NASKAH PUISI UNTUK LOMBA MUSIKALISASI PUISI TINGKAT SMA SEDERAJAT


PUISI WAJIB

JANGAN TANGGUNG JANGAN KEPALANG
Sutan Takdir Alisyahbana

Jangan tanggung jangan kepalang
Bercipta mencipta
Bekerja memuja
Berangan mengawan,
Berperang berjuang.
Mengapa bimbang berhati walang
Berhenti tertegun langkah tertahan
Takut percuma segala kerja
Sangsi berharga apa dipuja?

Wahai teman
Merata buih di tepi pasir
Tetapi gelombang mengulang
Gairah menggulung menuju teluk
Selara tua gugur ke tanah
Pucuk muda tertawa mengorak sela,
Keranda muram diusung ke makam,
Jejaka muda bersumpah baka,
Cinta gairah hati remaja.
Lenyapkan sangsi, lenyapkan ngeri,
Indah gelombang mengejar pantai,
Indah pucuk menjelma rupa,
Indah Jejaka memuja cinta,
Benar, indah segala hidup,
Menyerah tenaga menurut hasrat,
Tiada tanggung tiada kepalang.
(Tonggak 1, 1987)



PUISI PILIHAN

PERAHU
Setelah Hamzah Fansuri*)
Idrus Tintin

Perahuku kecil dan rapuh
Layarnya koyak dayungnya pendek
Alat perabotnya tak kuat-kokoh
Bekal airnya tanggung-tanggung
Kayu dibawa terang tak cukup
perahunya
dayungnya
kemudinya
pawangnya
semuanya tak handalan.

Ingin seperti punya Hamzah
Gagah mengarung medan lautan
Alatnya kuat bekalnya cukup
Laju menepis buih gelombang
perahunya
dayungnya
kemudinya
semuanya memakai nama Allah.

Sejak dulu sudah ibuku
pesankan:
belajarlah rajin-rajin
mengaji jangan malas.
Tapi dasar bebal dasar nakal
muqadam pun aku tak katam
Bagaimana hendak mengarungi
Lautan Sailan
Tempat laut terlalu dalam
Ribut besar badai dan topan
Banyak perahu rusak tenggelam
Bagaimana hendak pergi
menyelam
untuk mengambil permata nilam
baru sampai ke laut Bintan
perahu sudah mau karam.



BARANGKALI
Asrul Sani

Engkau yang lena dalam hatiku
akasa swarga nipis-tipis
yang besar terangkum dunia
kecil terlindung alis

Kujunjung di atas hulu
kupuji di pucuk lidah
kupangku di lengan lagu
kudaduhkan di selendang dendang

Bangkit gunung
buka mata mutiaramu
sentuh kecapi firdausi
dengan jarimu menirus halus

Biar siuman dewi-nyanyi
gambuh asmara lurus lampai
lemah ramping melidah api
halus harum mengasap keramat

Mari menari dara asmara
biar terdengar swara swarna
barangkali mati di pantai hati
gelombang kenang membanting diri.

Hanya Satu
Amir Hamzah
Timbul niat dalam kalbumu;
terban hujan, ungkai badai
terendam karam
runtuh ripuk tamanmu rampak.

Manusia kecil lintang pukang
lari terbang jatuh duduk
air naik tetap terus
tumbang bungkar pokok purba.

Teriak riuh/redam terbelam
dalam gagap/gempita guruh
kilau kilat membelah gelap
Lidah api menjulang tinggi.

Terapung naik jung bertudung
tempat berteduh Nuh kekasihmu
bebas lepas lelang lapang
di tengah gelisah, swara sentosa.

Bersemayam sempana di jemala gembala
juriat jelita bapaku Ibrahim
keturunan intan dua cahaya
pancaran putera berlainan bonda.

Kini kami bertikai pangkai
di antara dua, mana mutiara
jauhari ahli lalai menilai
lengah langsung melewat abad.

Aduh, kekasihku
padaku semua tiada berguna
hanya satu kutunggu hasrat
merasa dikau dekat rapat
serupa Musa di puncak Tursina.



SAHABAT
Idrus Tintin

Dari perca
kubangun sebuah persahabatan
lama
lebih lama dari layaknya orang bersahabat
dibuhul mufakat saling mengerti
benar-benar bersahabat
pada titik
atau koma

Kamipun membuat lukisan bersama
sebagai pernyataan
wajah kami
wajah perca

hari dan waktu bertimpa
lukisan guram kehidupan
selesai juga

Tapi wajah itu ke mana arahnya?
Tak tentu letak
Saling tak bersua wajah kita

Asyik mencari kita jadinya
terus mencari kerinduan-kerinduan kita
yang makin panjang



NUN
Taufik Effendi Aria

Nun,
Nun itu jauh
Jauh sekali
tak terukur oleh jarak
tak teraba oleh jari
tak terdengar oleh telinga
tak terlihat oleh mata

Nun itu jauh
Jauh sekali
dia turun dari langit ke tujuh
membasahi daun-daunan
di lereng-lereng perbukitan
di lembah perkebunan dan persawahan
mengalir pada sungai
dan sungai-sungai
bergulung-gulung di lautan
mencuci jiwa membasuh raga

Nun,
Nun itu jauh
Jauh sekali
siasia mengukur jarak dia tak bertempat
siasia menyentuhnya dia raib dan ghaib
siasia mengejarnya dia lebih cepat dari kilat
dan jangan jangan menghimbaunya
sesungguhnya dia menunggu
menunggu lebih dekat

Nun…
Nun itu jauh
Jauh sekali



SAJAK BULAN MEI 1998 DI INDONESIA
WS. Rendra

Aku tulis sajak ini di bulan gelap raja-raja
Bangkai-bangkai tergeletak lengket di aspal jalan
Amarah merajalela tanpa alamat
Kelakuan muncul dari sampah kehidupan
Pikiran kusut membentur simpul-simpul sejarah

O, zaman edan!
O, malam kelam pikiran insan!
Koyak moyak sudah keteduhan tenda kepercayaan
Kitab undang-undang tergeletak di selokan
Kepastian hidup terhuyung-huyung dalam comberan


O, tatawarna fatamorgana kekuasaan!
O, sihir berkilauan dari mahkota raja-raja!
Dari sejak zaman Ibrahim dan Musa
Allah selalu mengingatkan
bahwa hukum harus lebih tinggi
dari ketinggian para politisi, raja-raja, dan tentara

O, kebingungan yang muncul dari kabut ketakutan!
O, rasa putus asa yang terbentur sangkur!
Berhentilah mencari Ratu Adil!
Ratu Adil itu tidak ada. Ratu Adil itu tipu daya!
Apa yang harus kita tegakkan bersama
adalah Hukum Adil
Hukum Adil adalah bintang pedoman di dalam prahara

Bau anyir darah yang kini memenuhi udara
menjadi saksi yang akan berkata:
Apabila pemerintah sudah menjarah Daulat Rakyat
apabila cukong-cukong sudah menjarah ekonomi bangsa
apabila aparat keamanan sudah menjarah keamanan
maka rakyat yang tertekan akan mencontoh penguasa
lalu menjadi penjarah di pasar dan jalan raya

Wahai, penguasa dunia yang fana!
Wahai, jiwa yang tertenung sihir tahta!
Apakah masih buta dan tuli di dalam hati?
Apakah masih akan menipu diri sendiri?
Apabila saran akal sehat kamu remehkan
berarti pintu untuk pikiran-pikiran kalap
yang akan muncul dari sudut-sudut gelap
telah kamu bukakan!

Cadar kabut duka cita menutup wajah Ibu Pertiwi
Airmata mengalir dari sajakku ini.

Posting Komentar

0 Komentar