Budaya Malas
Muhamad Ridwan
Namaku Kevin, Kevin Goesti Rizki. Sebuah nama yang diberikan lansung oleh kakekku. Anak laki-laki tunggal yang dibesarkan di tengah keluarga yang bisa ku bilang cukup untuk memenuhi kehidupanku dan orang lainKarya Mahasiswa PBSI pada Gerakan Literasi Mahasiswa 2021-2022 yang bekerja dirumahku. Aku merupakan mahasiswa baru dari salah satu universitas terbaik di Provinsiku.
Seorang yang bisa dibilang sangat pemalas hingga kurasa kebiasaan ini mulai membudaya. Ditambah lagi pandemi membuatku makin menjadi-jadi dengan kebiasaan malas ini. Kurasa, ini sering terjadi dan menjadi masalah yang cukup kompleks dikalangan anak muda yang menganggap ini suatu kebiasaan yang manusiawi. Padahal, ini sudah bisa dikatakan suatu budaya yang diturunkan secara berkala dibawah alam sadar kita. Oleh sebab itu, aku akan menceritakan kisahku dengan si malas ini yang berujung penyesalan.
Cerita ini berawal saat aku akan meghadapi ujian tengah semester (UTS) yang akan dilaksanakan seminggu lagi. Setelah bergelut dengan kuliah online atau sering disebut daring selama sekitar tiga bulan lamanya. Singkat cerita, seminggu sebelum UTS dilangsungkan budaya ini makin menjadi-jadi, aku sering telat mengerjakan tugas bahkan tidak membuatnya sama sekali. Waktu berjam-jam kuhabiskan hanya berbaring diatas kasur dengan game onlineku sebagai teman. Begitu terus-menerus.
Hingga hari buruk itu menimpaku, empat hari sebelum UTS dilaksanakan. Hari itu awalnya berjalan baik-baik saja, kuliah online berjalan lancar seperti biasanya. Tiba-tiba, bapak dosen ini meminta kami untuk membacakan tugas yang telah ia berikan minggu lalu. Benar saja, aku tidak mengerjakannya sama sekali. Aku sudah bersiap untuk mengklik menu leave di room zoom itu. Hingga, “Kevin kamu yang pertama membaca.” suara dosenku memecah keheningan. Argh, ingin sekali ku bantingkan laptop di depanku ini. Untungnya aku cepat memikirkan alasan, sigap aku mengetik di room chat zoom itu, dengan alasan jaringan. Benar saja, “oke. Kevin terkendala jaringan, kalau begitu sekar saja.” Huh. Hari buruk itu seketika menjadi hari paling beruntungku.
Saat weekend, menjadi hari-hari paling bahagia dalam hidupku. Disaat itu, aku benar-benar bisa menghabiskan hariku bermalas-malasan. Kasurku seperti terletak lem memenuhi setiap sisi membuatku sulit bangun, handphoneku seperti cemilan lezat yang membuatku sulit untuk berhenti mengunyahnya, ditambah lagi dengan game online sebagai pelengkap dari cemilan tadi. Seharian kuhabiskan hanya berbaring di sana. Padahal, besok adalah minggu UTS dan aku masih dengan handphoneku mengabaikan banyaknya buku yang telah kubeli menunjang proses perkuliahan yang bisa kubaca sebagai persiapan menghadapi UTS. Tugas-tugas sudah menumpuk layaknya pakaian kotor dengan beragam deadlinenya. Kebiasaan macam apa ini, aku telah membudayakannya.
Hari itu pun tiba, minggu-minggu UTS telah dimulai. Dan aku masih molor dengan wajah berantakan itu. Ya, aku telat dua puluh menit mengikuti UTS. Walaupun, hanya menggunakan google classroom saja. Aku mengisi dengan segala kesok tahuanku. Karena, aku tidak belajar sama sekali. Bahkan, menghadapi UTS ini saja aku tidak mandi dan masih dengan baju tidurku. Aku tak berharap banyak dengan hasilnya.
Setelah beberapa hari mengikuti UTS semua berjalan layaknya biasa. Telat masuk, mengisi jawaban asal-asalan. Bahkan aku tidak megikuti UTS disatu mata kuliah. Karena, aku sangat terlambat bangun. Apa aku menyesal?. Tentu saja tidak saat itu. Hingga hari terkahir UTS tiba. Benar saja, ini adalah UTS praktikum dan akan ada laporan praktikum yang harus dikumpul setelah UTS. Arghh, aku tidak menyentuhnya apalagi mencoba mengerjakan. Benar-benar hari buruk, tidak adalagi keberuntungan hari itu. Kembali mengerjakan soal UTS dengan asal-asalan dan tidak mengumpulkan laporan praktikum. Habislah aku.
Setelah hari terakhir UTS. Tentu saja kembali weekend, jika kalian bertanya apakah aku memikirkan hasil UTS ku?. Kalian pasti tahu jawabannya, tentu saja tidak. Berjalan seperti biasa dengan seharian diatas persegi panjang empuk itu dan mata menatap persegi panjang kecil bercahaya. Tidak terjadi apapun dan tanpa penyesalan sedikitpun.
Hasil UTS akan diberikan secara serentak pada hari akhir seminggu setelah UTS. Seperti hari biasanya mengikuti perkuliahan dengan terpaksa, tidak mengerjakan tugas, bahkan tidak mengikuti perkuliahan. Hari-hari itu berjalan layaknya biasa.
Hari itupun tiba, hari munculnya kesadaran dan penyesalan. Hari dimana aku benar-benar mengerti bahwa budaya burukku ini sangat tidak menunjukkan jati diriku bahkan untuk mewakili jati diri bangsapun tak ada sedikitpun kesempatan. Hari diberikannya hasil dari seminggu perjuangan bagi teman-temanku tentunya, sedangkan untukku adalah puncaknya seminggu bermalas-malasan.
Hari itu, hasil UTS dibagikan melalui via whatssapp grup angkatan. Yang dimana, seluruh angkatan bisa melihat hasil orang lain. Awalnya aku masih mengabaikan file yang dikirim, bahkan untuk membukanya saja aku tidak ada niat. Hingga salah satu temanku memberi kabar dan menyuruhku untuk segera membukanya. Bergegas aku membuka file tersebut dan benar saja semua mata kuliah atas namaku berpredikat E. Seketika dunia ku hacur dan langit seakan runtuh dan menghantamku begitu kerasnya. Tubuhku lemas karena masih terkejut melihat predikat E berjejer rapi mengalahkan rapinya barisan pasukan pengibar bendera.
Begitulah kisahku, awal dari sebuah penyesalan karena sebuah kebiasan yang membudaya yaitu, budaya malas. Benar, aku hanya bisa menyesali semua ini. Dan tentu tidak mungkin bagiku untuk memutar kembali waktu dan memperbaikinya. Alangkah ruginya kita yang sehat jasmani maupun rohani tidak memanfaatkan sebaik mungkin segala ciptaannya.
Oleh karena itu pesanku. Tinggalkanlah budaya malas ini, mari sama-sama perlahan kita hilangkan kebiasaan yang membudaya itu. Karena, secara tidak lansung jati diri bangsa itu terletak pada anak mudanya. Jika anak muda saat ini hanya berbaring diatas kasur bermalas-malasan apalah artinya muda itu.
Mari bersama kita jadikan situasi pandemic ini membuat kita semakin produktif bukan malah pasif, gunakan segala kesempatan dan media yang kita miliki dan dapat kita gapai. Mari tinggalkan budaya itu dan bangun budaya yang sesungguhnya.
Profil Singkat
0 Komentar