Karya Mahasiswa PBSI pada Gerakan Literasi Mahasiswa 2021-2022

Tak Sekokoh Bahtera Nabi Nuh

Anisa Enjelina

 

Pagi ini genap tiga bulan aku menyandang status sebagai seorang istri, aku berusaha untuk bangun lebih awal, mencoba berbakti padanya. “hmm, ampuni aku ya allah aku belum bisa menerimnya menjadi imamku.”

Di meja makan telah ku sediakan 4 sehat 5 sempurnanya. Tapi, usahaku tak digubris sama sekali. Dia yang disebut orang-orang sebagai suamiku justru menganggapku tak pernah ada didekatnya. Saat ku ajak bicara, tatapan kosongnya menghiasi suara dingin yang menjawab tanyaku sekenanya. “mas gak sarapan dulu?,” ku coba mengiringi langkah tergesanya sembari mengenakan hijabku. Hening, diam, bisu, aku membeku didepan mobilnya menyaksikan kijang berplat hijau itu keluar dari rumah kami tanpa salam.

Bukan kali pertama kejadian seperti itu ku terima, bahkan setiap hari aku harus berusaha untuk tetap berbicara walau sekedar menceritakan bunga tetangga untuk menjaga agar rumah tangga kami tak sedingin kamar mayat, meskipun aku tahu apapun itu kalimat yang keluar dari alat ucapku sering tak ditanggapi.

“Tiiit tiiit” baru saja jemuranku selesai, langkahku kembali menyusuri jalan yang ku tempuh untuk melepas mas Dani tadi pagi demi melihat siapa dibalik pagar besi itu. “assalamu’alaikum...” suara yang tak asing, Bergegas ku pacu langkah untuk menyambut kedatangan mertuaku.

“walaikumsalam, ma. Kenapa gak kabari Dina dulu kalau mama mau kesini” tanyaku setengah heran sambil memeluk dan mencium tangannya. Tak biasanya mama dan papa mertuaku datang tanpa mengabari, yaa walaupun jarak rumah kami tak terlalu jauh dan mereka biasanya juga rutin seminggu sekali main kesini tapi, mereka selalu memberi kabar malam sebelum mereka kerumah.

“aiiih kok kaget, gak boleh ya mama main kesini” tanyanya dengan senyum iseng. Tentu saja aku tertawa. Mertua ku tak seperti anak mereka, eh lebih tepatnya suamiku.

Mereka hangat, penuh perhatian. Rumah dinas ini berwarna seketika saat mereka datang dan menginap disini. Aku benar-benar merasa hidup, bersama mereka.

Awalnya aktifitas kami berjalan seperti biasa, papa mertuaku sibuk dengan koran dan Televisi yang dibiarkan menyala, alasannya sih karna tak menyukai keheningan. Aku dan mama mertuaku disibukkan dengan mengolah bahan mentah yang sengaja dibawanya dari rumah untuk dimasak dan dimakan bersama aku dan mas Dani.

“Din, bagaimana mas Dani, sikapnya masih dingin?.” Deg, seketika jantungku berpacu. bagaimana pertanyaan itu harus ku jawab. Aku tak ingin membebani mereka perihal keharmonisan dalam bahtera rumah tangga kami.

Ku seka air mata diam-diam dibelakang mama. Aku ingin sekali bercerita dan meluapkan perasaanku perihal sikap dingin suamiku, tapi tak mungkin kepada mereka. Aku menyayanginya seperti aku menyayangi kedua orang tuaku. Aku sama sekali tak ingin membebaninya. Pertanyaan mama terpaksa ku jawab tidak.

Ada yang berbeda dari raut muka kedua mertuaku, tak seperti biasanya yang punya banyak bahan untuk diceritakan, dan banyak cerita pula yang menjadi bahan tertawa. Kali ini mereka banyak diam, dan saling melempar pandangan. Ingin sekali ku tanya Ada apa, tapi rasa segan selalu menyurutkan niatku. Biarlah mereka yang membuka cerita.

Selepas asar, mama memanggilku ke dapur untuk duduk bareng di ruang keluarga. Hening kembali, ntah mengapa aku juga tak menyukai suasana seperti ini. Ku alihkan pandangan pada figura resepsi pernikahanku untuk menunggu mama bercerita. Perasaanku diliputi cemas, gelisah, dan aku penasaran dengan apa yang akan disampaikannya.

“nak, kau tahu kemana mas Dani pergi?” tentu saja aku tahu, dia tadi pagi berangkat ke kantor seperti biasa, dengan baju lorengnya. Aku bingung dengan pertanyaan mama, hanya ku jawab dengan anggukan.

Kali ini papa mertuaku yang bersuara. “nak, Dani ke Papua untuk 3 hari kedepan. Itulah sebabnya kami berinisiatif menemanimu disini.” Sontak saja aku tak percaya, dia tak berkata apa-apa kepadaku pagi tadi, bagaimana bisa dia meninggalkanku. “loh, dia gk ada bilang sama sekali ma, segitu sibuknya  ya jadi tentara, tak bisa berkbar”  jawabku menahan tangis.

“Din, mama tahu hubungan kalian tak seharmonis rumah tangga pengantin baru lainnya, mama salut sama kamu yang berusaha menutupi sikap Dani pada kami. Tapi kami bisa melihatnya, anak.” Mama mendekatiku dan menatapku. Jujur, aku tak sanggup lagi menahan tekanan batin ini. Tangisku pecah dipelukan mertuaku.

Sore itu mama menceritakan semuanya tentang mas Dani. Termasuk perihal dia yang memiliki pacar seorang tenaga kesehatan di Papua jauh sebelum pernikahan kami dan hubungan mereka terus berlanjut. Kepergian mas Dani ke Papua tak lain untuk menemui kekasih hatinya. Aku sama sekali tak mengetahui tentang mas Dani, sebab kami disatukan karna perjodohan.

Kata mama, mas Dani kesana hanya untuk menjenguk perempuan itu yang mengalami luka akibat peluru nyasar. Tapi tetap saja aku tak ikhlas. Meskipun lisanku berkata aku belum bisa menerimanya sebagai suamiku,namun perlahan aku sudah mencintainya. Aku mulai terbiasa dengan sikap dinginnya, aku mulai menerima kecuekannya.

Hatiku hancur, tangisku tak terbentung. Segitu teganya dia pergi tanpa memberitahu ku. Tak akan aku permasalahkan jika dia memang belum bisa mencintaiku, tapi aku merasa sangat tidak memiliki harga didepannya.

 Karna kondisi hati yang kacau ku minta mertuaku memberiku ruang untuk menenangkan diri, dengan berat hati dan paksaan ku, mereka pun pulang.

Sejak saat pertama aku mengetahui kenyatan pahit itu, aku selalu tidur diruang tamu. Menggantungkan harapan agar mas Dani segera pulang. Aku ingin sekali mengutarakan untuk berpisah dengannya. Percuma ku rasa, aku memiliki raganya namun tidak dengan hatinya.

Malam ini ku buka semua album resepsi beberapa bulan lalu, air mataku menganak sungai saat menatapi wajah bahagia keluarga kedua belah pihak dalam acara resepsi terlebih pada saat tradisi Pedang Pora. Tak ikhlas rasanya harus meruntuhkan janji suci karna ego semata. Namun aku benar-benar lelah dengan bahtera tanpa tawa ini.

Ku dekap kedada sebuah figura satu-satunya yang memperlihatkan senyum mas Dani, hmm begitu manis senyumnya ternyata, yang tak pernah diperlihatkan selama bersamaku.

Dalam pekatnya malam, ku tulis secercah harapan dan sebagian derita dalam secarik surat. Tentunya juga dengan keinginanku untuk berpisah. Ku letak kertas beramplop coklat di atas meja mar mar ruang tamu, aku pun tertidur  hingga azan subuh berkumandang.

Dengan niat dan tekad yang bulat, ku tinggalkan rumah dinas di kompleks tentara Angkatan Darat itu dipagi buta menjelang jadwal kepulangan mas Dani.

Aku memutuskan kembali ke Kalimantan, untuk melanjutkan pengabdianku mengajar anak-anak terisolir.


Profil Singkat



Anisa Enjelina. Wanita kelahiran Pekanbaru 20 tahun silam, Tepatnya 26 juni 2001. Menempuh pendidikan di SMK teknik mekatronika yang program studinya memakan waktu 4 tahun justru menghantarkannya ke lintas jurusan di perguruan tinggi. Hal demikian bukanlah suatu keterpaksaan, melaikan berdasarkan minat dan bakat yang ia miliki.




Posting Komentar

0 Komentar