NASKAH PUISI UNTUK LOMBA BACA PUISI BULAN BAHASA 2019 TINGKAT SMA SEDERAJAT
NASKAH PUISI UNTUK LOMBA BACA PUISI BULAN BAHASA 2019 TINGKAT SMA SEDERAJAT
Ziarah Gempa (Sulaiman Juned)
Aku
Ziarahi negeri
air mata. Kampung-kampung
Terkepung isak –
gerimis berkelahi di halaman mengoyak
Derita-ribuan
nyawa diceraiberaikan gempa. Aku
Hanya mampu mendirikan
kemah di hati
Membunuh gelisah
yang bersimaharaja antar
Ke perkuburan
waktu.
Aku
Ziarahi negeri
air mata. Kampung-kampung
Terkepung luka –
rinai tempias ke wajah semesta
Mengeram di
jiwa. Aku
Hanya mampu
mencatat keping duka
Dalam senyap
jerit untuk dikenang
Jadi pelajaran
menuju Tuhan.
Aku
Ziarahi negeri
air mata. Kecemasan dan ketakutan
Mengurung jiwa –
Seperti rentak tangis bersahutan
Sesak. Masih
lekat di ingatan tentang Aceh
Dilipat air raya
– Yogyakarta luluh-lantak – Pesisir selatan Jawa
Rubuh –
Minangkabau diratakan gempa di ruang senja. Aroma
Kematian
menyekap pikiran dalam timbunan tanah dan beton. Apalagi
Yang tersisa
selain doa-doa ditasbihkan menembus langit memetik
Bulan. Tuhan
menegur kita dengan cinta-Nya.
Aku
Ziarahi negeri
air mata. Sambil bertahlil
Ingin sekali
menyaksikan senyum di bibirmu jelita biar getir pergi dari sukma
Kepada
Penyair Laut (Mustafa Ismail)
Dalam gigil pagi
itu, di sebuah mesjid, kami membayangkan:
Beribu-ribu
puisi telah menetes di kota itu, dari Isnu hingga Rosin,
Dari dari
Mustier hingga Aliza, hingga entah siapa
Kau datang
dengan kesunyian masing-masing,
Membikin laut
sendiri, kolam renang sendiri, juga menanam pohon sendiri
Dan menjadi
aroma laut di udara
Dan di sebuah
kedai kopi pagi itu, semua kesunyian menjadi beku
Seperti lelehan
pohon-pohon dari puncak bukit
Yang menari
untuk secangkir kopi, secangkir kopi, secangkir kopi
Oh iya, laut.
Laut itu, pantai itu, tugu itu, suak ujung kalak itu, pasir
Itu, seperti
aliran darahmu yang terus mendidih dan menyiram
Kota-kota dengan
mantra-mantra, dengan syair-syair, dengan
Suara-suara
Aku kira kau
harus menjadi Teuku Umar yang menghunus pedang
Ke udara,
menaklukkan dusun, kampung hingga kota-kota
Lalu
meledakkannya menjadi karnaval kata-kata sebab dengan
Begitulah
bukit-bukit selalu hijau dan laut tetap berombak
Mencatat
gelisahmu, galauku, juga kesedihan mereka:
Petani dan
nelayan yang tak henti berlari dan merawat ingatan.
Selamat
Pagi Indonesia (Supardi Djoko Damono)
Selamat pagi,
Indonesia, seekor burung mungil mengangguk
Dan menyanyi
kecil buatmu.
Aku pun sudah
selesai, tinggal mengenakan sepatu,
Dan kemudian
pergi untuk mewujudkan setiaku padamu dalam
Kerja yang
sederhana;
Bibirku tak
biasa mengucapkan kata-kata yang sukar dan
Tanganku terlalu
kurus untuk mengacu terkepal.
Selalu kujumpai
kau di bawah anak-anak sekolah,
Di mata para
perempuan yang sabar,
Di telapak
tangan yang membatu para pekerja jalanan;
Kami telah
bersahabat dengan kenyataan
Untuk diam-diam
mencintaimu.
Pada suatu hari
tentu kukerjakan sesuatu
Agar tak sia-sia
kau melahirkanku.
Seekor ayam
jantan menegak, dan menjeritkan salam
Padamu,
kubayangkan sehelai bendera berkibar di sayapnya.
Aku pun pergi
bekerja, menaklukkan kejemuan,
Merubahkan
kesangsian,
Dan menyusun batu-demi
batu ketabahan, benteng
Kemerdekaanmu
pada setiap matahari terbit, o anak jaman
Yang megah,
Biarkan aku
memandang ke Timur untuk mengenangmu
Wajah-wajah yang
penuh anak-anak sekolah berkilat,
Para perempuan
menyalakan api,
Dan di telapak
tangan para lelaki yang tabah
Telah hancur
kristal-kristal dusta, khianat dan pura-pura.
Selamat pagi,
Indonesia, seekor burung kecil
Memberi salam
kepada si anak kecil;
Terasa benar:
aku tak lain milikmu
Tantangan
(Abdul Wahid Situmeang)
Siapa lagi mau
angkat bicara
Tentang kejayaan
dan kemegahan bangsa
Di atas ini bumi
luka parah
Bumi yang sabar
dan ramah
Damai dalam
kesuraman lingkup
Jangan lagi kau
bicara dan bicara
Membeber cerita
fitnah dan dusta
Membela
kerakusan hatimu yang hina
Karena cukup
kami kenal siapa kau yang sebenarnya
Macan penghulu
belantara
Hati yang pongah
angkuh dan serakah
Yang mengeruhkan
kejernihan ampera
Ke mana lagi kau
berlindung
Semua jalan lari
sudah kami serung
Semua pintu
padamu mengatup
Hati yang pongah
angkuh dan serakah
Yang mengotori
kesucian ampera
Terima kematian
dirimu yang celaka
Binasa dipentung
rujung henti denyut jantung
Di sini tak ada
lagi tempat buat hati yang lancung
Senja
Di Pelabuhan Kecil (Chairil Ismail)
Ini kali tidak ada yang mencari cinta
di antara gudang, rumah tua, pada cerita
tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut
menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut
Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak
elang
menyinggung muram, desir hari lari berenang
menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
dan kini tanah dan air tidur hilang ombak.
Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
menyisir semenanjung, masih pengap harap
sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap
Komentar
Posting Komentar