NASKAH PUISI UNTUK LOMBA BACA PUISI BULAN BAHASA 2019 TINGKAT MAHASISWA


NASKAH PUISI UNTUK LOMBA BACA PUISI BULAN BAHASA 2019 TINGKAT MAHASISWA


NYANYIAN TANAH AIR
Karya Saini KM

Gunung-gunung perkasa, lembah-lembah yang akan tinggal menganga
dalam hatiku. Tanah airku, saya mengembara dalam bus
dalam kereta api yang bernyanyi. Tak habis-habisnya hasrat
menyanjung dan memuja engkau dalam laguku.

Bumi yang tahan dalam derita, sukmamu tinggal terpendam
bawah puing-puing, bawah darah kering di luka,
pada denyut daging muda
Damaikan kiranya anak-anakmu yang dendam dan sakit hati,
ya Ibu yang parah dalam duka-kasihku!

Kutatap setiap mata di stasiun, pada jendela-jendela terbuka
kucari fajar semangat yang pijar bernyala-nyala
surya esok hari, matahari sawah dan sungai kami
di langit yang bebas terbuka, langit burung-burung merpati

1963




SAJAK SEORANG PRAJURIT
Karya: Suminto A. Sayuti 

(seorang prajurit telah meninggalkan pabarisan
sebab sebuah keyakinan bersarang dikalbunya : 
orang tak harus menang)

palangan ditinggalkan
terompet perang tak didengarkan
gendawa ditinggalkan
busur dipatahkan).

ya, akulah seorang prajurit yang lolos 
dan mencoba lolos dari kurukaserta 
menjadi seonggok sajak yang tersesat 
di pinggir belantara. 

(yang mencatat aum serigala 
yang mencatat cericit burung di belukar 
yang basah oleh embun 
yang kering oleh matahari 
yang terjun dalam jeram 
yang tersesat dalam ruang tata warna).

telah kutinggalkan palagan 
sebab palagan sebenarnya ada dalam badan 
telah kutanggalkan gendawa sebab gendawa 
sebenarnya hati tanpa wasangka 
telah kupatahkan busur 
sebab busur sebenarnya keberanian tak pernah luntur.

akulah prajurit yang telah terpisah dari pabarisan 
dan menciptakan medan dalam sanubari 
Pandawa-korawa dalam daging-daging berduri 
Krisna dalam samadi 
kemenangan dalam angan-angan 
panah, kereta, tombak, 
kuda darah,strategi, tulang, singgasana, 
Sejarah... 
dalam diri 

akulah prajurit dengan sejuta tombak tertancap 
yang lolos dari genangan darah, tonggak-tonggak tulang 
kerikil gigi, ganggang rambut, panji-panji perang.

akulah prajurit bersimbah darah 
yang menyusun jitapsara dengan tinta kehidupan 
duduk sendiri di pinggir hutan.

akulah prajurit pewaris tahta kerajaan 
yang tersenyum pada langit dan bumi 
dengan senandung air mengalir, irama ganggang tak kenal akhir

akulah prajurit yang diharapkan 
dapat mematahkan lawan 
dengan telak dalam satu kali gempuran 

ya, akulah yang banyak berharap dan diharapkan 
sehabis usia lunas disini : 
peremouan-perempuan desa: 
tak lagi menjadi buruh-buruh industri kota  
tak lagi membanjiri lokal-lokal prostitusi 
untuk sekedar mempertahankan hidupnya 
para petani tak lagi berpikir 
dan bertanya-tanya 
besok pagi kita makan apa

para penguasa 
tak lagi berorientasi pada status, 
jabatan, kursi, kewenagan, 
dan sejengkal perut 
dan bakal terlahir atas nama sukmamu 
seorang pembela kawula yang celaka dan tertindas 
dari denyut ke denyut, dari waktu ke waktu

akulah seorang prajurit yang terluka 
dan lari dari medan pebarisan 
tapi, luka itu tak lagi berdarah 
dan menyiksa Cinta berbunga 
kapan usia mengain: aku hanya seorang manusia



  
RESONANSI INDONESIA
Karya: Ahmadun Yosi Herfanda

bahagia saat kau kirim rindu
termanis dari lembut hatimu
jarak yang memisahkan kita
laut yang mengasuh hidup nakhoda
pulau-pulau yang menumbuhkan kita
permata zamrud di katulistiwa
: kau dan aku
berjuta tubuh satu jiwa

kau semaikan benih-benih kasih
tertanam dari manis cintamu
tumbuh subur di ladang tropika
pohon pun berbuah apel dan semangka
kita petik bersama bagi rasa bersaudara
: kau dan aku
berjuta kata satu jiwa

kau dan aku
siapakah kau dan aku?
jawa, cina, aceh, batak, arab, dayak
sunda, madura, ambon, atau papua?
ah, tanya itu tak penting lagi bagi kita
: kau dan aku
berjuta wajah satu jiwa

ya, apalah artinya tembok pemisah kita
apalah artinya rahim ibu yang berbeda?
jiwaku dan jiwamu, jiwa kita
tulus menyatu dalam asuhan
burung garuda

Jakarta, 1984/1999
  



 SAJAK BULAN MEI 1998 (WS RENDRA)
Karya: WS Rendra

Aku tulis sajak ini di bulan gelap raja-raja
Bangkai-bangkai tergeletak lengket di aspal jalan
Amarah merajalela tanpa alamat
Kelakuan muncul dari sampah kehidupan
Pikiran kusut membentur simpul-simpul sejarah

O, zaman edan!
O, malam kelam pikiran insan!
Koyak moyak sudah keteduhan tenda kepercayaan
Kitab undang-undang tergeletak di selokan
Kepastian hidup terhuyung-huyung dalam comberan

O, tatawarna fatamorgana kekuasaan!
O, sihir berkilauan dari mahkota raja-raja!
Dari sejak zaman Ibrahim dan Musa
Allah selalu mengingatkan
bahwa hukum harus lebih tinggi
dari ketinggian para politisi, raja-raja, dan tentara

O, kebingungan yang muncul dari kabut ketakutan!
O, rasa putus asa yang terbentur sangkur!
Berhentilah mencari Ratu Adil!
Ratu Adil itu tidak ada. Ratu Adil itu tipu daya!
Apa yang harus kita tegakkan bersama
adalah Hukum Adil
Hukum Adil adalah bintang pedoman di dalam prahara

Bau anyir darah yang kini memenuhi udara
menjadi saksi yang akan berkata:
Apabila pemerintah sudah menjarah Daulat Rakyat
apabila cukong-cukong sudah menjarah ekonomi bangsa
apabila aparat keamanan sudah menjarah keamanan
maka rakyat yang tertekan akan mencontoh penguasa
lalu menjadi penjarah di pasar dan jalan raya

Wahai, penguasa dunia yang fana!
Wahai, jiwa yang tertenung sihir tahta!
Apakah masih buta dan tuli di dalam hati?
Apakah masih akan menipu diri sendiri?
Apabila saran akal sehat kamu remehkan
berarti pintu untuk pikiran-pikiran kalap
yang akan muncul dari sudut-sudut gelap
telah kamu bukakan!

Cadar kabut duka cita menutup wajah Ibu Pertiwi
Airmata mengalir dari sajakku ini.

(Sajak ini dibuat di Jakarta pada tanggal 17 Mei 1998 dan
dibacakan Rendra di DPR pada tanggal 18 Mei 1998)




TAFAKUR
Karya: Pay Lembang

Menatap langit
Aku memanggilmu dalam luas lingkaran emas
Bulan terpangut lebih setengah
Bintang kecil dekap benderang
Bersanding, membangun ruang cahaya

Memandang wajahmu di senjakala
Tak kulihat senyum getir terbungkus pekat awan dilangitmu
Lalu kulihat raut wajah disepasang cermin hidup masa lalu
Tak jua utuh aku memandangmu

Jujurmu pada malam
Hatiku juga yang kau tikam
Masa silam yang kau sulam
Menenggelamkan aku pada dendam...

Kau tahu, aku membacamu dari waktu
Engkau maha segala daya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MOSI DEBAT SMA BULAN BAHASA 2019

MOSI YANG DILOMBAKAN DALAM DEBAT PRATIKUM SASTRA KE 27