KEJUTAN
Fitri Humairoh
Pulasku membawa mimpi yang sangat berat. Kala itu,
gemuruh dan terpaan hujan sangat deras. Aku terbangun dengan rasa ketakutan dan
penuh pikiran. Sajak demi sajak ku coretkan di sebuah kertas untuk mengeluarkan
isi hati ku ditemani dengan cahaya ponselku. Berjam-jam telah aku lalui dan
jadilah kertas yang kosong tadi berisi coretan dengan penuh makna.
Hari ini hari yang kutunggu-tunggu, bukan meliburkan
diri tetapi inilah yang disebut dengan tanggal merah. Tidak tau mengapa aku
sangat bahagia hari ini. Jadi aku memutuskan untuk turun kebawah menemui Ibu
yang sudah menyiapkan makanan di dapur dan tidak dapat dipungkiri senyuman di
wajahku pun kian berlebar kala melihat makanan kesukaan ku tertata dengan
cantik di atas meja.
"Wah, Ibu. Ada gerangan apa kau memasak makanan
sebanyak ini, dan rata-rata ini kesukaan ku semua"ujarku senang sambil
bertepuk tangan serta berloncat-loncat ria seperti anak kecil.
Ibu hanya tersenyum lalu menyuruhku makan beserta
Ayahku yang hari ini juga tidak ada kerjaan. Aku adalah anak tunggal yang
hobinya hanya tidur, makan, bermain. Ya hanya itu tidak lebih, kadang Ibuku
selalu marah kepadaku yang tidak bisa apa-apa. Tetapi hari ini begitu aneh
dengan sikap Ibuku yang tidak seperti biasanya. Yang setiap pagi kerjaannya
mengomeliku saja, sekarang Ibuku melayaniku seperti putri kecil yang selalu
dimanja dan tidak boleh melakukan hal apapun yang menyuruhku untuk melakukan
pekerjaan rumah.
“Nur, hari ini Ibu mau pergi ke Pasar. Apakah kau
mau ikut?” ucap Ibu sembari menyokong secangkir gelas kepada Ayah yang hanya
fokus dengan makanannya.
“Ibu ngapain ke Pasar? Bukannya kemarin sudah ya Bu?
Nur dirumah saja deh Bu, soalnya nanti Nur mau pergi ke rumah Jesi ada hal yang
ingin dibahas”
“ooo yasudah kalau begitu, Ibu ke Pasar mau beli sesuatu,
kemarin Ibu lupa membelinya. Tapi, kalau kamu mau pergi ke rumah Jesi, ingat ya
pulangnya jangan kesorean”. Ibu memperingatiku dengan tegas padahal apa yang
aku omongkan itu hanyalah sebuah alasan agar aku tidak ikut Ibu ke Pasar.
Akupun menggerakkan sebelah tanganku seperti hormat kepada sang jenderal.
Setelah makan akupun langsung kabur ke kamar, Ibu
yang melihat itu hanya menggelengkan kepalanya. Aku yang melihatnya sekilas
hanya cengar-cengir tidak tau malu. Bukannya membantu membersihkan meja, malah
menyelonong begitu saja ke kamar. Tapi, aku begitu heran kepada Ibu. Lagi dan
lagi Ibu tidak marah denganku. Ayahpun yang biasanya selepas makan langsung
membaca koran dan bermalas-malasan di ruang keluarga ketika libur, tetapi
sekarang dia begitu rajin. Tumben sekali Ayah mau membantu Ibu dan sejak duduk
makan bersama tadi Ayah selalu membisikkan Ibu sesuatu lalu tertawa selebar
dunia memandang. Dari pada ku memikirkan yang tidak-tidak dengan pikiran orang
dewasa, mending aku melanjutkan rebahan ku saja.
Dengan diiringi musik aku bergumam pelan menyanyikan
bait demi bait sambil memikirkan kejadian tadi. Aku tidak enak kepada Ibu telah
berbohong karena ingin pergi ke rumah Jesi. Tapi tidak dapat dipungkiri juga
bahwa aku tidak ingin kemana-mana dan ingin tidur saja di hari yang panjang
ini. Berjam-jam telah terlewati, otak ku selalu bergelumut dengan
pikiran-pikiran yang bermacam ragam. Sampai aku memutuskan untuk pergi saja ke
rumah Jesi, sekaligus ingin menanyakan tugas kemarin. Ah begitu sialnya, aku baru
mengingat tugas itu hari ini. Padahal waktu pengantarannya besok.
Aku menggunakan sepedaku untuk pergi ke rumah Jesi.
Daritadi perasaanku sudah tidak enak. Dan benar saja ban sepedaku bocor. Aku
pun langsung memutuskan untuk mengantarkan sepedaku ke bengkel. Untung saja
bengkelnya dekat, kalau tidak aku sudah ngomel-ngomel tidak jelas dan ingin
rasanya membuang sepeda ini ke planet mars.
30 menit berlalu akhirnya ban sepedaku selesai
diperbaiki. Dengan malasnya aku mengayuh sepeda menuju rumah Jesi. Rasa ingin
berbaring di pulau kapuk saja kalau cuacanya begitu panas begini. Lagi dan lagi
aku bergelumut dengan pikiranku, aku merasa tidak enak kalau pergi ke rumah
orang tanpa membeli sesuatu. Jadi, aku mencari makanan untuk Jesi dan Ibunya.
“Hey Nur, ini kamu kan?”
Aku terkejut dengan sosok disebelahku ini, aku
merasa tidak asing dengannya. Tapi aku lupa siapa dia, dan otakku terpaksa
memikirkan yang tidak-tidak lagi. Aku harus was-was, siapa tau orang didepanku
ini orang jahat. Apalagi dia memakai pakaian serba hitam dilengkapi dengan
masker dan topi. Hih itu membuatku bergedik ngeri memikirkannya.
“Kalau melamun itu jangan lama-lama, itu pesanan
kamu udah jadi”kata orang itu, aku tersentak dan tersadar bahwa pesananku telah
jadi. Setelah membayar akupun langsung buru-buru pergi dari kedai ini.
“Nur, tunggu” sial, orang itu menghalangiku saja dan
sok asik sekali padahal aku tidak mengenalinya. Aku hanya terdiam dan menunggu
kata-kata orang itu selanjutnya.
“Selamat ulang tahun ya”
“Hah”
Aku dengan polosnya menganga tidak percaya
didepannya. Aku baru menyadari hari ini hari ulang tahunku. Tapi kenapa bisa
tau pria ini dengan hari ulang tahun ku. Aku mengamati wajah pria ini, untuk
mengingat-ingat. Hasilnya malah zonk, ini membuatku makin gila. Jadi, aku hanya
mengucapkan terima kasih dan langsung pergi begitu saja.
Setelah sampai dirumah Jesi, aku tidak melihat aura
sendal swallow nya. Bermenit-menit menunggu sambil mengetuk pintu, tetap saja
orang yang ditunggu-tunggu tidak menampakkan hidungnya. Aih yang benar saja,
apakah aku harus pulang saja. Tapi tidak mungkin. Aku tidak mau pulang kalau
tidak ada hasil.
Beberapa menit kemudian, seorang wanita dewasa
keluar dan mengatakan “Eh ada Nur, cari Jesi ya?”
“Iya Bu, Jesi nya ada?”ucapku tidak lupa mencium
tangan orang tersebut yakni Ibu Jesi.
“Oh tadi katanya mau ke rumah kamu Nak, tapi kamu
nya kesini. Di jalan tadi tidak ketemu?”
“Ehh, tidak ada, Bu. E-ee kalau begitu Nur pulang
saja ya Bu, siapa tau Jesinya di rumah dan ini ada makanan buat Ibu”
“Waduh, malah repot-repot kamu bawa makanan untuk
Ibu. Terima kasih Nak”
“Iya Bu sama-sama. Jaga kesehatan ya Bu, kalau
begitu Nur pulang dulu. Dah Bu….”
Setelah berpamitan bersama Ibu Jesi tadi, aku pun
langsung pulang. Memakan waktu 15 menit untuk sampai ke rumah. Keringat ku
bercucuran begitu saja karena cuaca saat ini lumayan panas dan
kendaraan-kendaraan lewat ikut menyuarakan suasana jalanan ini.
Sesampainya di rumah aku langsung masuk begitu saja,
tetapi suasana di dalam rumah ini begitu aneh. Sepi sekali. Mungkin Ibu masih
di pasar, sedangkan Ayah mungkin pergi ke kebun. Eh berarti kalau tidak ada
orang disini, berarti Jesi?....
Ah sudahlah aku lelah sekali, mending aku
mengerjakan tugas ini semampuku saja. Aku beranjak ke dapur untuk minum dan
pendengaran ku tidak sengaja menangkap suara barang yang berjatuhan. Aku pikir
itu hanya Gopi si kucing oren nakal itu. Tetapi pikiranku salah, itu suara Ayah
yang sedang memarahi Jesi. Tanpa berfikir panjang aku langsung menghalau Ayahku
yang hampir saja mau mengusir Jesi dengan mendorongnya.
“Ayah cukup! Jangan dorong Jesi, apa salahnya” aku
tidak tega sekaligus merasa bersalah kepada Jesi yang sedang menangis.
“KAMU JUGA, KENAPA MENGHALAU AYAH, TEMAN KAMU ITU
SALAH, TIDAK SEHARUSNYA TADI DIA MERUSAK BARANG KERJA KESAYANGAN AYAH”
Jesi yang mendengar itu makin menjadi-jadi
tangisannya. Akupun kecewa dengan Ayah, tidak bisakah dia lebih mengerti
perasaan orang dibandingkan dengan barang. Aku tidak habis pikir dengan semua
ini, aku begitu lemah. Tidak suka melihat sahabatku dilakukan seperti ini. Aku
pun meneteskan butiran jernih dari pelupuk mataku sambil mengatakan sesuatu
kepada Ayah, “Ayah!!! Cukupp!!! Nur, tidak suka Ayah begini, walaupun Jesi
salah atau tidak, tapi Ayah tidak berhak marah-marah dan bentak-bentak Jesi begini.
Nur, tidak suka Yah. Apalagi Jesi itu sahabat dari kecilnya Nur. Jesi itu anak
yang lemah, Yah. Dan Ayah, cuma karena barang begini saja, tidak bisa
memikirkan perasaan orang lain. Seharusnya Ayah maafkan saja bukan membentak
seperti ini. Kalau Jesi kenapa-napa karena Ayah, Ayah mau tanggung jawab? Ayah
itu egois!!! Nur gak suka punya Ayah begini, Ayah Nur itu baik, bukan
ngebentak-bentak dan suka melukai orang lain”
Deraian air mataku begitu deras sekali turun, kaki
ku tidak sanggup lagi untuk menopang. Aku begitu muak kalau Ayah seperti ini.
Ini baru pertama kali aku melihatnya begini apalagi sama orang ain yang
notabenenya sahabatku. Jesi memelukku dan menenangkanku sambil mengatakan,
“Nur, maafin aku ya. Aku yang salah kok, sudah merusak barang kerja Ayah mu.
Wajar Ayahmu marah-marah begini. Tadi Jesi tidak sengaja menjatuhkannya waktu
Ibu mu menyuruhku memanggil Ayahmu untuk menyiapkan sesuatu, tetapi malah begini. Maafin Jesi ya Nurnya jadi
begini”.
Tangisanku makin menjadi-jadi, dan memeluk erat
Jesi. Aku tidak peduli dengan raut Ayahku yang terdiam membisu. Saat ini yang
kupikirkan bagaimana perasaan Jesi, pasti sakit sekali hatinya atas perlakuan
Ayah.
Setelah beberapa menit keheningan menerpa, dari
ruang keluarga pun tiba-tiba terdengar ricuh dan suara musik ulang tahun
bergema di rumah ini. Jesi yang disebelahku lalu membisikkan ku sesuatu yang
membuat ku terharu “Happy Birthday Bestie, wish you all the best”.
Akupun memeluk kembali Jesi dengan begitu erat. Lalu
aku melihat ke Ayah yang tersenyum lebar kepadaku dan tertawa begitu saja.
Apa-apaan, jadi ini hanyalah drama. Ah tidak, tapi kenapa ini bisa terjadi.
Hhh….Aku tidak mau berpikir yang tidak-tidak. Tapi, tetap saja aku kesal dengan
Ayah.
“Hey Nak. MaaFkan Ayah ya sayang. Utututtutut, nangis
ni ye? Hahahahahaa, anak siapa si ini lucu. Pengen Ayah buang saja ke kali.
SUdah, sudah…kamu kalau kesal terus kapan dewasanya. Yasudah Happy Birthday
anakku yang cantekkkkkk”, ucap Ayahku yang tukang jahil sambil memelukku, aku
pun membalas pelukannya “terima kasih Ayah”.
Kini pandangan ku terfokus pada Ibu yang tersenyum
manis melihatku. Aku pun langsung memeluknya begitu kuat dan tidak ingin lepas.
Aku begitu senang sekaligus terkejut dengan kejutan ini. Ini diluar pikiranku.
Aku tambah bahagia kala Ibu mengucapkan kata-kata mutiaranya, “Nur, anakku.
Selamat ulang tahun yang ke 17 ya. Ibu senang kamu tambah cantik saja sekarang
dan tambah dewasa. Keren kamu tadi nasihatin Ayahmu tadi, seharusnya kamu tadi
jambak saja kumis Ayah mu tadi. Aduh jadi gak tega Ibu sama yang lain ngerjain
kamu begini. Tapi lucu kamu nya hehehe. Pesan Ibu untuk kamu kedepannya, semoga
kamu jadi anak yang sukses ya, Nak. Semoga impian kamu tercapai. Dan Ibu mohon
sama kamu, ingat selalu sama orang tua ya nak. Kamu harus lebih rajin lagi
jangan cuma masalah pelajaran saja tapi masalah rumah heh. Dasar, anak manja.
Ibu sayang kamu, jadi bukti kan ya kalau kamu itu pasti bisa mencapai
keinginanmu”
Lagi dan lagi aku meneteskan air mataku. Aku terharu
dengan ucapan Ibu, aku menanggukkan-anggukan perkataan Ibu. Aku begitu senang
hari ini. Sampai saat ini aku selalu bersyukur memiliki mereka semua. Dari nol
mereka lakukan untuk ku dengan sabar. Ah sudahlah, aku tidak bisa berkata-kata
lagi intinya aku sangat bahagia sekali.
“Ekhmmm, Nur. Ini kue nya gak mau dipotong dulu? Aku
sudah ngiler dengan kuenya”
Aku mengernyitkan dahi ku heran, loh ini kan pria
tadi. Siapa dia?...masker dan topinya pun tetap tidak dilepasnya, dasar aneh.
“Ibu siapa dia?”bisikku pada Ibu. “Itu Ojik teman kamu dulu, masa lupa”ucap Ibu
tersenyum.
Aku membulatkan mata tidak percaya, dan benar saja
setelah masker dan topinya dilepas. “O-OJIIKKKKK” “Aaaaaaa, mengapa tidak
bilang kalau tadi itu kamu”. Rasa ingin menjambak sekaligus memeluk orang ini
saking rindunya. Tapi aku teringat bahwa dia menjaga jarak sekali dengan lawan
jenis. Hahahaha. Jadi ku pukul saja pakai penggaris yang ada meja sebelahku.
“Aduuuuh woii malah mukul. Yaaaaakan biar susurupris
Nur. Wiiiiiiiiih…..Happy Birthday yak. Hahahahaa. Jangan gitu mukanya, tambah
jelek, apalagi nangis seperti tadi, kasian Jesi tertekan”ucap Ojik
“Ih nyebelin lah pokoknya”ucapku tidak senang dengan
perkataannya itu.
“Yasudah, jangan kesal begitu. Ini potong dulu kue
nya”ucap Ojik seperti orang kelaparan saja ni orang.
Jesi yang
disebelahku tertawa melihat kelakuanku yang aneh ini “Ini yang selalu kamu
ceritakan itu kan? Tampan ya”, aku memukul bahunya pelan “Tampan apanya? Dia
ngeselin begitu, jangan ditemenin”ucapku tidak terima dengan perkataan Jesi.
Sepertinya si Ojik sinis sekali kepadaku setelah aku mengatakan itu. Aih orang
ini memang ngajak berantem terus auranya. Ibu dan Ayah pun daritadi juga
berbincang ria didepanku.
Ah indah sekali moment ini, walaupun aku anak
tunggal. Tapi aku sangat senang dengan perlakuan mereka terhadapku. Mereka
begitu menyayangiku sepenuh hati. Mereka selalu memberikan kejutan-kejutan yang
membuat aku senang bukan main. Mereka yang selalu berada disampingku kala aku
susah, sakit, maupun jatuh. Aku bersyukur punya mereka. Mereka segalanya sampai
kapan pun. Terima kasih Ya Allah. TAMAT
Profil Singkat
Fitri
Humairoh.
Lahir di Tembilahan, 29 November 2003. Kini berusia 18 Tahun, berasal dari
Tembilahan. Fitri beralamat di Jalan Sungai Beringin, Parit 19, Tembilahan.
Fitri mempunyai hobi menggambar dan olahraga. Motto Fitri yaitu kegagalan
terjadi karena terlalu banyak berencana tapi sedikit berfikir.
0 Komentar