Tak Sekokoh Bahtera Nabi Nuh
Anisa Enjelina
Pagi
ini genap tiga bulan aku menyandang status sebagai seorang istri, aku berusaha
untuk bangun lebih awal, mencoba berbakti padanya. “hmm, ampuni aku ya allah aku belum bisa menerimnya menjadi imamku.”
Di
meja makan telah ku sediakan 4 sehat 5 sempurnanya. Tapi, usahaku tak digubris
sama sekali. Dia yang disebut orang-orang sebagai suamiku justru menganggapku
tak pernah ada didekatnya. Saat ku ajak bicara, tatapan kosongnya menghiasi
suara dingin yang menjawab tanyaku sekenanya. “mas gak sarapan dulu?,” ku coba mengiringi langkah tergesanya
sembari mengenakan hijabku. Hening, diam, bisu, aku membeku didepan mobilnya
menyaksikan kijang berplat hijau itu keluar dari rumah kami tanpa salam.
Bukan
kali pertama kejadian seperti itu ku terima, bahkan setiap hari aku harus
berusaha untuk tetap berbicara walau sekedar menceritakan bunga tetangga untuk
menjaga agar rumah tangga kami tak sedingin kamar mayat, meskipun aku tahu
apapun itu kalimat yang keluar dari alat ucapku sering tak ditanggapi.
“Tiiit tiiit”
baru saja jemuranku selesai, langkahku kembali menyusuri jalan yang ku tempuh
untuk melepas mas Dani tadi pagi demi melihat siapa dibalik pagar besi itu. “assalamu’alaikum...” suara yang tak
asing, Bergegas ku pacu langkah untuk menyambut kedatangan mertuaku.
“walaikumsalam, ma.
Kenapa gak kabari Dina dulu kalau mama mau kesini”
tanyaku setengah heran sambil memeluk dan mencium tangannya. Tak biasanya mama
dan papa mertuaku datang tanpa mengabari, yaa walaupun jarak rumah kami tak
terlalu jauh dan mereka biasanya juga rutin seminggu sekali main kesini tapi,
mereka selalu memberi kabar malam sebelum mereka kerumah.
“aiiih kok kaget, gak
boleh ya mama main kesini” tanyanya dengan senyum
iseng. Tentu saja aku tertawa. Mertua ku tak seperti anak mereka, eh lebih tepatnya
suamiku.
Mereka
hangat, penuh perhatian. Rumah dinas ini berwarna seketika saat mereka datang
dan menginap disini. Aku benar-benar merasa hidup, bersama mereka.
Awalnya
aktifitas kami berjalan seperti biasa, papa mertuaku sibuk dengan koran dan
Televisi yang dibiarkan menyala, alasannya sih karna tak menyukai keheningan.
Aku dan mama mertuaku disibukkan dengan mengolah bahan mentah yang sengaja
dibawanya dari rumah untuk dimasak dan dimakan bersama aku dan mas Dani.
“Din,
bagaimana mas Dani, sikapnya masih dingin?.” Deg, seketika jantungku berpacu.
bagaimana pertanyaan itu harus ku jawab. Aku tak ingin membebani mereka perihal
keharmonisan dalam bahtera rumah tangga kami.
Ku
seka air mata diam-diam dibelakang mama. Aku ingin sekali bercerita dan meluapkan
perasaanku perihal sikap dingin suamiku, tapi tak mungkin kepada mereka. Aku
menyayanginya seperti aku menyayangi kedua orang tuaku. Aku sama sekali tak
ingin membebaninya. Pertanyaan mama terpaksa ku jawab tidak.
Ada
yang berbeda dari raut muka kedua mertuaku, tak seperti biasanya yang punya
banyak bahan untuk diceritakan, dan banyak cerita pula yang menjadi bahan
tertawa. Kali ini mereka banyak diam, dan saling melempar pandangan. Ingin
sekali ku tanya Ada apa, tapi rasa segan selalu menyurutkan niatku. Biarlah
mereka yang membuka cerita.
Selepas
asar, mama memanggilku ke dapur untuk duduk bareng di ruang keluarga. Hening
kembali, ntah mengapa aku juga tak menyukai suasana seperti ini. Ku alihkan
pandangan pada figura resepsi pernikahanku untuk menunggu mama bercerita.
Perasaanku diliputi cemas, gelisah, dan aku penasaran dengan apa yang akan
disampaikannya.
“nak, kau tahu kemana
mas Dani pergi?” tentu saja aku tahu, dia tadi pagi
berangkat ke kantor seperti biasa, dengan baju lorengnya. Aku bingung dengan
pertanyaan mama, hanya ku jawab dengan anggukan.
Kali
ini papa mertuaku yang bersuara. “nak,
Dani ke Papua untuk 3 hari kedepan. Itulah sebabnya kami berinisiatif
menemanimu disini.” Sontak saja aku tak percaya, dia tak berkata apa-apa
kepadaku pagi tadi, bagaimana bisa dia meninggalkanku. “loh, dia gk ada bilang sama sekali ma, segitu sibuknya ya jadi tentara, tak bisa berkbar” jawabku menahan tangis.
“Din, mama tahu
hubungan kalian tak seharmonis rumah tangga pengantin baru lainnya, mama salut
sama kamu yang berusaha menutupi sikap Dani pada kami. Tapi kami bisa
melihatnya, anak.” Mama mendekatiku dan
menatapku. Jujur, aku tak sanggup lagi menahan tekanan batin ini. Tangisku
pecah dipelukan mertuaku.
Sore
itu mama menceritakan semuanya tentang mas Dani. Termasuk perihal dia yang
memiliki pacar seorang tenaga kesehatan di Papua jauh sebelum pernikahan kami
dan hubungan mereka terus berlanjut. Kepergian mas Dani ke Papua tak lain untuk
menemui kekasih hatinya. Aku sama sekali tak mengetahui tentang mas Dani, sebab
kami disatukan karna perjodohan.
Kata
mama, mas Dani kesana hanya untuk menjenguk perempuan itu yang mengalami luka
akibat peluru nyasar. Tapi tetap saja aku tak ikhlas. Meskipun lisanku berkata
aku belum bisa menerimanya sebagai suamiku,namun perlahan aku sudah
mencintainya. Aku mulai terbiasa dengan sikap dinginnya, aku mulai menerima
kecuekannya.
Hatiku
hancur, tangisku tak terbentung. Segitu teganya dia pergi tanpa memberitahu ku.
Tak akan aku permasalahkan jika dia memang belum bisa mencintaiku, tapi aku
merasa sangat tidak memiliki harga didepannya.
Karna kondisi hati yang kacau ku minta
mertuaku memberiku ruang untuk menenangkan diri, dengan berat hati dan paksaan
ku, mereka pun pulang.
Sejak
saat pertama aku mengetahui kenyatan pahit itu, aku selalu tidur diruang tamu.
Menggantungkan harapan agar mas Dani segera pulang. Aku ingin sekali
mengutarakan untuk berpisah dengannya. Percuma ku rasa, aku memiliki raganya
namun tidak dengan hatinya.
Malam
ini ku buka semua album resepsi beberapa bulan lalu, air mataku menganak sungai
saat menatapi wajah bahagia keluarga kedua belah pihak dalam acara resepsi
terlebih pada saat tradisi Pedang Pora. Tak ikhlas rasanya harus meruntuhkan
janji suci karna ego semata. Namun aku benar-benar lelah dengan bahtera tanpa
tawa ini.
Ku
dekap kedada sebuah figura satu-satunya yang memperlihatkan senyum mas Dani,
hmm begitu manis senyumnya ternyata, yang tak pernah diperlihatkan selama
bersamaku.
Dalam
pekatnya malam, ku tulis secercah harapan dan sebagian derita dalam secarik
surat. Tentunya juga dengan keinginanku untuk berpisah. Ku letak kertas
beramplop coklat di atas meja mar mar ruang tamu, aku pun tertidur hingga azan subuh berkumandang.
Dengan
niat dan tekad yang bulat, ku tinggalkan rumah dinas di kompleks tentara
Angkatan Darat itu dipagi buta menjelang jadwal kepulangan mas Dani.
Aku
memutuskan kembali ke Kalimantan, untuk melanjutkan pengabdianku mengajar
anak-anak terisolir.
Profil Singkat
0 Komentar