lebih dari itu, ia belajar membaca ekspresi mata  yang berbicara, bibir yang bergerak tanpa suara, tangan yang bercerita. Dan di setiap  tatapan Nala saat menjelaskan, ada sesuatu yang membuat waktu seolah berjalan lebih  lambat.  

***  

Suatu sore, Nala sedang menyiapkan materi kelas ketika ketua komunitas datang  membawa kabar

“Minggu depan kita adakan acara amal dan family gathering kecil. Untuk  anakanak dan orang tua mereka,” ujar ketua komunitas.  

“Semua relawan wajib ikut.” Nala mengangguk.  

“Boleh, aku bantu urus bagian anak-anak.” Ia menoleh ke Arlen.  

“Kamu ikut, kan?”  

“oh iya bisa bisa,” jawab Arlen tanpa pikir panjang.  

Hari acara tiba. Halaman Ruang Isyarat berubah ramai. Ada tenda sederhana, meja  makanan, dan stan kecil untuk bazar amal. Anak-anak berlarian dengan tawa yang diam  tapi penuh cahaya. Arlen membantu memasang banner, sementara Nala sibuk  menyiapkan alat peraga permainan.  

“Nala, spanduknya kurang tinggi,” kata Arlen sambil naik kursi.  

“Kalau jatuh jangan salahin aku,” sahut Nala dari bawah, menahan tawa.  “Kalau jatuh, tangkap aja,” balasnya.  

“Berani banget ngomong gitu,” katanya setengah bercanda.  

Keduanya tertawa kecil. Beben menatap mereka, lalu berbisik ke Nadia lewat  isyarat. 

“Mereka cocok, ya?”  

Nadia mengangguk sambil menahan tawa, tapi Arlen dan Nala tidak menyadari.  Acara berjalan lancar. Di tengah keramaian, ada sesi penampilan anak-anak: mereka 

menampilkan lagu dengan bahasa isyarat. Nala berdiri di samping panggung,  mengarahkan mereka dengan lembut. Arlen menonton dari kejauhan, dan untuk pertama  kalinya ia merasa benar-benar terharu oleh sesuatu yang tak bisa dijelaskan.  

Ia melihat anak-anak itu “menyanyi” dengan tangan, dan di tengah mereka, Nala  tersenyum seperti cahaya kecil yang membuat semuanya hidup. Di momen itu, Arlen  sadar ia tidak sedang mengagumi seseorang karena kecantikannya, tapi karena  ketulusannya.  

***  

Beberapa minggu setelah acara, kelas berjalan seperti biasa. Tapi waktu terasa  lebih cepat dari biasanya. Kontrak relawan Arlen hampir selesai. Ia tahu, semester depan  harus kembali fokus pada proyek akhir. Namun setiap kali ia mengajar, ia justru ingin  waktu berhenti sedikit lebih lama.  

Suatu sore menjelang akhir masa relawannya, Nala dan Arlen duduk di beranda  setelah kelas. Hujan turun pelan, menimpa genting dan halaman yang basah.  

“Sebulan lagi masa relawanmu selesai, ya?” tanya Nala. Arlen  

mengangguk pelan.  

“Iya. Rasanya baru kemarin aku salah-salah bikin huruf.” Nala tersenyum.  “Kamu cepat belajar. Anak-anak juga suka kamu, Karena mereka sabar. Dan  kamu juga.” Sunyi sejenak. Hanya suara hujan. Arlen menatap tangannya sendiri.  “Awalnya aku datang cuma buat cari kegiatan. Tapi ternyata... aku belajar  banyak.” Nala menoleh.  

“Tentang apa?” Arlen berpikir sejenak.  

“Tentang mendengar. Tentang memahami sesuatu tanpa perlu kata.”  Nala diam. Di matanya ada sesuatu yang lembut, tapi sulit dijelaskan. Ia hanya  mengangguk. “Bahasa isyarat memang begitu. Ia mengajari kita mendengar dengan mata,  dan berbicara dengan hati.” 

***  

Hari terakhir Arlen datang, udara Bandung berembus dingin. Anak-anak  memberikan kartu kecil bertuliskan Terima Kasih, Kak Arlen. Nala berdiri di dekat pintu,  membawa map pendaftaran baru untuk relawan berikutnya.  

“Terima kasih sudah datang selama ini, ya arlen semoga ini bukan yang  terakhir kamu mau jadi relawan disin i” katanya pelan.  

Arlen tersenyum.  

“Aku yang harus berterima kasih nala, next kalo aku senggang aku mampir  kesini deh” Ia menggerakkan tangannya masih kaku, tapi penuh makna Terima kasih  Nala menatap gerakan itu lama. Lalu membalas dengan gerakan yang sama. Tak  ada kata lain. Tak perlu. Ketika Arlen melangkah keluar, hujan mulai turun. Langit  Bandung kembali kelabu, tapi di dadanya ada sesuatu yang hangat kekaguman yang  berubah perlahan menjadi sesuatu lebih dalam, namun belum sempat diucapkan. 

Ia tahu, ada banyak cara untuk berbicara. Tapi beberapa perasaan hanya bisa hidup  di diam.Dan di antara hujan yang jatuh dan jari yang belum sempat berisyarat, perasaan  itu diam-diam tinggal. Suara jari jemari itu tak lagi hanya milik bahasa. Tapi juga milik  hati yang belajar memahami, meski tak pernah benar-benar diucapkan.  

Sesaat arlen melangkahkan kakinya menuju parkiran dia berbalik kearah nala yang  masih menatap lekat kearah nya.  

“ Nal… can I call you tonight,?” Tanya nya ragu.  

Oh sungguh tindakan beresiko yang harus dia lakukan, karna detik itu juga nala  telah merebut semua kata kata didalam kepala arlen


Posting Komentar

0 Komentar