NASKAH PUISI YANG DILOMBAKAN DALAM LOMBA BACA PUISI PRAKTIKUM SASTRA KE-28 TINGKAT MAHASISWA


NASKAH PUISI YANG DILOMBAKAN DALAM LOMBA BACA PUISI PRAKTIKUM SASTRA KE-28 TINGKAT MAHASISWA


SIAK
Karya: Dasry Al-Mubary

sungainya sungai
mengalir pada muaramu sungaisungai
alir hilir alir ke laut yang dalam
lancanglancang berlayar malam
di alir air serdadu ambia umara berenang
berapung kitabkitab menenggelamkan kitabkitab
mandi dengan kitabkitab minum air kitabkitab
tidur bantal kitabkitab

sungainya sungai
sepanjang sungai di dalam sungai siang sungai
malam sungai senja sungai melewati singai aku
sungai kitabkitab tidakdiam tidak tenang tak
senang muara bicara kitabkitab sakai

tongkangtongkang tertambat di sela beting bakau
dihimpit selat dan tanjung sebaris sebaris

sungainya sungai
perahuperahu terlampai sungai dalam diriku
di mana perahu kutambatkan aku tidak tahu lagi
mengapa seribu tapak nelayan disapu angin pagi
tersandai di bibir matahari
aku tak bicara sungai aku bicara sungaisungai

sungainya sungai
sungaisungai
sungai dalam diriku meronta
meronta
kian ke mari menari
kian menarinari

sungainya sungai
di riak sungai dalam diriku berontak seribu tapak
nelayan menjaring sisik sisa tuba seribu pukat
harimau mengaum meranjau riak sungai dari sungai
dari siak ke riak ke siak dari kitabkitab dari
sungainya sungai riak riaknya bapak seribu tapak
aku diam dalam sungai dalam diriku aku bicara
sungai dalam diriku aku tak tahu sungai bicara
apa dalam diriku siapa tahu selain ranjau menyapa
mau seribu serdadu membawa bau mesin

sungainya sungai
seribu alir mengalir
disituaku
membasuh luka anyir

1988



IBU KOTA SENJA
Karya: Toto Sudarto Bachtiar

Penghidupan sehari-hari, kehidupan sehari-hari
Antara kuli-kuli berdaki dan perempuan telanjang mandi
Di sungai kesayangan, o, kota kekasih
Klakson oto dan lonceng trem saing-menyaingi
Udara menekan berat di atas jalan panjang berkelokan

Gedung-gedung dan kepala mengabur dalam senja
Mengurai dan layung-layung membara di langit barat daya
O, kota kekasih
Tekankan aku pada pusat hatimu
Di tengah-tengah kesibukanmu dan penderitaanmu

Aku seperti mimpi, buian putih di lautan awan belia
Sumber-sumber yang murni terpendam
Senantiasa diselaputi bumi keabuan
Dan tangan serta kata menahan napas lepas bebas
Menunggu waktu mengangkut maut

Aku tiada tahu apa-apa, di luar yang sederhana
Nyanyian-nyanyian kesenduan yang bercanda kesedihan
Menunggu waktu keteduhan terlanggar di pintu dinihari
Serta di keabadian mimpi-mimpi manusia

Klakson dan lonceng bunyi bergiliran
Dalam penghidupan sehari-hari, kehidupan sehari-hari
Antara kuli-kuli yang kembali
Dan perempuan mendaki tepi sungai kesayangan

Serta anak-anak berenangan tertawa tak berdosa
Di bawah bayangan samar istana kejang
Layung-layung senja melambung hilang
Dalam hitam malam menjulur tergesa

Sumber-sumber murni mÄ—netap terpendam
Senantiasa diselaputi bumi keabuan
Serta senjata dan tangan menahan napas lepas bebas
O, kota kekasih setelah senja
Kota kediamànku, kota kerinduanku



RESONANSI INDONESIA
karya: Ahmadun Yosi Herfanda

bahagia saat kau kirim rindu
termanis dari lembut hatimu
jarak yang memisahkan kita
laut yang mengasuh hidup nakhoda
pulau-pulau yang menumbuhkan kita
permata zamrud di katulistiwa
: kau dan aku
berjuta tubuh satu jiwa

kau semaikan benih-benih kasih
tertanam dari manis cintamu
tumbuh subur di ladang tropika
pohon pun berbuah apel dan semangka
kita petik bersama bagi rasa bersaudara
: kau dan aku
berjuta kata satu jiwa

kau dan aku
siapakah kau dan aku?
jawa, cina, aceh, batak, arab, dayak
sunda, madura, ambon, atau papua?
ah, tanya itu tak penting lagi bagi kita
: kau dan aku
berjuta wajah satu jiwa

ya, apalah artinya tembok pemisah kita
apalah artinya rahim ibu yang berbeda?
jiwaku dan jiwamu, jiwa kita
tulus menyatu dalam asuhan
burung garuda

Jakarta 1984/1999



PERJAMUAN
Karya: Hamid Jabar

Piring kosong serta sendok telentang terbuka
adalah manusia yang terus memandang entah ke mana
dengan mata kosong serta mulut ternganga
bicara tanpa kata tanpa suara juga tanpa makna

Pecahkan piring yang menyimpan wajah manusia itu
hingga dalam belingnya akan engkau temukan sesuatu
sisa-sisa dari senyum serta pecahan-pecahan rindu
yang terluka dan bergelimang darah warna biru

Kumpulkan beling-beling itu dan masukkan ke dalam
piring kosong, lalu kocok dengan sendok, pelan-pelan
dan beri segelas darah warna biru serta segenggam
garam, kemudian masukkan ke buncahan kuali kehidupan

Ambil matahari, beri bertungku dengan karang rindu
lalu tiupkan derap lewat buluh bambu dari sang waktu
dan kobarkan nyala dan ambil gendang terus berlagu
serta dendangkan sesuatu yang bernama harapan itu

Harapan adalah anak dalam pangkuan merengek minta makan
sementara piring masih kosong serta sendok gelinjangkan
tarian memabukkan bersama angin dan sekian angan-angan
yang terus diserang demam, panas dan dingin bergantian

Asahlah pisau, kemudian tidur, tapi usahlah sampai
mengigau
Nah, tikamlah mimpimu! Dan bangun! Dan usahlah
meracau!
Kemudian tegakkan dan suruh berjalan anakmu tanpa
kilatan pisau
tapi dengan rahman, rahim dan iman bergelora kilau
kemilau!

Yang merengek adalah bayangan dari kenangan dan
kenyataan
dikocok-kocok dengan kecepatan penuh serta berke-
panjangan
sampai begitu kental dan kebanyakan garam, tapi ke-
kurangan
cahaya dari pasrah yang ikhlas dalam menumbuhkan
harapan

Siapakah yang meniupkan kehidupan kalau bukan
Yang Rahman?
Siapakah yang menaburkan harapan kalau bukan
Yang Rahim?
Siapakah yang menancapkan kenyataan kalau bukan
Yang Malik?
Siapakah Yang Rahman Yang Rahim Yang Malik
kalau bukan Khalik?

Maka cucilah piring sendokmu dengan air zamzam
nur Yang Rahman!
Dan isi piringmu dengan gandum ranum
mutu manikam Yang Rahim!
Dan gerakkan sendokmu dengan niat mantap
dalam kehendak Yang Malik!
Kemudian hidangkan isian piring sendokmu
dalam haribaan Yang Khalik!
Padang, 1976



BAKAR TONGKANG
Karya: Marhalim Zaini

tak di malam
kau tinggalkan siam
dalam tahun demam
tapi di hujan
kau curi api daratan
dari pelabuhan bagan
itu dewa kie ong ya
          menghitung gigil cahaya
          di biji kayu sempoa
          ia menunggu ombakmu
          menghala ke matahari
          ke hulu sebuah mimpi:
          tentang lelaki yang berlari
          mengejar riwayat angin selat
          ke sengat musim yang tak tercatat
 namakukah itu
 yang berkibar di layar
saat tongkang terbakar?

tapi kau menghalau asap hio
dengan kipas lipatan peta cina
ke kobaran api hutan melayu
ke wajahku sampah jerebu
meruap hinggap ke tatap
mata langit yang gelap
            maka izinkan aku jadi tan ki
memikiul bola duri
mengelilingi tubuhmu
angkuh membatu
di atap bang liau
agar kau tahu
aku kian mencandu
bau amis ikanmu
bagai merindu
aroma payau
lautmu

bahwa di akar api-api
pagi pernah bernyanyi
tentang lancang kuning
yang tersadai di pantai
tentang nelayan tua
yang membakar jala
tentang janda raja-raja
yang menjahit kebaya
           di mana anak sungai
           membuang muka
           menghanyutkan kota
           entah di jawa
           entah di malaysia
           mungkin pula melaka
           diam-diam berdusta
           tentang batas warna
           bendera marga
diam-diam menelikung
hikayat semenanjung
berkaki buntung
terseret angin tanjung
ke kuala rawa
tempat kita memuja
segala yang menjaga
segala yang tak tampak
sebagai yang berkehendak
segala yang tak padam
sebagai tuhan

maka sembahyang ini, tun
tak sujud pada jumat
pun tak takut pada sebat
sebab telah tumbang
tiang tongkang
ke seberang
ke sebuah kampung
ke ujung halaman kitab
ke jantung segala gelap
           di kelentengmu
           atau di surauku
           kita mengaji rindu
           pada dinding pelantar
           atau selembar tikar
ada jejak bandar
bekas terbakar

kita mematung saja
           bagai perahu tua
           yang menunggu senja
           siapa tahu ada cinta
           atau syair lama
           tentang ular naga
           yang berpagut
           dalam surga
           nanti saat petang
           baba cina datang
           pakai baju marga ang
           bawa sesajen satu dulang
                    apa kau akan pulang?
          aku takut pulang
          pada lengang
          yang panjang

lampion-lampion itu, tun
rumah-rumah malam
yang menunggu padam
orang-orang rokan
menanam cahayanya
di ujung pelabuhan
           singgahlah sebagai pelaut
           bukan sebagai kayu hanyut
           niscaya kau akan disambut
           bagai laksemana raja dilaut
           merantaulah seperti berperang
           tak pulang sebagai pecundang
           niscaya kau akan terpandang
           bagai sultan namamu dikenang
                   tapi aku pendurhaka
                   kau pun tak setia
                   siapa di antara kita
                   yang dikutuk dewa
                   jadi dermaga
                   kota tua

itu sempoa kie ong ya
menggigil ditimbun cahaya
tak di siam atau di bagan
hujan mencuri api hutan
ke mana menghala matahari
di kaki lelaki musim berlari
                  namakukah itu
                  yang berkibar di layar
                  saat tongkang terbakar?

kampung asap, 2008

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MOSI DEBAT SMA BULAN BAHASA 2019

MOSI YANG DILOMBAKAN DALAM DEBAT PRATIKUM SASTRA KE 27

Mahasiswa 2018: Kesan dan Pesan PKKMB dan Sehari Bersama Maba